[27] Akhir Cerita Devano dan Zena

478 226 41
                                    

"Kalau nanti takdir bilang aku untuk kamu, aku minta kamu jangan pergi lagi, ya."

—Ciize Airazena Zatama—

—Ciize Airazena Zatama—

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•Happy reading•


Setelah dipastikan kalau kondisi Devano sudah benar-benar membaik, hari berikutnya Devano diperbolehkan pulang oleh Dokter. Dan akhirnya Devano bisa membaringkan tubuhnya di kasur empuk miliknya lagi. Laki-laki itu mengedarkan pandangan menatap setiap sudut kamar. Masih sama, tidak ada yang berubah. Kamarnya masih tampak bersih dan rapi. Dia pikir mungkin dia tak benar-benar koma selama dua bulan, rasanya dia hanya tidur seharian di rumah sakit.

Devano bangun dari tempat tidur, melangkah ke balkon. Tangannya menyibakkan gorden besar di sana. Ketika balkon terbuka cahaya mahatari siang itu langsung menembus masuk, memberi cahaya ke seluruh kamar Devano.

Tok ... tok ... tok ...

Baru Devano akan membuka pintu balkon terdengar suara ketukkan pintu.

"Dev, ini Papa," ucap Fahresa dari balik pintu.

"Masuk aja," sahut Devano. Pintu kamar Devano terbuka menampakkan Fahres yang langsung masuk dan mendekati putra sulungnya itu.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Fahresa.

"Gak ngapa-ngapain. Ada apa?"

Tangan kanan Fahresa terulur ke hadapan Devano. "Buat kamu," kata pria itu. Fahresa memberikan ponsel serta kunci motor Devano.

Devano tak langsung menerimanya, laki-laki itu justru menatap Fahresa. "Mau nggak?" tanya Fahresa, karena Devano tak segera mengambil barang-barang itu.

"Papa serius?" tanya Devano memastikan.

"Iya. Ambil," jawab Fahresa. Sudit bibir Devano tertarik ke atas, senyum tipis tercetak di wajah tampannya. Tangan Devano pun mengambil dua benda itu.

"Tapi Papa gak mau ngelihat kamu sakit lagi," kata Fahresa. Walaupun terdengar cuek, tetapi terlihat kalau pria itu sangat khawatir dan peduli dengan Devano. Terlepas dari apa yang selalu terjadi di antara mereka, keduanya tetaplah Ayah dan anak dan tentu memiliki perasaan sayang satu sama lain.

"Sekarang kamu tau, kan? Kenapa Papa selalu marahin kamu? Papa selalu ngelarang-ngelarang kamu buat berantem? Papa gak mau kehilangan kamu. Papa itu sayang sama kamu, Dev," ucap Fahresa sangat tulus.

Tatapan Devano ke Fahresa meneduh, tak seperti yang kemarin-kemarin. "Aku minta maaf," kata Devano menyadari kesalahannya.

Tak lagi bersuara, Fahresa langsung menarik tubuh putra sulungnya itu ke pelukannya. Devano bisa merasakan Fahresa memberinya kehangatan. Setelah sekian lama akhirnya mereka berpelukan lagi. Devano bahkan lupa kapan terakhir kali mereka berpelukan, karena selama ini mereka terlalu sering adu mulut dan tak ada yang mau mengalah.

ABSQUATULATE (TERBIT)Where stories live. Discover now