31.Ikhlas

2.9K 376 68
                                    

Netra Alva menatap ke sekitar dengan nanar. Penglihatannya mendadak buram setelah bangun dari lelapnya sekitar lima menit lalu. Ia takut penglihatannya akan benar-benar raib sekejap lagi. Jantungnya berpacu kencang begitu pikiran buruk itu menjamah isi kepalanya. 

Cklek

Alva menoleh ketika sadar ada sosok bertubuh tinggi memasuki ruang rawatnya. Walaupun penglihatannya terganggu, ia tahu sosok itu adalah Rion. Terlalu hapal dengan proporsi tubuh kedua kakaknya.

Rion menghela napas cukup panjang sebelum benar-benar duduk pada kursi besi di samping brankar Alva.

"Al ...." Inginnya, Rion berbasa-basi terlebih dulu sebelum mengatakan inti obrolannya kepada sang adik. Tapi, ia tak pandai sama sekali di bidang tersebut. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil.

"Lo ...."

"Apa sih, Kak? sok misterius banget lo."

Rion menghela napas cukup panjang, mempersiapkan diri untuk segala penolakan yang pasti akan Alva lontar setelah ini.

"Lo mau berobat ke lu—"

"Enggak."

"Tapi—"

"Enggak." Alva menatap Rion dengan sorot mata yang seakan menjelaskan jika ucapannya tak dapat dibantah.

"Al, lo mau sembuh, kan?"

Hening.

Mendapati Alva tak kunjung melempar jawaban, perasaan Rion menjadi gelisah. Ada dua kemungkinan yang bisa menjabarkan alasan dibalik bungkamnya Alva.

Antara keinginan untuk tetap berjuang, dan keinginan untuk beristirahat. Bukan untuk sementara, namun selamanya.

"Kalo gue bilang, gue nggak mau sembuh ... gimana, Kak? gue ... capek. Nggak cuma gue kayaknya, lo juga pasti capek, kan, Kak? harusnya ... di umur lo yang sekarang, lo udah siapin diri buat berumah tangga. Tapi, gara-gara gue, planning lo nggak berjalan kaya apa yang lo mau. Iya, 'kan?"

Kalau boleh jujur, hal yang Alva katakan sepenuhnya benar. Rion lelah. Rencana kehidupan setelah dirinya mapan pun kini teralihkan. Tapi bukan berarti ia menyalahkan Alva, tidak sama sekali. Alva tetaplah tanggung jawabnya setelah kedua orangtuanya tiada.

"Orang bilang, kalo diem itu berarti iya." Alva tertawa sumbang. Walaupun dirinya sendiri yang mengucapkan hal itu, tapi tetap saja dadanya terasa sesak.

Hidupnya, merepotkan sekali, ya?

"Lo sama gue sama-sama capek, Kak. Jadi–" Ada jeda dalam ucapan Alva, anak itu lebih dulu menarik napas sekuat mungkin—berusaha melepas sesak dalam dadanya—lantas menghembuskannya perlahan. Netra sendunya menatap Rion dengan penuh harapan.

"–ikhlasin gue pelan-pelan, ya?"

° ° ° °

"Kalo lo mau ikut bujuk gue supaya berobat ke luar, mending lo pergi aja, Kak. Gue lagi males ngrepotin orang lain kalo tiba-tiba drop karna kebanyakan bacot."

Dava yang baru saja masuk ke dalam bangsal Alva langsung disambut dengan rentetan kalimat tersebut. Jujur saja, ia agak terkejut. Tak terpikirkan oleh Dava jika sang adik akan berceloteh seperti itu, padahal terpasang nasal kanula di bawah hidung Alva.

"Gue cuma mau nemenin lo, sama kak Rion aja nggak nurut, apalagi sama gue. Males gue buang tenaga kalo udah tau hasilnya gimana."

Mendengar penuturan Dava, anak itu hanya membulatkan bibir acuh.

"Nggak usah ditemenin, gue mau tidur. Risih kalo ada lo."

Dava berdecak. Bukannya melangkah keluar karena telah diusir secara tidak hormat, ia justru berjalan mendekat.

AdelfósWhere stories live. Discover now