1.Hukuman

10K 652 61
                                    

"Jangan bersihin gudang olahraga lah,Pak." Raut wajah Alva nampak memohon dengan sangat,berusaha menarik simpati sosok paruh baya di hadapannya.

Pak Esa—sosok paruh baya itu—tersenyum jahil."Takut,ya?"

Alva menghela napas panjang,untuk kali ini saja biarkan ia menunjukan kelemahannya pada guru yang selain menjabat sebagai wali kelasnya juga menjabat sebagai musuh bebuyutannya.

Ia mengangguk ragu,pandangannya ia bawa untuk bertatapan dengan lantai.Padahal satu langkah lagi,ia dapat memasuki kelas.Tapi musuh bebuyutannya itu malah mencegah dirinya masuk kelas karena telah terlambat hadir sekitar tiga puluh menit.

"Ini temen kalian takut disuruh bersihin gudang olahraga," ujar pak Esa sambil melongok kelas.

Dari depan pintu,Alva dapat mendengar suara tawa yang bergemuruh dari dalam kelas.

"Pak,katanya nggak boleh ngetawain kelemahan orang lain,kan?"

Pak Esa yang ikut tertawa kecil langsung bungkam.Ia kembali melongok ke dalam kelas."Udah,jangan berisik.Mengganggu kelas lain."

Alva menyunggingkan satu sudut bibirnya.Puas karena berhasil membungkam tawa guru di hadapannya.

"Jadi dihukum nggak,Pak?"

"Hukuman tetap hukuman,ya harus dijalani pokoknya!"

Alva merubah ekspresinya,lebih memelas lagi."Pak,selain penakut,saya juga alergi sama debu.Terus kalo alergi,biasanya saya itu sampe sesek napas gitu,bapak mau saya tiba-tiba ditemukan tewas di dalam gudang karena kehabisan oksigen?"

Pak Esa memicing,tak percaya begitu saja dengan ucapan anak didiknya itu.Alva itu anak yang cerdas,tapi kecerdasannya bukan dibawa pada hal penuh keberkahan justru dibawa pada hal yang berbau kelicikan.

"Bapak nggak percaya? apa harus saya bawa kakak-kakak saya ke sini buat bukti kalo saya emang alergi debu?"

"Yaudah coba."

Alva membuka mulut,tak menyangka jika musuh bebuyutannya itu malah menyetujui sarannya.

"Y–ya masalahnya kakak-kakak saya lagi sibuk semua,masa' suruh dateng ke sekolah? yang bener aja lah,Pak." Alva tertawa hambar di akhir kalimatnya.

Pak Esa tersenyum lebar setelah mendengar tanggapan Alva.Ia menepuk bahu anak itu pelan."Bohongmu kurang pinter.Udah sana kerjain hukumannya,cowok harus berani!"

Alva mencebikan bibir,akhirnya ia bergerak menjauh dari area kelas.Berjalan menuju ke bagian pojok koridor yang cukup sepi,karena para siswa kelas sebelah sedang berada di laboratorium IPA.

Alva menghembuskan napas kasar begitu tangannya berhasil meraih daun pintu.Setelah ruangan terbuka,suasana kotor dan berantakan langsung menyambutnya.

"Gilak?! ya kali gue harus beresin kaya gini? mending bolos lah!"

Ia menutup pintu,hendak berjalan ke arah rooftop.Tapi sayang,pak Esa telah berdiri di belakang tubuhnya.

Alva langsung menyentuh dadanya yang berdetak cepat,terkejut.

"Ya ampun,Pak.Untung saya masih muda,coba kalo udah seumuran bapak." Alva masih mengusap-usap dadanya.

"Maksudnya apa,hm?"

Alva menyengir lalu menggeleng."Nanti kalo saya jelasin,bapak tersinggung lagi."

Pak Esa menggeleng,sabar sekali menghadapi muridnya yang satu ini.

"Kamu mau ke mana barusan? kok nggak jadi masuk?" tanya pak Esa,kembali membawa topik utama yang berusaha Alva lupakan.

AdelfósWhere stories live. Discover now