29. Cengeng

2.6K 371 106
                                    

Netra Alva menatap Rion dan Dava secara bergantian, kelopaknya mengerjap dua kali.

Rion yang masih menikmati sarapannya sontak menatap Alva, risih. "Kenapa lo?"

"Baru sadar lo Alva kan emang absurd," jelas Dava. Meskipun begitu, ia juga dibuat penasaran dengan maksud tatapan sang adik.

Cengiran terbit pada wajah Alva, ia menatap Dava dengan sorot mata tajam. "Lo harus ikut berangkat bareng gue sama kak Rion. Titik."

Kernyitan muncul pada kening Dava, tapi melihat senyum lebar yang anak itu tampilkan, ia jadi tak tega untuk menolak.

"Nanti kak Rion juga harus jemput, bertiga lagi pokoknya! oke?"

Rion yang sejak tadi sudah dilanda kebingungan, kini makin dibuat pusing dengan permintaan Alva. Ingat kan jika sekolah Alva dan kampus Dava itu berlainan arah?

"Tapi, Al—"

Wajah yang tadinya nampak berseri itu, tiba-tiba berubah mendung. "Plis, Kak. Gimana kalo ternyata hari ini hari terakhir gue sekolah?"

Jika sudah seperti ini, maka tak ada jawaban selain. "Yaudah, iya."

Senyum kembali terbit pada wajah Alva, meskipun tak secerah tadi.

"Tapi, gue nggak suka sama omongan lo." Setelah mengatakan apa yang dirinya rasa, Rion beranjak. Lebih dulu berjalan menjauh dari area ruang makan.

"Kenapa lo tiba-tiba ngajakin gue berangkat bareng sekalian? biasanya juga nggak peduli gue mau ke kampus naik apa."

Satu sudut bibir Alva terangkat." Lo nggak lupa sama curhatan lo tadi malem 'kan, Kak?"

Beberapa saat, Dava hanya terpekur. Tak mengira jika Alva akan bertindak seperti ini. Ia kira semua yang Alva inginkan hari ini memang sebatas keinginan biasa, tanpa dilandasi tujuan dan latar belakang tertentu.

"Ayo, Kak! nglamun aja," tegur Alva sembari menepuk pundak Dava dengan cukup keras. Yang tentunya langsung membuat Dava tersadar dari lamunannya, sembari meringis kesakitan pula.

"Anjing lo!"

Sebelum Dava meledak-ledak, Alva lebih dulu menjauh. Sedikit berlari, menyusul Rion yang sudah ada di teras rumah.

"KAK, AMBILIN TAS GUE DI KAMAR! LUPA!!"

Dava berdecak. Bisa-bisanya anak itu lupa membawa tas ketika hendak pergi ke sekolah.

"Bego! nggak punya niat sekolah ya gitu." Meskipun mendumel kesal, tapi ia tetap mengambilkan ransel Alva di kamar. Padahal, ia bisa saja menolak permintaan anak itu dan membiarkan Alva mengambil ranselnya sendiri.

Tapi ... yasudahlah, toh, ia juga mendapat pahala karena mau membantu Alva.

Dengan langkah tak bersemangat, Dava berjalan ke arah teras. Tiba di sana, ia melempar ransel Alva kepada sang pemilik. Untung anak itu dengan sigap menangkapnya.

"Bisa lebih cepet nggak?!" seru Rion dari dalam mobil yang kini sudah terparkir di depan gerbang rumah.

"Lama lo, Kak!" cela Alva, kemudian berlari masuk ke dalam mobil. Duduk di bagian jok penumpang belakang dengan dalih 'ia yang akan turun lebih dulu nantinya'.

Lima menit kemudian, Dava ikut masuk ke dalam mobil. Duduk pada jok samping kemudi, di sebelah Rion.

"Pintu udah dikunci?" tanya Rion, memastikan sebelum mobilnya mulai melaju memecah padatnya jalan raya ibukota.

Dava hanya mengangguk, lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran jok.

Di belakang, Alva tengah menyanyi dengan suara merdunya sembari mendengarkan lagu dari ponselnya melalui sambungan headset.

AdelfósWhere stories live. Discover now