27.Obat

2.9K 370 66
                                    

"Kemoterapi sudah tidak berpengaruh pada penyakit Alva."

Penjelasan dokter yang tadi sempat memeriksa kondisi Alva membuat Rion termenung pada kursi tunggu ruang ICU. Di sebelahnya ada Dava yang tak jauh berbeda dengannya, melamunkan hal yang sama.

"Gue takut."

Rion beralih menatap Dava. "Kenapa takut?" Sebenarnya, Rion paham dengan ketakutan yang Dava alami. Ia pun merasakan ketakutan yang sama, namun tak bisa mengeluh begitu saja. Jika dirinya juga mengakui ketakutannya, lantas siapa yang akan memberi keberanian untuk Alva agar mampu menghadapi semuanya?

"Alva bisa ... sembuh kan, Kak?" tanya Dava, sedikit tersendat.

Tatapan Rion beralih pada pintu kaca ruang ICU. "Bisa ...."

Dava menatap layar ponselnya, mengetik sesuatu, kemudian beranjak.

"Mau kemana lo?"

"Pulang sebentar."

Walaupun sedikit curiga, namun Rion tak mencegah Dava pergi. Mungkin adiknya yang satu itu jenuh karena harus duduk di sini selama hampir dua jam.

Sedangkan Dava yang saat ini telah keluar dari lingkungan rumah sakit langsung menghembuskan napas lega. Bersyukur karena Rion tak terlalu banyak bertanya.

Ia lekas mencari taksi di pinggiran jalan rumah sakit. Setelah mendapatkannya, ia langsung mengatakan tujuannya. Dava memang benar-benar akan pulang, tapi untuk mengambil motor lalu pergi lagi ke tempat yang benar-benar ingin ia tuju.

Tiba di depan gerbang rumahnya, Dava segera turun dari taksi setelah membayar argo. Membuka kunci pagar, kemudian berjalan ke arah garasi.Tiba di dalam sana, ia langsung mengambil kunci motor yang diletakannya di belakang pintu garasi.

Setelah mengeluarkan motor dan mengunci kembali pagar rumahnya, Dava segera menyalakan mesin motornya dan menancap gas.

Tiba di sebuah tanah lapang yang dilapisi semen, Dava menghentikan motornya. Setelah mencabut kunci, ia segera turun dari motor. Menghampiri sosok berjaket hitam yang nampak menunggu kehadirannya.

Sosok itu menyeringai ketika melihat siratan amarah pada wajah Dava.

"Gue kira lo—"

Bugh

"ANJ*NG, MASALAH LO SAMA GUE! NGAPAIN BAWA-BAWA ALVA?! GARA-GARA KELAKUAN BEJAT LO, ALVA MASUK KE ICU BANGS*T!"

Tak ada perlawanan dari Kenan, ia hanya menyaksikan amarah Dava dengan satu bibir yang terangkat. Seakan mengejek segala ucapan yang keluar dari bibir pemuda di hadapannya.

"Lo lupa? selain punya masalah sama lo, gue juga punya masalah sama adek lo."

Napas Dava masih terengah. Mungkin ucapan Kenan memang benar, tapi tindakan yang manusia satu itu lakukan tetaplah sebuah kesalahan besar.

"TAPI ALVA MASIH DI BAWAH UMUR BUAT NGRASAIN MINUMAN KERAS ANJ*NG!"

"Bukan gue yang ngusulin ide itu bego."

Amarah Dava sedikit meluruh. Jika bukan Kenan, lantas ... siapa?

"Siapa?"

"Gue nggak mau kasih tau, sih."

Dava menghembuskan napas cukup panjang. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, ia harus lebih berhati-hati dalam berucap dan mengontrol emosi.

"Makannya didik adek lo yang bener! musuh kok dipanen."

"Cuma pengecut yang berusaha nyembunyiin kebenaran."

Disebut pengecut, rupanya mampu membuat emosi Kenan membumbung tinggi. "Lo pikir ... lo bukan pengecut? nyakitin hati cewek cuma gara-gara anceman gue? bukannya berusaha pertahanin hubungan lo dan buat Reta tetep aman sama lo."

AdelfósWhere stories live. Discover now