30. Lemah

3.1K 358 44
                                    

"Gue ada janji mau ketemu orang, lo di rumah aja sama Dava, jangan kelayapan!" pesan Rion pada Alva yang tengah bermain game sembari membaringkan tubuh di sofa ruang keluarga.

"Ketemu calon, Kak?" goda Alva, sedikit melirik Rion yang tampak salah tingkah.

Tak ada jawaban dari Rion, ia bergegas menjauh dari ruang keluarga sebelum Alva kembali meledeknya.

"LO UDAH JANJI MAU NGENALIN KE GUE, KALO LO LUPA!" teriak Alva hingga tanda game over pada ponselnya berbunyi.

Bibirnya mengerucut, Alva kemudian mendudukan tubuh.

"Berisik banget lo pagi-pagi."

Kepala Alva bergerak menoleh ke belakang, mendapati Dava yang keluar dari kamar dengan jaket hitam dan jeans biru donker. Tampaknya kakak keduanya itu juga akan pergi keluar.

"Lo mau pergi juga, Kak?"

Dava mengangguk, lalu berjalan mendekat ke arah Alva. "Inget pesen kak Rion. Jangan kelayapan!"

Alva berdecak, kenapa tidak adil sekali rasanya? ia kan juga ingin pergi keluar, bosan terkurung di dalam rumah seperti ini. Padahal kan sekarang hari Minggu.

"Gue ikut, Kak ...," rengek Alva dengan wajah memohon.

"Gue mau kerja anjir."

Alva menghembuskan napas kasar, tanda kecewa. Bibirnya ia tekuk, menghiasi wajahnya yang juga tertekuk kesal.

Tangan Dava terangkat mengacak rambut Alva. "Inget, jangan kelayapan!" Setelah mengingatkan kembali pesan dari Rion, Dava berjalan keluar dari dalam rumah.

Tatapan Alva nampak kosong, menatap layar televisi yang hitam karena memang tak dinyalakan. Suara motor Dava yang terdengar semakin samar membuat Alva kembali menghembuskan napas kasar.

Tadi malam, sebenarnya ia sudah merencanakan hal yang akan dirinya lakukan hari ini. Tapi agak ragu juga jika dirinya pergi sendirian, apalagi dengan kondisinya yang seperti ini.

Setelah berpikir beberapa menit, ia akhirnya beranjak. Berjalan ke arah kamar, kemudian mengambil hoodie putihnya dan beberapa lembar uang untuk keperluannya nanti.

Alva bergegas pergi dari rumahnya, tak lupa mengunci pintu dan pagar. Langkahnya ia bawa menyusuri jalanan kompleks yang cukup sepi. Tiba di ujung kompleks, ia berdiri menunggu taksi online yang sudah dirinya pesan di perjalanan tadi. Inginnya langsung di depan rumah, tapi lokasi di sini lebih strategis.

Sebuah taksi dengan plat yang sama dengan taksi pesanan Alva berhenti di depan anak itu. Ia langsung masuk ke dalam, duduk pada kursi penumpang belakang.

Lima belas menit kemudian, Alva turun dari taksi. Menatap hamparan tanah yang luas, namun hanya berisikan gundukan tanah yang beberapa di antaranya masih nampak baru.

Ia menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya menggerakan tungkainya secara perlahan ke arah makam kedua orangtuanya. Tiba di tengah-tengah makam sang ayah dan sang bunda, ia berjongkok.

Menatap nisan milik sang ayah terlebih dahulu, mengelusnya perlahan dengan diiringi tatapan sendu.

"Ayah ... maaf, ya, Alva baru bisa dateng sekarang. Maaf Alva nggak bisa jadi anak yang baik. Alva nakal, Yah ... sering bikin kak Rion sama kak Dava marah. Kalo ayah masih di sini, pasti kakak nggak berani marahin Alva." Senyum Alva terukir, sebelum melanjutkan kembali ucapannya. "Tapi kakak baik, kok, Yah. Kalo mereka jahat, pasti Alva udah ikut ayah sama bunda di sana." Tatapannya beralih menatap langit yang hari itu mendung.

Menghembuskan napas cukup panjang, Alva berbalik menatap nisan sang bunda. Jujur saja,ia lebih lemah jika dihadapkan dengan sang bunda—walaupun hanya sekedar nisan. Dulu, ia selalu mengadukan apa pun pada bundanya, walaupun tau beliau tak dapat memberinya nasehat. Tapi karena itulah, Alva lebih terbuka dengan sang bunda, bunda tak akan memarahinya seperti bunda-bunda lain di luar sana. Ia bahagia memiliki bunda yang istimewa.

AdelfósOnde histórias criam vida. Descubra agora