4: Benar-benar tidak siap

3K 221 3
                                    

Shinta belum siap sepenuhnya. Itu memang benar. Tiba-tiba saja dia masuk ke dalam novel ini, berperan sebagai Dewi.

Ah. Shinta mengamati wajahnya yang berada di cermin.

Apa di kehidupan nyata dia sudah mati?

Lalu, bagaimana nasib mamanya? Beliau kan, orang yang sangat sayang kepada dirinya selama ini? Nyaris semua permintaannya terkabul berkat sang mama.

Dan di kehidupan ini, tidak ada satu permintaan maupun harapan Dewi yang pernah terkabul.

Oh tidak!

Shinta tidak ingin hidup sebagai Dewi. Tidak ingin. Sangat tidak ingin. Air matanya jatuh kembali.

Shinta bertanya-tanya, apa tujuan dan maksud dari semua ini?

Tiba-tiba, Shinta teringat sesuatu. Ending dari novel itu sendiri. Tabrakan. Nyaris sama persis dengan yang dia alami. Shinta menelan ludah. "Gue, bakalan mati dengan keadaan yang sama?" Dia menggeleng tidak ingin.

SIAL! SIAL! SIAL! SIAL!!!

Shinta sangat tidak menyukai kehidupan di sini. Semua memakai topeng. Semuanya. Seperti Dewa tadi misalnya. Dia menurut, tampak tidak perduli. Tapi sejatinya, anak itu sedang merencanakan sesuatu. Merencanakan untuk membalik nama seluruh harta, lalu menendang dirinya dari kehidupan.

Tangan Shinta terkepal erat. Hanya dirinya yang ditendang. Kedua orang tua Dewa tetap dibiarkan menumpang, asal tidak mengekangnya lagi. Itu strategi yang sangat bagus sekali.

Lalu, Dewa sialan itu melaksanakan acara pertunangan dengan sang pacar, tepat ketika mereka lulus dari sekolah.

Dan Dewi, mengalami kecelakaan di hari itu. Dewi depresi, dia frustasi. Shinta tau itu. Selain ditendang oleh Dewa, dia satu-satunya orang yang tidak lulus dari sekolah. Kedua orang tuanya juga sudah tidak dapat dihubungi selama satu Minggu terakhir. Dewi benar-benar sendiri, kesepian. Terbuang, dan terasingkan. Hingga, malam itu Dewi ingin berbuat nekat, menghancurkan acara pertunangan Dewa dengan sang pacar. Baginya, dia tidak bahagia, maka orang lain juga tidak berhak bahagia. Tapi naas, Dewi mengalami kecelakaan. Dan entah apa statusnya. Cerita berakhir di sana, tidak ada kelanjutannya sama sekali. Entah Dewi selamat atau tidak. Entah Dewi ditolong orang sekitar atau tidak. Tidak ada yang tau. Zindy mengajak pembacanya untuk berimajinasi sendiri dengan akhir sang tokoh Antagonis.

Dan sayangnya, imajinasi Shinta malam itu berjalan. Dia sangat tidak terima karena berimajinasi bahwa Dewi tidak selamat. Meninggal di tempat.

Harus Shinta akui memang, Zindy sangat baik membawakan cerita ini sebenarnya. Mengaduk-aduk perasannya. Tapi, Shinta tidak akan memberi pujian itu kepada Zindy. Sangat tidak ingin. Masih banyak kekurangan di dalam novelnya. Sangat banyak.

Tiba-tiba saja, dia teringat percakapannya dengan Zindy jauh sebelum dia kecelakaan.

**********
"Menurut Lo, gimana novel terbaru gue Shin?"

Di pagi hari yang cerah saat itu, entah mengapa Zindy mengganggu kehidupan damai dari seorang Dewi Shinta.

Benar-benar mengganggu. Harusnya Shinta sudah duduk manis di bangku. Tapi gara-gara Zindy yang menghalangi pintu, dia harus meladeni penulis bangsat ini terlebih dahulu.

Shinta berdecak. "Apa untungnya gue baca novel itu heh?"

Zindy membuka mulut. Dia kira, Shinta sudah membaca novel miliknya. Zindy sangat menunggu respon dari Shinta. Bagaimanapun juga, 3 novel lainnya yang telah diterbitkan beberapa tahun lalu, mendapat kritik pedas dari Shinta.

Zindy awalnya sakit hati. Tapi dia mencoba open minded mendengarkan kalimat Shinta, menjadikannya sebagai acuan agar novel miliknya menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Dan sekarang, Zindy sangat membutuhkan kritik itu. Juga, respon tambahan dari seorang Dewi Shinta yang sangat dia tunggu.

Shinta menyeringai. Mengerti akan respon milik Zindy. "Jangankan di baca, unboxing aja belum."

Zindy menggelengkan kepalanya dramatis. "Jahat banget Lo! Nggak percaya gue. Lo, bener-bener cocok jadi pemeran Antagonis Shin."

Shinta menghela napas. Entah mengapa, semua siswa pasti akan canggung, tidak ingin berurusan kepada dirinya, tapi hanya Zindy yang terus mengusiknya. Mengganggu kehidupannya—ah Shinta sepertinya melupakan beberapa monyet yang juga sering mengganggu dirinya. "Lo yang Antagonis, miskin pula. Menjijikan banget ngemis-ngemis nyuruh gue buat beli novel murahan Lo itu. Paket combo lagi! Inget ya, gue nggak perlu aksesoris atau entah apa namanya itu. Heeehhsss."

Brakkk!!

Shinta menggeser badan Zindy hingga membentur pintu, membuat Zindy meringis kecil. Sedangkan Shinta menyeringai. "Pemeran Antagonis bukan?" Shinta terkekeh, lalu bergumam. "Itu bukan Antagonis, tapi orang sok berkuasa."

**********

Shinta sangat tidak suka jika dirinya diusik. Ya, dia tidak menyukai itu. Baginya, kehidupan hanya berputar pada Rama.

Shinta menghela napas. Dalam beberapa hal, dia memiliki sifat yang sama dengan Dewi. Mungkin, Zindy berusaha menyesuaikan dengan keadaan aslinya. Yeah, hanya mungkin.

Shinta segera membasuh mukanya cepat-cepat. Makan malam ini harusnya segera berakhir. Shinta ingin tidur. Lalu menyusun rencana untuk kedepannya.

Shinta keluar dari kamar mandi. Dia berjalan menunduk. Seseorang berdiri 5 meter dari arah Shinta.

Shinta mendongak, melihat orang itu.  Lalu berjalan mendekat. "Ra- eh Dewa?" Shinta bertanya, senyumnya melebar. Bagaimanapun juga Dewa memiliki wajah yang sama persis seperti Rama. Yeah, walaupun cowok di depannya ini memasang banyak topeng di mukanya. Definisi orang munafik.

"Ngapain ke sini?" Shinta berusaha bersikap ramah. Dia sudah sampai di depan Dewa. Berjarak sekitar setengah meter.

"Terserah." Dewa, cowok itu lantas berbalik arah. Tapi sepertinya tidak ingin pergi ke tempat makan malam tadi. Shinta mengikuti sambil berlari kecil.

Ayo, buat semua ini lebih mudah.

Shinta mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Dewa. "Gimana, kalo kita bikin kesepakatan?" Shinta tersenyum lebar. Urusan tersenyum, Shinta itu ahlinya.

"Nggak."

Shinta menghela napas. Dewa benar-benar irit berbicara. Ya, Rama memang irit berbicara tapi dalam keadaan tertentu, anak itu akan mengomel, berbicara panjang.

Shinta mendengus kecil. Bagaimana bisa Dewi bertahan? Mengejar-ngejar seperti orang gila jika sekalipun cowok disampingnya ini nampak acuh? Tak memberinya harapan sekecil apapun.

Langkah Shinta tiba-tiba terhenti. Harapan. Apa benar selama ini Rama bersikap baik kepada dirinya karena ingin memberi harapan?

Atau malah, harapan itu dirinya sendiri yang membuat? Terlalu banyak harapan hingga membuatnya tutup mata.

6 bulan terakhir, Rama resmi memiliki seorang kekasih.

Shinta menunduk.

Apakah tujuan dari semua ini untuk menyadarkan dirinya?

Shinta belum siap. Atau lebih tepatnya, dia tidak pernah siap. Setiap tersadar, rasanya sangat menyakitkan.

Lalu, apakah dia akan terus hidup dengan terus menutup mata?

MUTUALWhere stories live. Discover now