12: Rasa tidak suka

1.4K 124 8
                                    

Yang dilakukan Shinta saat ini adalah berbaring. Tubuhnya menghangat, ya dia terkena demam.

Tadi, mamah Dewa sudah memanggil dokter, dan Shinta hanya perlu beristirahat saja. Shinta kelelahan. Bukan fisik, tapi mental.

Shinta menatap langit-langit kamar. Mamah Dewa memang baik. Tapi sebaik apapun mamah Dewa, tetap saja tidak sebaik mamahnya di dunia nyata. Air mata Shinta turun kembali. Shinta ingat, jika dirinya sakit mamahnya dengan sepenuh hati menjaga dirinya, selalu di sampingnya. Mengelus-elus rambutnya, selalu mengganti kompresan, dan menyuapinya makan. Di sini, Shinta tidak mendapatkan itu semua.

Shinta benar-benar rindu dengan dunia nyata. Dia sangat rindu.

Kapan penderitaan ini akan segera berakhir?

Shinta ingin mati saja. Tapi setiap kali dia ingin mencoba, dia selalu merasa takut, cemas tak berkesudahan. Dan lagi, 2 kali ini, secara tidak langsung Dewa yang selalu menolongnya.

Dewa.

Ananda Dewa Saputra.

Sang pemeran utama dalam novel milik Zindy.

Shinta menyeringai kecil mengingat judul novel itu.

Bukan Dewa Dewi.

Ya, memang bukan Dewa Dewi, tapi Dewa Liana. Agaknya, Zindy benar-benar menentang keras usahanya untuk mendekati Rama.

Bibir Shinta mengerucut. Kesal. Sangat kesal. Rasa-rasanya, dia ingin memukul jari-jari tangan Zindy. Sesukanya mengarang cerita tentang dirinya.

Shinta masih menatap langit-langit kamar. Ada satu hal yang dia sadari sekarang. Dewi, masih memiliki harapan. Dia tidak benar-benar sendirian. Ada orang yang perduli dengan dirinya. Mamah Dewa contohnya. Tapi, menjelang ending, Dewa benar-benar mengontrol orang-orang dengan kekuasaannya. Tak terkecuali kedua orang tuanya. Benar-benar kelewatan.

Shinta tidak tahan.

Sepeduli apapun mamah Dewa, di akhir cerita wanita itu hanya menjadi wanita tak berdaya. Kalah dengan ancaman anaknya yang mempunyai kekuasaan.

Kesal.

Kesal.

Kesal.

Shinta mengelap air matanya yang tumpah lagi. Selalu saja air mata ini tumpah.

Shinta benar-benar menghapus air matanya sampai tak bersisa, dia berusaha keras agar air mata itu tak keluar lagi.

Tolong Shinta, siapapun itu.

Shinta benar-benar butuh keajaiban. Tolong Shinta, berikan keajaiban itu.

"Kumohon..." Suara Shinta serak. Sekeras apapun usahanya untuk menghentikan tangis, tapi air mata itu tetap keluar, dan malah semakin deras.

Suhu badan Shinta kian menghangat, kepala Shinta yang sudah pusing semakin pusing. Lalu, pandangannya menggelap.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Bangun-bangun, Shinta sudah berada di ruang inap rumah sakit. Ya, siapa lagi yang membawanya kemari kalau bukan orang tua Dewa.

Shinta sedari tadi hanya diam melamun, memperhatikan tangannya yang sedang di infus.

Tidak ada yang bisa dia lakukan selain melamun sekarang.

Drtttttttt!

Suara pintu terbuka.

Shinta mengalihkan pandangannya kearah pintu. Ananda Dewa Saputra. Ya, yang datang adalah Dewa. Cowok itu masih memakai seragam sekolah. Menenteng satu kresek yang entah apa itu isinya.

Dewa berjalan mendekati Shinta, meletakkan kresek itu di meja dekat Shinta. Lalu, menempelkan punggung tangannya ke jidat Shinta.

Shinta menggeliat. Tidak ingin jidatnya di pegang oleh Dewa. "Ngecek kok pake tangan." Shinta mencibir dengan suara yang masih serak.

Dewa hanya mengangkat bahunya lalu mundur dan duduk di sofa. Dewa mengacungkan jari telunjuknya, menunjuk wajah Shinta sambil memicingkan mata.

"Apa!" Shinta menyentak. Tidak suka Dewa menunjuknya seperti itu.

"Nggak lulus."

PEDULI SETAN!! GARA-GARA MIKIRIN HAL NGGAK PENTING KAYAK GITU GUE HARUS MASUK RS!!!

TAI ANJING!!! DUNIA NOVEL BAJINGAN!!!!

Bibir Shinta mengerucut, mencoba menahan napas. Dia tidak akan meneriaki Dewa dengan kalimat itu.

Bisa-bisa, Dewa akan menganggap dirinya gila. Yang lebih parahnya lagi, mungkin saja cowok itu akan cepu dengan memberitahu banyak orang. Tidak ingin. Shinta tidak ingin hal itu terjadi.

Nanti, yang terjadi bukan sebatas 'dianggap gila' tapi dirinya bisa menjadi gila beneran.

Shinta memperhatikan Dewa dalam diam. Cowok itu kini sedang menunduk, memainkan ponselnya. Mungkin saja, cowok itu tengah berbalas pesan dengan seseorang. Jika memang sedang berbalas pesan, Shinta dapat menebak dengan benar. Pasti Dewa sedang berbalas pesan dengan kekasihnya, Liana.

Shinta lalu mendengus. Hatinya tiba-tiba saja nyeri. Di kehidupan nyata ataupun di kehidupan yang sekarang, rasanya sama saja. Dia berperan sebagai orang yang selalu makan hati.

Ah.

Kenapa pula ini?

Kenapa... Kenapa rasa tidak suka itu kini hadir?

Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Dirinya tidak boleh menyukai Dewa sedikitpun. Yang ada dihatinya, hanya akan ada Rama selalu. Ya, hanya Rama. Walaupun, beberapa terakhir ini, Shinta mencoba mengikhlaskan Rama dengan Bajingan kecil itu. Ah, bajingan kecil itu punya nama. Mari, baiklah. Shinta akan berbaik hati dengan menyebut nama asli sang bajingan kecil, Luna.

Rama dengan Luna. Shinta sudah memikirkan ini berhari-hari. Mencoba mengikhlaskan mereka berdua walaupun, Shinta yang hadir lebih dulu. Walaupun, Rama adalah malaikatnya sejak kecil. Shinta tidak akan melupakan kenangan kecilnya bersama Rama. Dia, akan mengenangnya, selalu.

Duk!!!

"Aduh," Shinta meringis pelan. Tiba-tiba saja, Dewa sudah ada di sampingnya, menyentil jidatnya.

"Aneh." Dewa mencibir. Shinta mengepalkan tangannya kesal. Ingin sekali cewek itu memukul wajah Dewa. Tapi, itu tidak akan Shinta lakukan. Wajah Dewa 100% mirip dengan Rama. Ya, walaupun sifat mereka sedikit berbeda, Shinta tidak akan melukai wajah tampan Dewa. Wajah yang selalu mengingatkan dirinya kepada Rama.

"Gue pesan makanan. Junk food. Makan diem-diem aja." Selepas mengatakan itu, Dewa berbalik arah, pergi dari ruangan ini.

Senyuman kecil terbit di wajah pucat Shinta. Tadi, Shinta sudah melewati jadwal makan siang. Dia tidak makan karena tidak menyukai menu makanan yang telah disajikan. Masakan rumah sakit itu, tidak ada rasanya. Hambar.

Dan Shinta, tidak suka.

*********
Jumat, 16 Desember 2022

MUTUALWhere stories live. Discover now