23. Jenis orang ke dua

499 61 2
                                    

"Kamu kemarin kemana?" Tera bertanya tatkala Shinta baru saja duduk di bangkunya. Shinta mendesis sebal. Mengapa Tera harus menggunakan aku-kamu sih? Yang lebih menyebalkannya lagi, kenapa nada yang dikeluarkan oleh Tera adalah nada yang lembut dan merasa sangat sangat bersalah?

"Sakit. Bukannya sudah ada surat dokter ya?" Shinta menjawab dengan lugas. Dia memutar bola matanya malas.

"Kirain..." Tera bernapas lega.

"Kirain? Kirain kenapa?" Walaupun sebal-sebal begini tapi Shinta masih tetap penasaran.

"Karena kamu nggak berangkat kemarin, kamu jadi nggak tau ya, kejadian heboh seantero negeri?"

Heh? Shinta terkekeh pelan. "Seantero negeri kamu bilang? Bukannya itu terlalu berlebihan?"

"Kamu tau kejadian yang ku maksud?"

Shinta menggeleng. "Tapi bilang bahwa seantero negeri itu terlalu berlebihan. Maksudku, nggak semua orang tau kan."

"Cuman kamu yang nggak tahu!"

Shinta mengepalkan tangan kesal. "Emang apa sih?!"

"Bahkan, sekarang Dewa nggak berangkat sekolah kan?" Tera malah lompat ke topik lain.

"Ah, aku tidak bertemu dengannya pagi tadi. Mungkin dia berangkat telat..." Shinta memberikan pendapat yang cukup masuk akal.

"Kamu beneran nggak tau ya?!" Tera semakin menatap Shinta dengan intens.

"A-apaan sih?!" Shinta merasa sangat terganggu. Dia mendesis sebal.

"Dewa kan Di skors makanya tidak masuk sekolah."

"Heh?"

**************

Yang Shinta dengar dari cerita Tera, kemarin sekolah ini diserang oleh anak geng sekolah lain. Dan Dewa, sebagai ketua geng Black Road bertanggung jawab atas penyerangan ini. Karena itu, Dewa beserta anak-anak geng Black Road yang terlibat di skors selama beberapa hari.

"Diserang? Tiba-tiba?" Shinta masih melontarkan pertanyaan. Kedua tangannya menyangga pipi. Mendengarkan cerita Tera dengan takjim.

"Entah, kalau kaya gitu pastilah ada penyebabnya ga sih? Kemarin parah banget. Gerbang sekolah sampai jebol, untung saja pagi ini udah kembali seperti semula."

"Kalau boleh tau, dari sekolah mana?" Shinta menaikkan sebelah alisnya, sedikit penasaran.

"SMA Stella, kalau nama geng nya apa ya, lupa... Ah... Ga tau, tapi mereka pakai seragam SMA Stella."

Shinta menganggukkan kepala takjim. Sepertinya Tera adalah orang yang kurang dengan bahan gosip. Kok bisa ya? Padahal anak ini 'tau' dengan keadaan hubungan antara dirinya dan juga Dewa.

Ah, atau jangan-jangan Tera 'mengabdikan' dirinya untuk menguntit mereka berdua dan mengorbankan informasi-informasi di sekitarnya?

Gila.

Pemikiran Shinta benar-benar gila.

Tidak mungkin seperti itu kan?

Agaknya, Shinta terlalu cemas dan juga waspada.

"Kamu kelihatan nggak perduli." Tera berkomentar pelan.

"Eh?" Shinta mengedipkan matanya beberapa kali. "Maksudnya?"

"Respon mu hanya segitu?"

"Memangnya aku harus merespon seperti apa? Heboh, begitu? Lantas pulang untuk menemui Dewa?" Shinta membela.

"Harusnya memang begitu kan?"

"Nggak ada yang mengharuskan. Lagi pula aku nggak ada hubungannya dengan ini. Biar saja kalau sekolah diserang atau apapun itu karena Dewa. Sejak awal itu masalahnya. Bukan masalahku." Shinta berkata acuh. Cukup panjang. Seperti seseorang yang sedang defensif.

MUTUALWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu