17. Satu Fakta terungkap

1.3K 121 6
                                    

"Hah? Tunggu." Shinta kini menatap Dewa dengan mata yang membola. Jantungnya tiba-tiba saja berdegup tak beraturan. Dirinya benar-benar kaget.

Apakah dia salah dengar?

Bagaimana bisa?

Bagaimana bisa?

"Kamu, bilang apa?" Shinta ingin kejelasan.

Apakah... Orang yang berada di hadapannya ini, Dewa... Ataukah Rama...

Hah? Bibir Shinta berkedut, menahan senyum. Dia bahkan ingin tertawa satir pula. Tidak mungkin kan, pemikiran tololnya barusan ini. Rama tidak mungkin kan, berada di dunia novel sialan ini?

Perlahan Dewa tersenyum lega. Dia mengacak rambutnya pelan. "Sialan!" Dia mengumpat lalu tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. Lantas, segera duduk di bangku kembali.

Tunggu.

Shinta linglung.

Dia bingung.

Apa-apaan ini?

"Hah? Apa? Apa?" Shinta bingung, tapi hati kecilnya entah mengapa merasa lega. Rasanya, dirinya tidak sendirian. Terjebak di sini.

Shinta duduk secara perlahan, matanya masih saja melihat Dewa yang berusaha meredam tawanya.

Dewa menyeka matanya sejenak. "Jujur aja, aku masih bingung. Tapi di sisi lain juga sedikit lega."

"Kamu, benar-benar Shinta kan?" Tawa Dewa sepenuhnya mereda. Kini menatap Shinta dengan tatapan lega, tapi masih memastikan bahwa orang di depannya ini adalah Shinta.

Perlahan Shinta mengangguk. Kini senyuman miliknya tak kunjung luntur. "Rama?" Matanya bahkan kini berair kembali. Rasa senang dan lega bercampur menjadi satu, melupakan pemikirannya barusan tentang 'menjauhi Rama di dunia Nyata'. Segera Shinta mengusap matanya kembali, agar air mata itu tak jatuh.

Rama mengangguk. "Ini gila tapi, benar-benar terjadi. Jadi, ayo kita bicarakan ini di tempat lain." Rama berdiri, Shinta yang melihat itu lantas ikut berdiri, berjalan di belakang punggung Rama.

Matanya sejak tadi tak berkedip. Orang di depannya ini benar-benar Rama. Jantung Shinta terus saja terpompa cepat. Senyuman di wajahnya masih saja tertempel. Ini menyenangkan, melegakan, menggembirakan.

Rama nya... Ada di sini.

Dan lagi, lupakan pemikirannya untuk mengikhlaskan Rama. Saat ini dirinya tidak berada di dunia nyata, melainkan di dunia novel. Terlebih, bersama Rama seorang.

Tunggu. Shinta benar-benar terbuai dengan pemikirannya. Senyuman miliknya kini luntur. Dia masih mengikuti Rama, tapi dengan tatapan mengarah ke lantai, dia menunduk.

Ah, rupanya aku terlalu egois...

Nyeeettttt.

Entah mengapa hatinya kini terasa sakit. Jika dirinya dan Rama terdampar di dunia novel ini lantas menjadi dekat, maka kedekatan keduanya karena persamaan senasib. Itu tidak akan merubah fakta bahwa Rama akan menyukai dirinya kan?

Tapi, mungkin kita akan menjadi lebih dekat.

Shinta kini memamerkan senyumannya lagi. Tak apa. Jika Rama tak menyukainya tak apa. Tidak perlu disukai bahkan dicintai oleh Rama. Mungkin perasaan ini sudah sebaiknya dimiliki oleh dirinya saja.

Rama dengan deritanya, tak perlu memeluk dirinya yang bagai bunga mawar. Batangnya, akan menusuk seluruh tubuh Rama.

Tidak....

Itu benar-benar menyakiti Rama...

Shinta kini menunduk lagi. Entah mengapa, di dunia novel ini dirinya bisa berpikir lebih luas. Tidak seperti di dunia nyata dimana dia selalu dan selalu saja berpikiran sempit sampai-sampai menyusahkan banyak orang.

Ah... Kini Shinta lebih banyak sadar diri rupanya.

Bruuuk!!!

"Aduh," Shinta meringis. Dia kemudian mengusap jidatnya. Baru saja dirinya menabrak punggung tegap milik Rama.

Shinta mengangkat kepalanya, ternyata Rama sudah berhenti. Rama membawanya ke rooftup ternyata.

"Kamu bengong?" Rama melambaikan tangannya di depan wajah Shinta.

Dengan cepat Shinta mengedipkan matanya berkali-kali, lalu menggeleng. "Ah, enggak. Aku, aku cuman sedikit bingung aja."

Khhaaaah. Rama menghela napasnya panjang. Dia lantas duduk di sofa. Entah bagaimana, tapi ada sofa di atas rooftup. Mungkin, para anak-anak bandel yang membawa sofa ini. Shinta mengikuti Rama duduk. Dia tidak agresif. Karena belakangan ini, Shinta lebih banyak berpikir.

Diam.

Tidak ada yang memulai percakapan.

Shinta melihat ke arah atas. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan dan juga diskusikan. Tapi, Rama tak kunjung membuka mulutnya. Bisa dikatakan, Shinta sedikit enggan untuk memulai semua percakapan ini.

"Shinta, kamu benar-benar Shinta kan?" Rama kini menatap Shinta menanyakan kalimat itu kembali. Dia ingin memastikan itu lagi ya? Respon cepat, Shinta mengangguk beberapa kali. Dia terlihat sangat imut. Jika bisa digambarkan telinga kelinci, mungkin akan terlihat lebih baik.

"Rama, kamu... Bagaimana bisa tau kalau ini aku? Maksudku, maksudku... Aku tiba-tiba saja berada di dunia yang hampir sama dengan dunia nyata, tapi dengan nama karakter yang seluruhnya berbeda.... Aku takut... Tentu aja..." Shinta tak sabar. Dia kini menceritakan perasaan sebenarnya. Dia benar-benar takut berada di dunia novel ini. Bagaimana caranya kembali.... Atau bagaimana keadaan tubuhnya di dunia nyata.... Shinta benar-benar pusing memikirkan semua itu.

"Karena itu ya, kamu sakit terus dan sampai masuk rumah sakit. Aku selalu memikirkannya, hari di mana setelah kamu terkena bola basket waktu itu, Dewi sedikit berubah... Apalagi, kalimat pertama yang kamu ucapkan saat itu adalah "Rama" kan? Dewi yang selalu menempel tiba-tiba saja menjadi sedikit pendiam dan berperilaku aneh. Apalagi, dia membuat perjanjian aneh dan menepati janjinya untuk menjauh."

Shinta sedikit tersentil. Entah mengapa, dia tidak suka dengan penjelasan Rama. Padahal, tidak ada yang salah sedikitpun dengan kalimat milik Rama tadi.

Satu hal yang bisa disimpulkan. Rama berada di sini lebih dulu dari pada Shinta.

"Kamu sepertinya memberi benteng tinggi kepada Dewi." Shinta malah mengomentari itu. Sorot matanya sedikit kosong. Entah mengapa Shinta benar-benar tidak suka.

"Aku——

"Kamu direpoti olehnya ya?" Shinta memotong kalimat milik Rama.

Rama membuang wajah. "Apa aku boleh jujur?"

Shinta diam. Suasana hatinya kini menjadi kacau. Dia tidak suka. Dirinya benar-benar tidak suka.

"Aku benar-benar muak. Berada di dunia ini."

Shinta diam. Tapi dia terpikirkan sesuatu. Apakah yang dimaksud adalah Rama yang muak dengan seluruh perilaku Dewi?

"Tiba-tiba saja aku masuk ke dalam dunia ini. Bingung? Tentu saja. Semua orang berubah nama, beberapa bahkan ada yang tidak kutahu wajahnya. Lalu... Seperti sudah di tuliskan oleh seseorang, kehidupanku yang rapih berjalan. Tapi, setelah hari itu... Setelah tabrakan itu... Setelah tabrakan itu..." Wajah Rama mengeras. Dia mengepalkan tangannya kuat. Seperti tengah meredam amarahnya.

Apa maksudnya? Setelah tabrakan? Tabrakan yang mana?

Jantung Shinta berdegup sangat kencang. Sepenuhnya dia belum siap dengan fakta ini. Dirinya masih benar-benar bingung dan linglung.

"Aku terus saja terjebak dan mengulang semuanya tanpa henti."

Hah?

Otak Shinta kini tak dapat digunakan untuk berpikir.

Apa yang tengah dimaksud oleh Rama?

Orang itu, membicarakan apa?

******************
Rabu, 28 Desember 2022

Cirambay enak, tapi kalau bumbunya saus doang aneh cuyyy...

MUTUALWhere stories live. Discover now