7: Shinta bukan Dewi

2.1K 158 10
                                    

Apapun yang terjadi, Shinta harus tetap hidup.

Shinta berlari-lari kecil di kamarnya, mencari sesuatu. Sebuah diary.

Seingatnya, Dewi suka menulis, namun kurang suka membaca. Berbeda dengan dirinya yang suka membaca—hanya novel, tidak dengan membaca pelajaran.

Diary itu, diary yang diceritakan oleh Zindy walaupun hanya sepenggal saja. Dimana kau heh?

Shinta berdecak. Dia sudah mengobrak-abrik seluruh ruangan dan tak menemukan diary itu sama sekali.

Tidak terlalu penting memang. Tapi dia ingin tau seperti apa aslinya seorang Dewi Maharani itu. Apa yang ditulis oleh Dewi? Shinta sangat ingin mengetahuinya.

Dimana? Dimana? Astaga! Tidak ditemukan.

Nasib memang.

"Oke, tetap tenang Shinta. Rencana B!" Shinta sangat ingin mengetahui karakter Dewi. Agar dia bisa menjalankan karakter ini dengan baik. Shinta sangat ingin Dewi cerdas, tidak bodoh seperti yang diceritakan oleh Zindy.

Shinta duduk di pinggir kasur, dia mencoba mengingat seluruh isi novel. 3 kali khatam, tapi dia tidak mampu mengingat semua kisah dengan detail. Hanya garis besar saja.  Sulit, sangat sulit. Jika seperti ini, dia tidak bisa membaca karakter lain dari Dewi. Shinta hanya tau sebatas karakter Antagonis yang penuh dengan kesialan.

°°°°°°°°°°°°°°°°°

Shinta dan Dewa satu kelas. Sama persis seperti kejadian asli. Satu kelas, satu meja.

Sejak tadi, Shinta diam merenung. Berpikir, apa yang harus dia perbuat hei?

"Dewi! Kerjakan soal di depan." Guru Fisika yang entah siapa namanya itu berkata.

Shinta tidak mendengar, dia masih merenung.

Duk!

"Aduhhh!" Shinta memekik, menoleh tajam ke samping——ke arah Dewa.

"Kenapa Dewi? Cepat kerjakan." Guru tadi berseru.

Shinta masih menatap tajam Dewa disebelahnya yang memasang wajah datar. Dengan segera, Shinta berdiri sambil mengusap keningnya yang disentil oleh Dewa tadi.

Shinta menatap soal itu. Dia melotot, huruf apa yang tertera ini hei?

Sepertinya, tidak akan ada keajaiban untuk dirinya. Shinta menghela napas. Dia tidak paham sama sekali dengan yang soal ini.

"Kerjakan Dewi."

Shinta berdecak. Soal ini tidak salah apa-apa kok dikerjain. Shinta menatap guru itu nyengir, lalu menggeleng.

Guru tersebut menghela napas. "Siapa yang bisa membantu mengerjakan?" Guru itu bertanya. Seisi kelas lantas berpura-pura sibuk, mencoret-coret kertas.

Shinta mengeram kecil melihat itu. Dasar! Nih orang-orang di kelas ternyata juga nggak pinter-pinter amat!

Lalu, Dewa maju mengambil kapur lalu berdiri di sebelah Shinta. "Otak udang." Dewa lantas mengerjakan soal itu.

Shinta menatap tajam.

Dukk!!

"Awww," Dewa meringis. Shinta tersenyum puas. Dia baru saja menginjak kaki sang pemeran utama. "Mampus!" Shinta lantas berbalik dan berjalan menuju tempatnya duduk. Ditatap tajam oleh Dewa.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Shinta merasa resah. Tidak tau mengapa. Seperti ada yang terlewati, tapi apa?

Saat ini, Shinta sedang berada di kantin. Duduk sendirian menikmati panasnya bakso dan dinginnya es jeruk yang dia pesan.

Dewi dan dirinya itu, cukup sama. Sama-sama tidak memiliki teman. Mungkin, itu terlihat tidak masalah jika dirinya hidup sebagai Dewi Shinta. Tapi sangat bermasalah ketika dia hidup sebagai Anastasia Dewi Maharani. Jika dalam keadaan susah—mendekati ending novel contohnya. Tidak ada orang yang mau membantu dirinya dalam keadaan susah.

Shinta menghela napas. Mungkin, ini saatnya bagi dia untuk membuka pertemanan?

Tapi pertanyaannya, siapa yang ingin berteman dengan Dewi Maharani? Sepertinya, hampir seluruh siswa-siswi di sekolah ini pernah diusik oleh Dewi.

Dewi memang suka mencari perhatian. Dengan tujuan, orang tuanya dipanggil oleh BK. Tapi itu sia-sia belaka. Yang datang hanyalah tukang sopir ataupun pembantu keluarga. Ya, hanya itu. Shinta meringis. Hidup sebagai Dewi Maharani, tidaklah gampang.

"Halo Dewi, sendirian aja."

Shinta menoleh, Zindy—bukan! Namanya bukan Zindy. Tapi Tera.

"Tadi, tumben-tumbenan lo." Tera berucap, lalu memasukkan bakso ke dalam mulutnya.

"Kenapa?" Shinta bertanya. Dia berusaha ramah.

Tera menoleh. Menyelesaikan kunyahan. "Lo berani banget nginjek kakinya Dewa."

Dahi Shinta terlipat. Bagaimana Tera bisa tau? Mereka, satu kelas? Shinta diam, lalu dia teringat waktu itu, Tera mengenakan kaus olahraga yang sama seperti dirinya.

Ya, mereka sepertinya memang satu kelas. Berbeda dengan kenyataannya, Shinta dan Zindy berbeda kelas.

Jika diingat-ingat lagi, Tera dan Zindy ini hampir sama. Suka sekali mendekati dirinya.

Ah, penulis. Tera diceritakan sebagai seorang penulis, mungkin saja sama seperti Zindy. Tera ini sedang mencari bahan tulisan. Itu bisa saja terjadi.

Shinta lalu menatap sekeliling, orang-orang melihatnya kearahnya takut-takut. "Kayaknya mereka khawatirin elo."

Tera ikutan melihat sekeliling. "Ya, wajar aja. Duduk sebelahan sama orang yang suka bantai orang." Tera menggendikkan bahunya.

"Sialan!"

Tera lalu tertawa. Dia menatap Shinta. "Gue penasaran sama kalimat Lo waktu itu. Zindy Anastasia? Shinta? Siapa mereka?"

Shinta diam. Dia tidak ingin menjawab. Dijawab pun, Tera tidak akan percaya kepada ceritanya.

"Oh itu." Shinta mencoba mengarang cerita. "Karakter novel."

Tera menunduk. "Namanya, sama persis dengan karakter gue." Dia bergumam pelan.

"Hah? Apa?" Shinta mengorek telinganya.

Tera buru-buru menggeleng. "Enggak." Dia bertanya lagi. "Lo tau darimana gue lagi nulis tentang elo?"

Tera lalu tertawa kecil. "Tau nggak sih? Lanturan Lo itu terasa nyata-nyata enggak. Gue bener-bener dibuat gila belakangan ini."

Shinta ikutan tertawa. Hambar.

"Gue lebih gila lagi, tiba-tiba ada di sini."

************
Selasa, 6 Desember 2022

MUTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang