18. Mungkinkah samsara?

1.2K 106 6
                                    

"Hah? Maksud kamu apa?" Shinta tidak paham. Dia memasang wajah yang rumit.

Apa yang tengah dibicarakan oleh Rama?

"Hah? Maaf," Rama kini menatap wajah Shinta yang kebingungan. "Kupikir aku sudah menjadi gila."

"Lupakan, lupakan... Aku tidak bersungguh-sungguh mengatakan kalimat itu."

Tangan Shinta mengepal erat. Dia merasa dipermainkan juga merasa tidak terima. Apakah Rama paham? Saat ini dia dan dirinya terjebak di dunia antah berantah ini. Dan apa? Lupakan, lupakan? Hah? Bukankah kamu mempunyai masalah? Apa dengan ini berarti kamu tidak ingin berbagi masalah dengan diriku?! Apakah aku, tidak pantas untuk mendengar seluruh keluh kesah itu.

Shinta diam. Dia terdiam cukup lama. Ide-ide, seluruh hipotesis gila kini masuk, menerjang otaknya. Shinta yang awalnya payah kini mencoba untuk berpikir.

Terus berpikir.

"Aku nggak paham. Benar-benar nggak paham. Kamu selalu bisa kok, menceritakan hal-hal yang menurut mu di luar akal kepadaku, nggak perlu ragu. Karena kurasa, kita senasib." Entah. Kalimat Shinta terlalu belepotan. Ini adalah ranjau pertama yang ia lempar.

"Kamu tau kita ada di mana?" Kini Rama malah balik bertanya.

"Dunia novel...?" Shinta menjawab dengan sedikit ragu. Kepalanya ia miringkan sedikit.

"Kamu juga membacanya ya...?"

"Novel milik Zindy?"

"Iya, semuanya berawal dari sana." Rama mengeluarkan raut wajah sebal. Sepertinya dia juga memiliki dendam kesumat dengan novel milik Zindy.

"Kamu membacanya? Sampai tamat? Novel itu..." Shinta bertanya, sedikit terbata.

"Iya, Zindy yang memaksaku untuk membacanya. Aku nggak terlalu ingat, tapi aku benar-benar membaca novel itu sampai tamat."

"Kamu tau sesuatu?" Shinta kini menatap Rama dengan cukup serius.

"Sesuatu? Tentang?" Rama cukup kebingungan mendengar kalimat itu.

"Novel milik Zindy itu, baru satu volume. Dan seperti yang kamu ketahui, Zindy terinspirasi dengan kisah kita. Aku, kamu, dan orang itu..." Shinta agaknya tidak ingin menyebut nama Luna.

"Tapi aku nggak sebodoh Dewi, nggak seagresif Dewi!" Shinta cepat-cepat membela. Sejujurnya dia malu jikalau Rama benar-benar membaca novel itu dan berpikir bahwa dirinya seburuk Dewi.

"Aku tau..." Rama hanya menanggapi singkat. Tapi kini matanya menatap kosong ke arah depan. Dia seperti seseorang yang sudah kelelahan saja.

Kenapa memangnya? Apa yang terjadi?

"Jadi, bagaimana sekarang?" Shinta meminta pendapat. "Jika mengikuti alur novel, aku akan tertabrak seperti yang sudah dirancang. Tapi, setelah itu apa? Apakah aku akan kembali ke dunia nyata?"

Rama kini menoleh ke arah Shinta. Kalimat terakhir mengganggu nya. "Kamu mau?"

"Apa?"

"Kembali ke dunia nyata."

"Jika itu bisa dilakukan, tentu saja aku mau."

"Kenapa?!" Nada Rama sedikit menjadi berat. Glek. Shinta meneguk ludahnya kasar. Apa-apaan ini? Kenapa Rama bertanya seperti itu?

"Sudah jelaskan, di dunia nyata aku memiliki orang tua, semua kenangan-kenangan indah ku, kehidupanku yang ada di sana, sempurna. Jika berada di sini, menjadi Dewi yang bodoh, bahkan kedua orang tua yang tak kukenal wajahnya itu, tega hati menelantarkan Dewi. Aku tidak ingin. Aku sangat tidak ingin menjadi Dewi. Sejak awal aku Dewi Shinta, bukan Anastasia Dewi Maharani si bodoh itu."

MUTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang