24. Orang yang maha tau

437 57 2
                                    

Shinta menghabiskan waktu libur kemarin dan hari ini untuk membaca. Membaca cerita transmigrasi. Shinta ingin tau, apa yang terjadi, juga apa ending dari cerita transmigrasi itu.

Apakah benar seperti yang dikatakan oleh Tera, bahwa ending cerita transmigrasi adalah sad? Shinta hanya ingin membuktikan itu.

Tapi sayang sangat disayangkan. Dari 10 cerita yang dia baca, 9 diantaranya adalah 'jenis orang kedua' seperti yang dia bicarakan dengan Rama waktu itu. Mereka, adalah orang-orang yang tidak memiliki tempat di kehidupan nyata. Bertransmigrasi, lantas menjadikannya sebagai hidup kedua. Hidup yang baru. Jauh, dari kenyataan.

Sangat disayangkan. Dan sangat mengecewakan. Setidaknya bagi Shinta sendiri. Yang lebih mengecewakan lagi, adalah alur yang seperti ini : seorang antagonis kejam, lantas 'jiwa' seseorang bertransmigrasi dan menggantikan sosok antagonis itu. Mengubah sifat, dengan tujuan tetap hidup, lantas para protagonis cowok yang semula amat membenci antagonis cewek mulai berbalik, mendekati sang cewek antagonis itu, dan secara tidak sadar, membentuk Harem. Yang paling mengecewakan dan yang paling menjengkelkan adalah ketika protagonis cewek atau yang sebelumnya di cerita utama berperan sebagai FL (Female Lead) karakter Utama, tiba-tiba berubah menjadi jahat, menjadi lawan dari 'cewek antagonis' sebelumnya. Bahkan, para protagonis cowok yang di cerita utama sangat memuja-muja 'protagonis cewek' tiba-tiba saja berbalik dan menyerangnya.

Mungkin saja. Mungkin saja memang karena 'protagonis cewek'tadi bukan seorang pemeran utama lagi. Karena itu, mereka berdua (protagonis cewek dan antagonis cewek) saling bertukar tempat. Mungkin seperti itu. Mungkin seperti itu.

Shinta memang sedikit jengkel sih. Karena cerita transmigrasi sebenarnya tidak cocok dengan dirinya. Ah... Lupakan. Yang paling menyebalkan adalah ketika pemeran utama (sang antagonis yang telah berubah) itu malah menikmati kehidupannya. Dia sama sekali tidak memikirkan cara untuk kembali. Yang dia pikirkan adalah, hidup selayak mungkin di dunia novel ini.

Apa?

Bukankah itu benar-benar ciri orang jenis kedua?

Sangat menyebalkan. Jika tidak butuh, Shinta akan menyobek novel-novel sialan itu. (Dia sudah membantingnya berkali-kali karena kesal)

Sedikit hatinya berteriak. Padahal, yang dicintai oleh para protagonis cowok adalah 'jiwa' yang bertransmigrasi itu, bukan sang pemeran antagonis itu sendiri.

Shinta tidak terlalu suka. Karena 'jiwa' itu, merebut kehidupan sang pemeran antagonis. Memang benar bahwa sang pemeran antagonis mendapatkan hidup selayaknya, bahkan seperti bertukar tempat dengan protagonis cewek. Tapi, tetap saja yang menikmati adalah 'jiwa' yang bertransmigrasi itu. Bukan sang pemeran antagonis yang sesungguhnya.

Shinta tidak suka. Sangat tidak suka. Bahkan pikirannya berkelana, 'bagaimana jika suatu saat nanti ada jiwa seseorang yang mengisi tubuhnya dan tidak ingin pergi dari sana?' pemikiran ini, membuat kepala Shinta terasa pening dan membuat hatinya cemas tak berkesudahan.

Gila.

Benar-benar gila.

Cerita bertemakan transmigrasi sangat tidak cocok dengan Shinta. Benar-benar bukan selera Shinta sama sekali.

Shinta menghela napas pelan. Dia masih memejamkan mata. Jika Rama termasuk 'jenis orang kedua' itu sangat menyebalkan. Harus bagaimana dia menghadapi Rama yang seperti itu?

"Jenis orang kedua?" Rama jelas dengar perkataan dari Shinta. Dia hanya memperjelas pertanyaan nya saja.

Shinta diam, masih memejamkan mata belum bereaksi. Menarik napas pelan, berusaha untuk tidak meledak-ledak.

"Kamu pasti berpikir akan lebih baik Dewi meninggal dan kamu yang menghabiskan waktu dengan Liana kan!" Tidak bisa. Shinta tidak bisa bersabar. Suaranya sedikit meninggi. Kesal, jengkel, tidak sesuai dengan ideologinya, menyebalkan. Benar-benar menyebalkan. Shinta menggigit bibir dalamnya kuat-kuat. Masih tetap berusaha untuk meredam amarah.

"Hah?"

Hah, Rama bilang? Tangan Shinta terkepal erat.

"Kamu jelas tau Dewa tidak menginginkan kehidupan ini. Apakah kamu berpikir untuk merebutnya dan menjadikannya milik mu heh?!" Sudah kepalang tanggung. Shinta benar-benar emosi. Matanya bahkan sedikit melotot galak.

Rama yang melihat itu mengertakkan giginya kesal. "Apa salahnya? Bukankah memang seperti itu?"

"HAH???!!!" Suara Shinta meninggi.

Tidak ingin disela, Rama melanjutkan kalimatnya. "Bukankah menurut asumsi mu Dewa mengalami samsara? Kalau begitu, aku tinggal mengubah sedikit saja detail cerita ini dan melanjutkan hidupnya kan?!"

"Kamu nggak mau kembali?"

"Seberapa yakin kamu bahwa kamu dapat kembali heh?!"

"Dan seberapa yakin kamu, jika kamu nggak akan mengulangi cerita ini dari awal lagi?!" Shinta membaliknya. Napasnya menderu.

"Sejak awal itu hanya asumsi mu sendiri!" Rama tidak mau kalah. "Bukankah seharusnya aku yang bilang seperti itu? Bagaimana bisa kamu yakin, jika setelah melewati ending dari novel itu, kita akan mengulanginya lagi? Bukankah itu hanya imajinasi mu semata heh?!"

"Imajinasi?" Shinta sedikit tersentil. Imajinasi Rama bilang heh?

"Bukankah memang seperti itu?" Rama menatap Shinta kesal. "Kalau menurut logika, lebih baik menjalani hidup ini saja yang sudah pasti. Meneruskannya, hidup sebagai Dewa!"

"Hah? Kalau kamu mengulangi dari awal lagi bagaimana hei?"

"Kalau begitu, tinggal mengubah cerita utama saja kan?"

"Itu berarti kamu akan kerja dua kali dan melewati waktu bertahun-tahun lagi begitu?!" Shinta tidak percaya. Dia benar-benar tidak percaya.

Kali ini Rama diam. Itukan hanya kemungkinan, tidak mungkin terjadi.

"Kalau kamu berpikir 'tidak mungkin terjadi' itu benar-benar salah!" Shinta seakan membaca pikiran Rama. "Bahkan kita yang terlempar ke dunia ini saja sebenarnya termasuk dalam kategori 'tidak mungkin terjadi'. Menurut logika begitu kan? Bagaimana mungkin kita bisa tiba di sini heh?!"

"Ck! Karena itu kan, kita hanya perlu mencobanya." Rama kehabisan kata-kata. Berdebat dengan Shinta tidak akan pernah bisa menang. Dia selalu kalah logika. Kalah pemahaman.

"Sekali lagi aku bertanya. Kamu seriusan ingin mencoba hidup di sini? Dan jika asumsi ku benar, bahwa kemungkinan besar kita akan mengulangi lagi dari awal, kamu sungguh-sungguh ingin kerja dua kali hei?!" Shinta tidak habis pikir. Dia kehilangan akal. Rasa kesal, sangat kesal sampai-sampai ingin membanting sesuatu.

Rama diam. "Nggak ada yang bisa kita lakukan kan?" Dia terlihat frustasi.

"Kata siapa? Kita bisa kok, pulang ke dunia nyata!"

"Kalau begitu, tolong beritahu aku." Rama menatap Shinta intens. "Sejak awal, bukankah kamu sangat ingin pulang? Dan terlihat seperti seseorang yang benar-benar tau cara keluar dari dunia sialan ini. Kalau begitu, bisakah kamu memberitahuku caranya untuk keluar dari sini heh?!"

Shinta diam. Entah untuk alasan apa, lidahnya kelu, tidak dapat untuk berbicara.

"Jahahahayahahaha." Rama tertawa. Memegangi perutnya yang terasa gatal. "Sejak awal kamu memang selalu seperti ini. Selalu dan selalu. Kamu tau segala hal, tapi berpura-pura bodoh dan menyimpan informasi itu untuk dirimu sendiri."

"Cukup tau saja, aku benci itu, sejak dulu kala."

Shinta diam. Ada satu alasan mengapa dia tidak ingin memberitahu Rama. Hey... Lupakan. Tapi jika boleh membela, orang pertama yang bilang siklus hidup berulang-ulang bukanlah dirinya.

Tapi, Rama.

*****
Sabtu, 28 Januari 2023

MUTUALWhere stories live. Discover now