22. Hal yang harus dilakukan

636 55 3
                                    

"Maaf, mie nya terlalu lembek." Rama sedikit menyesal, menghidangkan mie yang lembek itu. Sedangkan Shinta hanya tersenyum. Dia sudah bersiap-siap untuk menghabiskan mie lembek itu. Bagaimanapun juga, dirinya masih tetap lapar. Dirinya butuh banyak energi untuk melewati seluruh rintangan di depannya ini.

"Rama, katamu tadi, kamu datang ke sini satu Minggu sebelum aku ya? Maksudku, satu Minggu sebelum Dewi terkena lemparan bola basket." Sembari makan, Shinta melempar bom waktu lagi.

"Ah, percakapan kita di rooftup tadi ya..."

**********
Tadi,

"Rama." Shinta memanggil pelan. Rama yang tengah berpikir serius kini menatap Shinta, seolah berkata, ada apa?

"Kalau boleh tau, kapan kamu tiba di tempat ini?"

"Tiba? Di dunia novel ini?" Rama tidak langsung menjawab. Malah balik bertanya. Itu sedikit membuat Shinta kesal.

"Iya..."

Bola mata Rama bergerak ke samping atas, memikirkan sesuatu. "Ee... Kurasa seminggu sebelum kamu ke sini..." Nadanya pun tampak ragu.

"Kamu tau kapan aku ke sini?" Shinta bertanya dengan cepat.

"Kamu berubah setelah terlempar bola basket, kurasa hari itu." Kali ini Rama menjawab dengan cepat pula.

Shinta memejamkan mata sejenak. Dia tampak begitu bodoh. Padahal sejak awal Rama sudah menjelaskan bahwa dirinya yang berbeda sejak insiden bola basket antah berantah itu. Sialan. Salah berbicara dia.

"Ah, rupanya kamu datang lebih awal."

*************

Sekarang.

"Kamu benar-benar datang lebih awal? Saat adegan apa?"

"Adegan? Ah, seperti kamu yang terlempar bola basket? Yang seperti itu?" Rama menaikkan salah satu alisnya. Shinta mengangguk.

"Tidak ada adegan."

"Hah?" Shinta berhenti menyendok. Kini mengalihkan seluruh atensi ke arah Rama.

"Tiba-tiba, aku terbangun dari tidur. Aku masih mengingatnya. Hari itu, tepat pukul 6 pagi."

"Adegan tidur dong berarti," Shinta menjawab acuh. Dia menyantap mienya lagi.

"Maksudku, tidak ada kejadian berarti di dalamnya. Kamu tau apa yang aku lakukan?"

"Berdiam diri di dalam kamar karena merasa mager?" Harusnya jawaban ini tepat sasaran.

"Ha-ha-ha," Rama tertawa renyah. Dia memegangi perutnya. Shinta menautkan kedua alisnya. Kalimat tadi kan fakta, kenapa Rama tertawa terbahak-bahak seperti itu seperti orang yang sudah lama tidak di Ceng-cengi. "Tidak salah sih, tapi ada pengganggu di hari itu."

"Dewi?" Kali ini Shinta merasa jawabannya lebih tepat lagi.

"Itu benar. Membuatku sedikit syok."

"Yeah, aku nggak tau seberapa buruknya Dewi..." Shinta sudah menyelesaikan makan mienya. Dia lantas minum air putih. "Tapi memang dilihat dari manapun, aku lebih baik dari siapapun sih." Shinta benar-benar mengucapkan kalimat tadi dengan percaya diri. Rama yang mendengar itu hanya menarik ujung bibirnya ke atas. Tersenyum tipis, dan terasa hambar.

"Mungkin itu benar." Lalu bergumam sangat pelan.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Shinta menyetir pembicaraan.

"Tidur. Apakah kamu tidak mengantuk?" Rama dengan cepat pula menjawab seperti itu.

"Sejak mengetahui fakta bahwa kamu Rama, aku tidak bisa tidur. Mungkin lebih tepatnya, aku tidak bisa berhenti berpikir."

"Rencana mu sendiri apa?" Rama malah balik bertanya.

"Awalnya, aku berpikir mungkin lebih baik jika membiarkannya tetap seperti alur. Yaitu, Dewi yang tertabrak, dan Dewa Liana yang bahagia. Tapi, seperti katamu tadi... Jika Dewi mengalami samsara, besar kemungkinan aku akan mengalaminya juga." Shinta menjelaskan dengan sedikit panjang. Dia mengawang-awang ke atas. Dia tidak begitu buntu. Hanya saja enggan menyampaikan rencana kasarnya ini.

"Aku selalu penasaran. Bagaiman bisa jiwa ini terpental sampai ke dunia novel ini." Shinta masih saja berbicara.

"Biasanya, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang bertransmigrasi?" Kini menatap Rama dengan penuh tanya.

"Kamu serius bertanya seperti itu kepada diriku?"

"Kenapa enggak?"

"Aku belum pernah membacanya ya, cerita transmigrasi seperti itu. Tapi... Jika harus dipikir menggunakan logika, maka ada dua kemungkinan." Rama sedikit menjeda.

"Dua?"

"Iya. Dua. Kemungkinan yang pertama seperti kamu."

"Aku?" Shinta menunjuk dirinya sendiri. Terlihat cukup bodoh.

"Iya. Orang yang memiliki segalanya di dunia nyata tentunya enggan jika harus hidup di dunia antah berantah seperti ini. Jadi, mereka pasti akan mengupayakan segala hal untuk bisa kembali. Tapi Shinta. Apakah kamu pernah memikirkannya? Tentang orang yang gagal, orang yang tidak memiliki apa-apa di dunia nyata lantas diberi kesempatan kedua di dunia antah berantah ini dengan identitas dan hidup yang baru?"

Kedua bola mata Shinta sempurna membola. Dia tau. Dia tau pemikiran orang gagal yang tidak memiliki apa-apa.

"Orang seperti itu, pasti akan sangat bersyukur, lantas menjalani kesempatan kedua ini sebaik mungkin. Karena, penderitaan nya di dunia nyata, telah menghilang."

*************************

Hari ini ada Tryout. Tapi Shinta tidak berangkat. Jangankan berangkat Tryout, berangkat sekolah saja dia tidak. Alasannya satu. Dia pusing memikirkan segalanya.

"Sialan."

Sedari tadi yang dia lakukan hanyalah rebahan sambil mengumpat.

"Membuat puzzle itu ternyata sulit. Sangat sulit. Kepalaku rasanya ingin meledak." Shinta bermonolog. "Dan lagi, bagaimana ini, ujian sekolah dan nasional sebentar lagi tiba. Mana yang harus menjadi prioritas? Kehidupan milik Dewi, atau kehidupanku sendiri?"

"Sialan."

Lagi-lagi Shinta mengumpat.

"Tapi, jika aku menjadikan 'pembuatan puzzle' ini sebagai prioritas lantas gagal, aku juga akan kehilangan kehidupanku sebagai Dewi Maharani. Maksudku, orang ini tidak akan lulus dalam ujian sekolah juga nasional. Bagaimana nasibnya kedepannya heh? Itupun jika Dewi tidak tertabrak."

Shinta mengamati langit-langit ruangan dengan cukup serius.

"Menurut Rama sendiri, Dewa juga seperti mengalami Samsara, jadi kemungkinan besar Dewi juga mengalaminya. Oke kalau begitu, kemungkinan besar kehidupan ini akan berakhir di ending novel lantas mengulanginya sejak awal lagi begitu?" Shinta mengetuk dagu.

TUNGGU. ITU BERARTI DIRINYA AKAN TERJEBAK DISINI SELAMANYA BEGITU?!

Gila...

Ini pemikiran yang cukup gila dan dapat membuatnya stress. Karena itu, lebih baik Shinta segera menyingkirkan pemikiran ini agar kewarasannya tetap terjaga. Shinta tentunya tidak mau jika harus masuk ke rumah sakit seperti waktu itu lagi.

Terlihat lemah dan tidak berdaya. Tidak suka. Shinta tidak suka. Cukup tahu saja. Shinta membenci orang yang lemah. Sangat. Benci.

Berbicara tentang 'orang lemah' Shinta jadi teringat akan Liana. Orang itu... Apakah sudah melakukan hal yang ia perintahkan?

"AH, LEBIH BAIK GUE TIDUR AJA!"

Kepalanya benar-benar akan meledak.

***************
Sab, 21 Jan 2023

MUTUALWhere stories live. Discover now