20. Membuat puzzle

794 70 3
                                    

Liana Kamaria.

Female Lead dalam novel berjudul 'Bukan Dewa Dewi'

Jujur saja, itu adalah judul yang menyebalkan.

Kalau bukan Zindy penulisnya, pasti tidak akan berjudul seperti itu. Biasanya, sebuah cerita akan memiliki judul yang berkaitan erat dengan FL dan ML nya kan? Tapi si Zindy ini, dia di luar nalar. Ah. Menyebalkan. Lupakan saja, mengenai masalah judul ini, tidak akan ada habisnya bagi Shinta untuk menghujat Zindy.

Kembali ke Liana Kamaria. FL berhati lembut yang memiliki jumlah stok kebaikan dan kesabaran yang unlimited. Tokoh utama yang dibenci oleh Shinta.

Maksudnya, ketika kamu ditindas, bukankah lebih baik untuk melawan balik? Tapi tidak dengan Liana. Dia lemah. Dia lembut. Dia selalu berhati-hati. Dan dia, tidak memiliki sedikitpun kekuatan. Entah itu dalam hal kekayaan, maupun kekuatan fisik. Dia tidak memilikinya. Karena itu, yang bisa dia lakukan adalah menerima. Menerima segala perbuatan yang ditunjukkan orang lain kepada dirinya.

Bahkan Liana selalu diam saja ketika Dewi selalu dan selalu saja merisak dirinya. Dia selalu diam, lantas menangis tertahan. Benar-benar tidak memiliki sedikitpun kekuatan.

Satu-satunya yang Liana punya saat itu adalah Dewa. Pelindungnya. Benar-benar sosok Dewa Pelindung baginya.

Memang benar orang yang tidak menyukai dirinya bertambah tatkala tau bahwa dirinya menjalin hubungan dengan Dewa. Tapi, dengan kuasa Dewa, dia terlindungi.

Dewa itu kuat.

Dewa itu memiliki segalanya.

Di sekolah Dewa adalah orang berpengaruh nomor satu. Ditakuti oleh semua murid-murid di sini. Jadi, ketika ada yang mengganggu Liana sang kekasihnya, Dewa tidak akan segan-segan menghukum orang itu. Bahkan, pernah sekali Dewa membuat satu orang tertendang dari sekolah ini.

Tapi Dewi berbeda.

Walaupun bodoh dan menyebalkan, tidak mudah untuk menghukum Dewi dengan kuasanya. Karena, Dewi yang bodoh itu nyatanya memiliki kuasa yang lebih tinggi daripada Dewa.

Kalimat Dewi adalah racun. Segala yang Dewi ucapkan kepada kedua orang tua Dewa selalu dipercaya.

Sejak awal, Dewa tidak pernah mendapatkan kepercayaan itu. Sejak awal Dewa selalu bermasalah dengan kedua orangtuanya, karena Dewi. Selalu dan selalu karena Dewi.

Kalimat racun Dewi. Benar-benar mengacaukan kehidupan Dewa.

Dewa selalu berpikir. Andai tidak ada Dewi, dunia ini akan berjalan dengan lebih baik.

Setidaknya, begitulah sebagian kisah novel yang dapat Shinta ingat.

Tapi, alasan Dewa menjadikan Liana sebagai pacar itu sendiri, Shinta tidak tau. Bukankah Shinta sudah pernah berkata bahwa semuanya terjadi secara tiba-tiba?

Menyebalkan.

Segalanya terasa menyebalkan.

Apalagi, melihat Liana di depannya ini yang menunduk, melihat lantai. Seolah lantai itu lebih enak dipandang daripada wajahnya.

Ah...

Tapi tidak dapat di salahkan. Wajahnya memang cukup menyeramkan. Walaupun lebih ke arah angkuh.

Lagipula, sejak awal Liana tidak berani berbuat macam-macam dengan Dewi. Karena Liana sendiri tahu, Dewi adalah satu-satunya orang yang belum bisa Dewa kalahkan.

Menyebalkan.

"Apakah itu adalah bentuk kesopanan? Gue tidak berada di bawah, jadi yang harus Lo lihat adalah wajah gue, bukan lantai sialan ini." Shinta berdecak sebal. Tapi perlahan Liana mengangkat wajahnya, takut-takut melihat ke arah Shinta.

Tinggi badan mereka cukup berbeda. Lima Senti. Liana harus sedikit mendongak guna melihat wajah Shinta. Senyuman Shinta terangkat. Tapi memang begini seharusnya, seorang budak sahaya melihat ratunya. Segan.

"Lo sudah melakukan hal ini dengan baik, jadi, sebelum gue meluap-luap, bukankah lebih baik Lo melakukan 'sesuatu' untuk gue heh?!"

"S-se-sesuatu?" Wajah Liana kini pucat pasi. Keringat dingin mulai bercucuran. Demi apapun, dia sangat takut dengan Dewi. Apalagi, tentang 'sesuatu' yang diucapkan oleh Dewi barusan.

Kira-kira, apa yang diinginkan oleh Dewi dari dirinya yang lemah lembut ini?

Shinta tersenyum menawan. Setidaknya, dirinya sudah membulatkan tekad untuk mengumpulkan seluruh puzzle.

Karena itu, daripada menunggu puzzle itu untuk datang, dia lebih memilih untuk membuat puzzle itu sendiri. Lalu, secara paksa menarik seluruh puzzle yang hilang untuk mendekat.

*************

Shinta tidak tau. Tapi pikirannya benar-benar penuh. Dia harus melakukan sesuatu untuk mengeluarkan seluruh isi kepalanya.

Semenjak sembuh dari sakit, Shinta sudah banyak berpikir. Sudah banyak informasi berdatangan dengan cepat. Karena itu, dia harus memanfaatkan segala informasi itu sebaik mungkin. Mengolahnya, lantas memasaknya agar lekas matang dan siap untuk di konsumsi.

Rasanya sudah lama. Sudah lama Shinta tidak menggunakan otaknya dengan baik.

Kali ini, dia pasti bisa. Menggunakan seluruh otaknya dengan baik.

"Sial. Darimana rasa percaya diri ini tiba?" Shinta mengeluh. Saat ini dirinya berada di dalam kamar Dewi mengobrak-abrik tempat itu. Mencari diary milik Dewi.

"Dan dari mana pula semua asumsi dan hipotesis ini tiba? Sialan." Shinta masih mengumpat, tapi tangannya tetap telaten mencari diary milik Dewi itu.

Sudah pernah dicari memang, tapi tidak ketemu.

"Masa sih, hilang?" Shinta berdecak dengan sangat keras. Pipinya ia gembungkan,  sebal. Waktu itu, dalam keadaan frustasi, Shinta mencari diary itu, tapi tidak ketemu dan hanya berakhir sakit. Kali ini harus ketemu. Tapi, sudah sejak tadi dia mencari dan diary itu tidak ketemu juga.

"Dimana ya? Sialan. Tanpa Diary itu, gue mana ada petunjuk mengenai hidup Dewi!" Kesal Shinta sangat kesal.

"Sebenarnya, bisa saja berkomunikasi dengan Dewi. Tapi anak sialan ini sudah ku panggil-panggil sedari tadi tidak ingin menjawab. Membuatku kesal saja." Rasanya Shinta ingin membakar sesuatu, membanting sesuatu, dan melempari sesuatu guna meredakan rasa kesalnya.

"Heh Dewi! Bertanggung-jawablah dengan kehidupanmu sendiri! Aku tentu aja nggak mau ikut campur dengan kehidupanmu kalau keinginanmu sendiri adalah mati dan moksa. Itu di luar kemampuanku. Aku nggak ingin mati. Satu-satunya yang kuinginkan adalah kembali ke dunia Ku sendiri!"

Shinta benar-benar egois. Dia tau itu. Jika disuruh menyelamatkan dirinya sendiri atau Rama, maka dengan cepat Shinta akan menyelamatkan dirinya terlebih dahulu. Bahkan, jika orang tuanya atau Rama dalam keadaan berbahaya, Shinta juga akan menolong orang tuanya terlebih dahulu. Karena, jika menyelamatkan orang tuanya ataupun dirinya terlebih dahulu, Rama dapat diselamatkan. Tapi... Jika menyelamatkan Rama lebih dahulu,

... keluarganya, maupun dirinya sendiri tidak akan selamat.

Ini rahasia yang sudah Shinta simpan sejak lama.

Cukup tau saja, Rama adalah orang dengan kepribadian yang cukup buruk.

Kalau bukan karena buta dan tuli, Shinta mungkin tidak akan pernah mencintai orang yang penuh dengan kecacatan itu.

*******
11 Januari 2023

MUTUALWhere stories live. Discover now