16. Ekspektasi tinggi

1.2K 114 3
                                    

Dari tadi masihlah sama.

Dewa, tetap saja duduk tidak tenang dengan masih mematut ponsel.

Ada apa sih dengan orang ini? Shinta kan, jadi sangat penasaran. Kalau sampai begitu tidak tenangnya, lebih baik segera keluar dan temui saja sang pujaan hati kan?

Mengapa hal semudah itu tidak terpikirkan oleh seorang Dewa? Shinta tidak paham sama sekali.

Kesal.

Shinta mengepalkan tangannya kesal. Rasa khawatir, juga rasa tidak tenang milik Dewa benar-benar mengganggu dirinya.

DEMI APAPUN!!

CEPAT KELUAR SIALAN!!

Jangan membuat Shinta semakin marah dan marah.

Dan jangan membuat Shinta cemburu sehingga dirinya mendapatkan alasan konyol untuk bertindak konyol pula.

Tolong, mohon kerjasamanya. Shinta, agaknya ingin berubah secara perlahan.

Berubah, menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Tapi, mungkin saja wataknya yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Kesal, kesal, dan kesal.

Shinta sangat kesal, juga cemburu, mengapa rasa khawatir itu, tidak ditunjukkan kepada dirinya saja.

Mengapa harus kepada orang lain?

Padahal, Shinta yang mengenalnya lebih dahulu. Tapi, mengapa dirinya tidak begitu berarti dalam hidupnya?

AHHH!!!!!

Oke.

Daripada semakin larut dalam kekesalan, lebih baik saat ini Shinta tidak melihat orang ini saja.

Kalau orang ini tidak ingin keluar, maka biarlah Shinta yang keluar. Jujur saja, Shinta sakit hati melihat Dewa yang sangat-sangat begitu tampak tidak tenang seperti itu untuk orang lain.

Sudah dibilangkan, Shinta sangatlah cemburu.

Shinta berdiri, wajahnya menunjukkan raut kesal. Matanya sedikit menajam. Tangan kirinya mengambil ponsel di meja lantas bersiap keluar.

Tapi,

Greep.

Lengan kanannya di cekal oleh Dewa. Shinta menoleh, mengernyitkan dahi bingung. "Kenapa?" Dan refleks menanyakan kalimat itu. Dan entah mengapa kini jantungnya, perlahan berdegup dengan kencang.

Wajah itu, entah mengapa, untuk pertama kalinya mengingatkan Shinta kepada Rama. Ah, Shinta memang tau jika wajah mereka berdua sangatlah mirip. Tapi, yang Shinta maksud adalah, tatapan ini, juga raut wajah ini. Raut wajah yang sering dia lihat melalui wajah Rama. Dan kini, Dewa yang melakukannya.

Raut wajah khawatir, raut wajah mencemaskan dirinya. Iya, dirinya.

Ah, tidak!

Dewa tidak akan melakukan itu. Dan lagi, Shinta tiba-tiba paham akan sesuatu sekarang. Dirinya, sering salah paham. Mungkin karena itu, rasa sayangnya, rasa cintanya kepada Rama sangatlah tinggi karena dirinya sendiri lah yang mencoba membuat harapan.

Harapan, seolah-olah Rama memperhatikan dirinya. Harapan, seolah-olah Rama mengkhawatirkan dirinya. Daripada harapan, agaknya itu adalah ekspektasi yang terlalu tinggi sehingga menimbulkan harapan yang tinggi pula. Harapan, yang membuat dirinya tetap bertahan disisi Rama. Harapan, yang membuat dirinya selalu dan selalu mencoba mencelakai Luna agar menjauhi Rama. Agar Rama, tetap berada di sisinya.

Rama, tidak pernah melakukan itu. Harapan itu, Rama tidak pernah memberikannya. Diingat-ingat lagi, bukan Rama. Melainkan dirinya.

Ah, mengapa Shinta harus sadar sekarang? Sungguh. Ini, sangatlah menyakitkan.

Shinta jadi tau, dirinya selalu dan selalu saja salah paham dengan tingkah laku Rama. Dan sekarang, Shinta tau. Sepenuhnya, rasa khawatir itu bukan untuknya, tapi untuk orang lain.

Dan untuk pertama kalinya, perlahan Shinta mengangkat bibirnya ke atas, tersenyum dengan penuh hangat. Dan matanya yang sudah memanas sejak tadi, kini sudah mengeluarkan air mata yang begitu banyak dan juga hangat. Shinta, terisak. Dia menyadari kebodohannya, dan itu, sangat melukai dirinya.

Ah...

Kini Shinta sepenuhnya tau, alasan mengapa dia harus terlempar ke dunia novel ini.

Shinta, memang benar harus membuka mata.

Dirinya, harus tau semua kenyataan pahit itu.

Bahwa Rama, tidaklah pernah menaruh rasa pada dirinya.

DEG.

Dewa sedikit kaget dengan Dewi yang tiba-tiba saja mengeluarkan air matanya. Ada apa dengan anak ini?

"Kenapa?" Dewa perlahan melepaskan cekalannya.

Sedangkan Shinta mengelap air matanya yang terus saja berjatuhan. Wajahnya masih menampakkan senyuman.

"Tidak, hanya saja terasa sakit."

"Cekalanku? Maaf,"

Ahahahaha.

Shinta tertawa kecil. "Yah, tidak masalah, Dewa."

"Lagipula, mengapa kamu mencekal lenganku?" Pertanyaan ini harus segera mendapatkan jawaban. Shinta tidak ingin salah paham. Maka dari itu, jujurlah. Dan segera beritahu Shinta secara terang-terangan bahwa kamu sama sekali tidak memperdulikannya. Agar Shinta, dapat menata hatinya lantas perlahan merelakan segala perasaannya ini.

"Nah Shinta, adakah yang ingin kamu bicarakan kepadaku?"

Dewa berkata dengan nada pelan, tapi matanya menatap Shinta dengan sungguh-sungguh.

Yang ingin Shinta bicarakan? Tentang apa? Cinta? Apakah Dewa ingin mendengar hal menggelikan semacam itu dari mulutnya?

Apa yang ada dipikiran Dewa sekarang? Apa yang ingin Dewa dengar dari mulutnya?

"Aku? Tidak ada... Memangnya, apa yang ingin kamu dengar?" Shinta mengatakan itu pelan, dengan nada rendah. Seperti orang yang tengah frustasi.

"Begitu ya, aku kira ada..."

Dan lagi, mengapa orang ini menggunakan aku-kamu alih-alih gue-lo?

Sebenarnya, apasih yang ingin dia dengar dari mulutnya ini?

Mulutnya?

DEG.

Jantung Shinta rasanya ingin berhenti.

Tunggu dulu.

Bola mata Shinta kini membesar.

Tadi, kalau tidak salah, Dewa memanggilnya "Shinta" kan? Bukan "Dewi?"

Hah?

Apakah Shinta salah dengar?

***************

Kamis, 22 Desember 2022

Tadi baru aja liat Mob, ganteng banget hiks, biasanya muka lempengggg. And di finale episode ini, untuk pertamakali Mob ketawa lagi::)))

and Reigen the real MVP Di episode kali ini hiksss

MUTUALWhere stories live. Discover now