13: Sang Antagonis

1.4K 122 12
                                    

Sebenarnya, tidak buruk juga menjadi Dewi.

Hanya saja, Shinta terlalu memikirkan banyak hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Membuat dirinya merasa tertekan dan akhirnya jatuh sakit.

"Hm..." Shinta menatap wajahnya sendiri di depan cermin sekolah. 2 hari yang lalu, dirinya sudah pulang dari rumah sakit. Beristirahat selama 1 hari penuh dan sekarang berangkat untuk sekolah lagi. 

"Dipikir-pikir lagi, hidup Dewi nggak semenyedihkan yang gue kira." Ujung bibir Shinta terangkat. Sejak dirinya masuk ke dalam cerita ini, dia belum mendapatkan kesialan yang sering Dewi alami. "Perubahan plot?" Shinta sekarang merasa lebih PD.

Ceklek.

Shinta menolehkan kepalanya, ada yang masuk, berjumlah 3.

Mata Shinta menyipit. Dia tidak suka monolognya terganggu. Apalagi, diganggu oleh mereka bertiga.

"Lihat-lihat! Anastasia Dewi Maharani yang sedang memuja dirinya. Cih, menyedihkan."

Mulut sampah! Shinta mendengus mendengar kalimat itu. Tangannya mengepal, sungguh Shinta ingin sekali menghajar wajah sok kecantikan itu.

Tidak di dunia nyata, maupun di dunia novel sekalipun, monyet-monyet ini sangatlah menyebalkan.

Perkenalkan. 3 serangkai itu. Stella, Vana, dan sang pemeran utama yang sangat disayangi banyak orang, Liana.

"Ngerasa bangga Lo waktu itu bisa boncengan sama Dewa? Halah, palingan juga kayak biasanya, tukang maksa!"

Kepalan tangan Shinta semakin mengerat. Yang baru saja berbicara tadi adalah Vana, pemeran yang diceritakan benci sekali dengan Dewi. Di dalam cerita, setiap bertemu Dewi, Vana akan merendahkan, mengata-ngatai Dewi.

Dan yang berbicara paling awal tadi adalah Stella. Cewek itu juga tidak suka kepada Dewi. Bedanya Stella dengan Vana adalah, Stella begitu pandai memilih kata-kata yang dia lontarkan kepada Dewi. Terdengar lebih berkelas dari pada ocehan Vana.

Tapi, tetap saja. Bagi Shinta, kedua kalimat itu tetap saja ocehan, terdengar sampah di telinganya.

Lalu, pandangan Shinta teralih pada Liana. Cewek itu, benar-benar mengingatkan Shinta kepada Luna. Cewek polos, lemah yang harus dilindungi. Pemeran utama cewek, wajar saja. Memang begitu.

Shinta mengontrol napasnya, memejamkan mata. Menekan dirinya sendiri agar tidak tersulut emosi hanya dengan melihat wajah polos dari Liana.

Benar-benar! Shinta ingin sekali merisak cewek polos di depannya ini. Ah, padahal... Shinta sudah berusaha untuk mengikhlaskan Rama dengan Luna. Tapi, tetap saja hanya dengan melihat wajah Liana yang sedekat ini, mampu membuat emosi Shinta terpancing.

Shinta masih memejamkan matanya. Benar-benar mengesalkan. Kenapa wajah-wajah pemeran ini mirip? Kenapa juga cerita novel ini tak jauh berbeda dengan cerita dirinya? Heesssh! Ini semua gara-gara si penulis bangsat itu. Semua gara-gara dia.

Shinta membuka matanya, melihat wajah Liana yang menunduk.

"Nggak mau liat wajah gue rupanya!" Harga diri Shinta naik melambung. "Berani-beraninya, cewek ini! Bajing—ah kesal."

Shinta menghembuskan napasnya. Dia tidak ingin mencari ribut. Dengan mengangkat dagunya tinggi-tinggi, Shinta bersiap akan meninggalkan tempat ini.

Jdukk! Gedebukkkk!

"Awwsss," Shinta meringis, dia terjatuh gara-gara Stella menyelengkat kakinya.

"Ups! Lo jatuh?" Shinta mengepalkan tangannya kesal. Bisa-bisanya Stella tidak merasa bersalah dan kini malah tersenyum puas.

"LO!!!" Shinta mengeram kesal, mencoba berdiri, mendekat ke arah Stella lalu menarik rambut cewek itu kuat-kuat.

Akan Shinta tunjukkan seberapa Antagonis dirinya itu.

"AWWW!! SINTINGGG!" Stella tidak ingin kalah, dia juga menarik rambut milik Shinta. Acara-acara jambak-jambakan ini makin runyam ketika Vana memutuskan untuk ikut bergabung membantu temannya.

"Banggsssaattt!!" Shinta mengumpat. Kepalanya terasa nyeri, dia semakin menjambak kencang rambut Stella dan Vana. Membuat dua lawannya meringis dan juga mengumpat.

"U-udah..." Liana mencoba menghentikan aksi mereka. Tapi, apalah daya suaranya begitu lembut, mereka bertiga bahkan tidak mendengarkan kalimat dari Liana.

Gubrakkkk!!!

Satu dorongan penuh, Shinta berhasil membuat dua lawannya tumbang. Tidak. Bukan dua, tapi tiga. Liana jatuh tertindih Vana.

Shinta menyeringai, tertawa puas.

"Nggak usah macem-macem Lo sama gue esshh," kepala Shinta benar-benar perih karena jambakan mereka. Sialan sekali.

Vana segera berdiri, menyerang Shinta lagi. Vana benar-benar tidak menghiraukan Liana yang tertindih olehnya tadi.

"Temen apa tuh?"

Bukkk!!

Shinta mendorong tubuh Vana, membuat Vana jatuh menimpa Liana yang berusaha untuk berdiri.

"Sialan Lo! Bajingan!" Vana bersungut-sungut.

Sedangkan Shinta tersenyum—senyum sama yang diperlihatkan Stella tadi.

Stella mengeram kesal. Dia masih terduduk dengan mengelus-elus rambutnya. Perih.

"Nggak usah macem-macem makanya!" Shinta maju, menginjak salah satu tangan Stella yang sedang menyangga, membuat cewek itu meringis.

Pandangan Shinta lalu tertuju pada Vana dan Liana, dia membuang ludahnya tepat pada wajah Vana. Lalu segera pergi dari kamar mandi sambil tertawa puas.

"BANGSAT LO ANJINGG!!!" Vana berteriak-teriak, dia dengan segera mencuci wajahnya yang terkena air liur Shinta. Sekali lagi, Vana tidak membantu Liana untuk berdiri sama sekali.

Sedangkan di luar, Shinta segera mengikat rambutnya yang berantakan.

"Huh!" Dia bersungut-sungut. Mengelus rambutnya yang masih terasa perih. "Nggak mau diganggu tapi ngganggu! Siapa lagi kalo bukan—

"Elo kan?"

Suara yang familiar terdengar di telinga Shinta. Ya, tebakan kalian tidak meleset. Dewa.

Shinta meneguk ludahnya, ditatap Dewa seperti itu, benar-benar mirip dengan tatapan menghakimi dari Rama. Dan Shinta, biasanya takut akan tatapan itu, tak terkecuali saat ini.

Tapi, setengah hati Shinta membela. Diakan tidak memulai perkelahian itu duluan. "Apa Lo?! Mau nuduh-nuduh gue hah?!" Shinta mengangkat dagunya ke atas, meminimalisir rasa takut yang ada di dalam dirinya.

Dewa menatapnya tajam. "Kalo Lo nyari masalah lagi sama Lia, gue nggak bakalan maafin Lo."

"Lo pikir gue butuh permintaan maaf dari elo gitu?!" Shinta tidak tau mengapa dirinya seberani ini. Tapi, ini benar-benar menyebalkan. Dia sedang tidak mencari masalah! Mereka saja yang memang benci kepada dirinya.

"Nggak tau malu banget," selepas mengatakan kalimat itu, Dewa masuk ke dalam toilet cewek. Sepertinya, ingin memastikan keadaan dari kekasihnya.

Sedangkan Shinta, dia menunduk.

Nggak tau malu banget.

Kata itu terus berputar di kepalanya. Dia merasa Deva Ju, air matanya turun.

"Rama..."

*********
Sabtu, 17 Desember 2022

Watashi butuh hiburan. Hei, adakah rekomendasi animeh yang seru untuk di watch? Romancekah fantasi kah, apakah, terserah...

I NEED ENTERTAINMENT

HELPPPPPR

MUTUALNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ