6: Benar-benar gila

2.3K 175 6
                                    

Shinta menyeringai mengingat kejadian itu. Itu, adalah satu hari berkorban yang dia lakukan.

Saat itu, sebenarnya Shinta benar-benar menyesali keputusannya untuk membebaskan Rama.

Dia benar-benar menyesal. Sebenarnya, saat itu tangan dan mulutnya gatal sekali ingin memberi pelajaran kepada bajingan kecil yang sudah mengganggu hidupnya selama 6 bulan terakhir.

Shinta menghela napas. "Mudah banget Lo ngegeser gue dalam 6 bulan. Sangat mudah." tangan Shinta terkepal, dia mengatur napas sambil memejamkan matanya. Menahan air matanya agar tidak keluar.

Dia benar-benar tidak tahan.

Ini hanya acara flashback. Tapi, mengapa dirinya masih merasakan kesal? Padahal, hanya 1 keinginan itu yang tidak pernah bisa terwujud.

Shinta menelan ludah. Dia harus bisa memainkan karakter Dewi dengan baik.

Dewi tidak boleh berkorban lagi untuk Dewa. Karena, berkorban itu rasanya,

sangat menyesakkan.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Mata Shinta membola. Ini tidak salah bukan? 3 bulan lagi Ujian kelulusan di lakukan. Gila! Ini benar-benar gila.

Seingat Shinta, tepat setelah Ujian selesai. Dewa mendapatkan keinginannya. Dan saat itu pula dia ditendang keluar.

Shinta panik. Akan tinggal dimana jika dirinya ditendang oleh Dewa?

Dan berbicara tentang ujian, Shinta tidak yakin jika dirinya akan lulus. Sepertinya, ini akan berjalan sesuai alur. Bagaimana bisa?

SHINTA SEBENARNYA BARU KELAS 11. MANA MUNGKIN DALAM KURUN WAKTU 3 BULAN DIA DAPAT MEMAHAMI SEMUA MATERI HEH?

Shinta berusaha mengontrol napas. Acara tryout yang diselenggarakan sekolah tidak membantunya sama sekali.

Sebenarnya, Shinta baru kelas 11 semester 1. Baru 5 bulan dia menempati kelas itu. Dan sekarang, dengan otak pas-pasan, bagaimana bisa dia mengikuti ujian kelulusan?

Rasanya, Shinta ingin menangis saja.

Shinta mengamati wajahnya di depan cermin. Saat ini, dia tengah berada di dalam kamar mandi. Sedang berpikir.

Sepertinya, alur akan dipercepat. Buktinya, Shinta sudah mulai depresi saat ini.

Mengapa? Mengapa? Rasanya, sangat tidak adil sekali.

Air mata Shinta benar-benar turun.

Sepenuhnya, Shinta tau jika yang selalu berakhir bahagia adalah pemeran utama. Entah pemeran itu berwatak Antagonis ataupun Protagonis sekalipun. Selagi menjadi pemeran utama, semuanya akan baik-baik saja.

Selagi menjadi pemeran utama, maka akan ada banyak sekali orang yang bersimpati, bahkan rela beradu argumen, membela sang tokoh utama.

Shinta tau.

Dan dia, berharap menjadi Pemeran Utama itu. Walaupun, dia adalah Antagonis di sini. Menjadi pemeran Utama, akan ada banyak sekali manfaatnya.

Tapi sayang, sangat di sayangkan. Dia hanyalah antagonis yang hanya menjadi pemeran sampingan.

Pemeran yang setiap diam-pun, akan selalu dihujat, bahkan di doakan mati dalam keadaan mengenaskan.

Hanya pemeran yang selalu mengganggu para tokoh utama, menjadi cobaan yang harus dilalui oleh tokoh utama agar segera berakhir indah.

Kematiannya, sangat ditunggu setiap orang. Shinta mengakui itu. Hatinya nyeri. Entah di dunia nyata, ataupun dunia novel ini... kenapa dia selalu menjadi pemeran sampingan?

Shinta menangis. Dada-nya sesak. "Setiap orang berhak bahagia. Bukan hanya Pemeran Utamanya saja, semuanya."

Jika seperti ini terus, lama-lama Sinta bisa gila.

Shinta mengelap air matanya secara kasar.

Sepertinya, memang benar. Di kehidupan nyata, dirinya bukanlah pemeran utama. Hanya sebagai pemeran sampingan saja.

"Semuanya harus menderita kan?"

Kepala Shinta berdengung.

Entah itu suara milik siapa, tapi terus berdengung di kepala Shinta. Shinta memegangi kepalanya, memijatnya.

Kepalanya benar-benar pusing. Dan perlahan, pandangan Shinta mulai menggelap.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

"Nyusahin!"

Satu kata itu yang Shinta dapatkan ketika baru membuka matanya.

Rama, bukan! Dewa.

Ya, yang mengatakan itu adalah Dewa. Shinta mengamati sekeliling. Dia sedang berada di UKS sekolah. Lalu, pandangan Shinta tertuju pada benda kotak yang tengah Dewa pegang.

"Ponseeel!" Shinta memekik. Itu ponsel miliknya-ah salah! Itu ponsel milik Dewi.

Dewa mengangkat ponsel itu sambil menyeringai. Lalu melemparkannya kepada Shinta. "Hapus."

"Hah?" Shinta mengambil ponsel itu, berusaha mencerna kalimat Dewa. Hapus? Hapus apa? Lalu, Shinta membuka Galeri. Sialan. Dewa menghapus Vidio yang dia rekam waktu itu. Di 'baru saja dihapus' juga tidak ada. Dewa benar-benar menghapusnya. Barang bukti lenyap. Shinta mendesah. Sepertinya, Dewi memang ditakdirkan untuk gila, depresi.

Shinta mengeram kecil, menghela napas. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Shinta berusaha sekuat mungkin agar air mata itu tidak keluar.

Ah, rasanya sangat mengesalkan sekali.

Apakah Shinta tidak bisa merubah alur ini?

Lalu, apa ending dari novel ini tetap sama?

Gila, ini benar-benar gila. Shinta butuh satu keajaiban. Dia butuh itu. Memikirkan ini, membuat kepala Shinta berdenyut kencang, lalu pandangan Shinta menggelap lagi.

"Wi!" Dewa kaget, Dewi pingsan kembali. Lalu, cowok itu mengeram kesal. Semenjak terbentur bola basket, Dewi hobi sekali pingsan. Dan cewek ini, juga sedikit berani kepada dirinya. Hal yang paling mencolok perbedaannya adalah, Dewi tidak agresif lagi kepada dirinya.

Dia bahkan berani menantangnya. Dan juga, Dewi tau tentang rencananya membalikkan nama. Dewi tau.

Dan ini, terlalu tidak masuk akal.

Dewa menatap Dewi dengan sorot mata yang tak dapat diartikan. Dia lalu menghela napas.

"Apakah itu kamu?"

************
4 Desember 2022

MUTUALWhere stories live. Discover now