8: Mencoba kembali

1.8K 142 8
                                    

Malam ini, yang dilakukan Shinta hanyalah memutari kamar. Berpikir. Apa yang akan dia lakukan kedepannya?

"Pusing." Shinta mengeluh. Dia tidak suka berada di sini.

Shinta merebahkan tubuhnya di kasur. Menatap langit-langit kamar.

Tok! Tok! Tok!

Pintu kamarnya di ketuk. Shinta beringsut turun. Menghela napas. Lalu segera berjalan ke arah pintu.

Dewa.

"Kenapa?" Shinta hanya berbasa-basi. Sebenarnya, dia tau tujuan Dewa mengetuk pintunya. Mengajak dirinya belajar bersama—itu perintah dari kedua orang tua Dewa tadi.

"Nggak mau, nggak papa."

"Oke." Shinta menutup pintunya, tapi diganjal oleh kaki Dewa.

Shinta mendesah. Dia sedang tidak ingin berurusan dengan Dewa. Seriusan deh. Walaupun wajah Dewa sama persis dengan Rama, tapi menurut Shinta, Dewa itu sangatlah menyebalkan di sini. Shinta tidak suka. "Kenapa?" Shinta menghela napas.

Lagi pula, setelah berpikir cukup lama, Shinta yakin bahwa dirinya tidak akan bisa merubah alur cerita. Sia-sia belaka rasanya. Pada akhirnya, cowok di depannya ini akan berbahagia dengan sang pacar. Sedangkan dirinya? Mengalami depresi, lalu kecelakaan.

Ah, untuk urusan depresi, sepertinya Shinta sudah mulai merasakannya. Ha-ha-ha.

"Nggak lulus tau rasa." Dewa lantas berjalan menjauh. Shinta meneguk ludah. Tapi, dipaksakan seperti apapun itu, dirinya tidak yakin dalam waktu 3 bulan akan menguasai seluruh materi ujian. Saat kelas 11 saja, dia kesusahan untuk mengikuti, apalagi kelas 12 inikan?

Shinta menghapus air matanya yang turun. Dia, sepertinya memilih pasrah saja. Mengikuti alur sepertinya lebih menarik.

Ya, ya.

Shinta jadi teringat. Dirinya belum merisak pacar Dewa. Siapa namanya? Ah, biarkan Shinta mengingat. Liana, ya Liana. Dewa memanggilnya Ana, sedangkan orang-orang sering memanggil cewek itu Lia.

Shinta menutup pintu, berjalan perlahan menuju kasur lalu rebah kembali. Dia, benar-benar pusing.

"Kalo karakter Dewi mati, gue bisa balik nggak ya?"

Dan kalimat itu yang membuat Shinta terus merasa pusing.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Shinta akan melupakan kalimatnya kemarin. Tentang, 'Apapun yang terjadi, Shinta harus tetap hidup.'

Shinta akan melupakan kalimat itu. Saat ini dia lebih tertarik dengan kalimat, "Dewi mati, gue kembali."

Kalimat itu terdengar lebih menjanjikan.

Pukul 23.43 WIB. Begitu yang tertera pada jam di pergelangan tangannya. Shinta telah berhasil keluar, menyelinap tadi.

23.43 WIB

Ini waktu yang sama sebelum kejadian kecelakaan yang menimpa dirinya.

Shinta terus berjalan tak tau arah. Ini benar-benar tengah malam, udara sangatlah dingin. Shinta sudah memakai sweater dan celana panjang, tapi udara malam ini mampu menembusnya.

Shinta berhenti sejenak. Daerah ini sangatlah sepi. Tidak ada kendaraan satupun. Jadi, harus bagaimana dia? Terus melangkah?

Ya, sepertinya harus.

Jantung Shinta berdegup kencang. Tiba-tiba, terbesit di kepalanya. Apakah yang dia lakukan ini benar? Shinta meneguk ludahnya berkali-kali. Dan entah mengapa pula, kini dia merasa takut.

"Oke, tetap tenang Shinta." Dia menenangkan dirinya sendiri.

Deru motor terdengar dari arah depan. Banyak sekali. Ini geng motor! Geng pembuat rusuh yang diceritakan oleh Zindy. Oke, Shinta sudah sepenuhnya siap mati bukan? Tapi, mengapa hatinya berdegup kencang? Kenapa dia merasa gelisah? Ragu-ragu?

5 tidak, 6 tidak juga, banyak. Belasan motor kini memutari Shinta yang berada di tengah. Shinta menelan ludah lagi. Sialan! Kenapa pula sekarang dia takut mati? Tidak ada jalan pulang. Jalan benar-benar di tutup oleh mereka.

1 motor berhenti berputar, diikuti yang lainnya. Salah satu orang turun dari motornya, berjalan mendekati Shinta. Jantung Shinta berpacu semakin cepat. Tidak! Dia tarik kata-katanya. Dia tidak ingin mati. Beneran! Nggak boong. Suer deh.

Wajah Shinta pucat. Air matanya turun begitu saja. Segera, Shinta menyekanya.

Orang itu berdiri dengan jarak satu meter dari arah Shinta. Sepertinya, orang itu tengah memperhatikan Shinta dari balik helm-nya.

Shinta menggigit bibir, ketakutan. "Plis, gue nggak bener-bener mau mati." Dia merapalkan kalimat itu. Berharap ini adalah mimpi. Tapi, tidak. Shinta masih ingat tadi dirinya sangat kesulitan untuk keluar dari rumah Dewa. Sangat kesulitan.

Oke. Untuk tujuan lain. Shinta berharap ada keajaiban. Ada seorang pahlawan kemalaman yang mau menolong dirinya seperti di novel-novel yang sering dia baca. Shinta meringis pelan, memejamkan matanya. Berusaha menyadarkan diri. Kejadian yang berada di novel tidak akan pernah terjadi di kehidupannya. Itu hanyalah imajinasi liar sang penulis.

Sesak. Shinta jadi mengingat kejadian dia membakar beratus-ratus novelnya karena merasa tertipu.

"Dewi."

Suara yang sangat Shinta kenali. Shinta segera membuka matanya, Dewa. Orang yang berada di balik helm adalah Dewa.

Mata Shinta melebar. Oke, dia ingat, Dewa adalah seorang ketua gangster. Astaga, kenapa dirinya melupakan hal itu?

Dan lagi, bukankah tadi Dewa sedang berada di dalam kamar? Belajar?

"Ngapain Lo di sini hah?!" Shinta sudah tidak takut seperti tadi. Suaranya meninggi. Rasa-rasanya, keberaniannya hadir dengan begitu saja.

Dewa yang sudah membuka helmnya sedari tadi mengeryit heran. "Harusnya, gue yang tanya gitu."

Oke, benar juga. Shinta tidak bisa menjawab. Dia lantas mengeluarkan ponselnya.

Cekrekkkk!!

"Gue kirimin ke ortu Lo." Shinta mengancam. Dia akan menjadi orang yang Cepu saja.

"Lo juga bakalan kena."

"Oiya."

"Tolol."

"Hessshhh." Shinta mendesah. Lalu, senyum kecil terbit di wajahnya. Tidak buruk. Dia benar-benar merasakan kejadian di novel.

Ah, mengingat kejadian waktu itu, membuat Shinta malu saja. Tentang dirinya yang membakar ratusan novel karena merasa tertipu.

Oke, biarkan Shinta mengingat kejadian memalukan waktu itu.

********
Selesai pas yatta!
Jumat, 9 Desember 2022

MUTUALWhere stories live. Discover now