14: Sisi rapuh

1.3K 111 4
                                    

Saat itu...

"KENAPA SIH RAM? KENAPA?? KENAPA KAMU NGGAK SEKALIPUN LIAT KE ARAH AKU HAH?!!!" Emosi Shinta sudah berada di ujung tanduk. Kesabarannya juga sudah mulai menghabis.

Rama menatap tajam Shinta, napasnya sedikit memburu meredam amarah. "Karena gue, nggak mau."

"Kenapa?" Air mata Shinta sudah berjatuhan. Kali ini, rasanya sakit sekali mendengar kalimat itu langsung dari Rama. "Kenapa? Aku, aku udah coba sebisa aku Rama, ngembaliin—

"Nggak ada yang perlu dikembalikan. Gue nggak butuh itu semua!" Rama masih menatap Shinta tajam.

Di sore yang cerah ini, di tempat ini, sepertinya semua akan terselesaikan sekarang.

"Kenapa?" Suara Shinta melirih. Hari itu, benar-benar hari yang melelahkan bagi Shinta. Dia, dia tidak sengaja membuat kekasih Rama masuk rumah sakit—untuk kesekian kalinya.

Tapi, tapi itu hanya kecelakaan saja. Itu alasan yang Shinta berikan kepada Rama jika kekasihnya terluka. Dan lagi, mana mungkin Rama akan mempercayai kalimat itu terus-menerus?

"Jujur, gue muak sama semua tingkah Lo."

Mungkin, air mata Shinta tidak ada artinya bagi Rama. Atau yang lebih parah lagi, mungkin saja Rama menganggap itu semua hanyalah air mata buaya.

"Akkkgghhh!"

Buk! Buk! Buk!

Rama memukul tembok, meluapkan rasa kesalnya selama ini. Lalu, cowok itu mengerang kesakitan, memegangi kepalanya.

"Ra-rama!" Shinta berteriak khawatir, mendekati Rama. Namun, dengan cepat cowok itu menangkis tangan Shinta yang ingin memegangnya.

"Per-pergi!! Nggak tau malu!"

Bahkan suara Rama sampai bergetar tuk menahan amarah.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°

"AKKKHHHHH!!"

Buk! Buk! Buk! Buk!

Shinta saat ini memukuli dinding tembok dengan brutal. Persis seperti yang Rama lakukan saat itu.

Tangan Shinta memerah. Dia meringis pelan. Ternyata, rasanya memukul dinding seperti ini, sakit.

Hari ini, benar-benar hari yang menyebalkan.

Shinta menghela napas sejenak, lalu menatap kedua tangannya yang sedikit memar dan terasa berkedut-kedut, sakit.

"Pemeran sampingan apalagi antagonis itu ya, emang gak ditakdirkan untuk bahagia." Shinta menghela napas pelan. Dia saat ini tengah berada di rooftop sekolah, memandangi suasana kota dari atap.

Entahlah, mengapa dari kamar mandi tadi, Shinta lebih memilih untuk pergi ke sini. Hanya, terasa... Nyaman.

Shinta lantas tersenyum kecil, semilir angin menghantamnya helaian-helaian rambut berterbangan.

Antagonis, antagonis, antagonis.

Entah mengapa, dia jadi mengingat percakapannya dengan Zindy. Jika Antagonis itu juga memiliki sisi rapuh.

****************
Waktu itu, di dunia nyata, di sekolah, di kamar mandi.

"Wow! Seorang Antagonis menangis?"

Sialan sekali. Zindy memergokinya. Shinta segera menghapus air matanya dengan segera.

"Tanpa dihapus pun, gue tau Lo nangis Shinta. Sekarang, gue paham satu hal. Ternyata seorang Antagonis sekalipun tetap memiliki sisi rapuh."

Shinta tersenyum. Mengedipkan matanya beberapa kali, agar air mata tak jatuh lagi. "Ya, nggak cuman Antagonis. Semuanya, semua orang memiliki sisi rapuh."

Zindy menghela napas. Dia memikirkan sesuatu, seperti sedikit menyesal?

Sedetik kemudian, Zindy merubah ekspresi wajahnya. Dia tersenyum. "Baca novel terbaru gue Shin. Gue mau denger kritik pedes dari elo. Ya, walaupun nanti gue juga bakalan tau, kalo elo bakalan mengkritik soal Antagonis yang memiliki sisi baik, bakalan gue perbaikin."

Shinta menyeringai. "3 novel Lo yang sebelumnya aja nol besar Zin."

"Tapi itu laku di pasaran. Royalti gue ngalir dengan begitu lancarnya."

Shinta semakin menyeringai. "Gue nggak pernah tau, kenapa mereka mau-mau aja beli novel yang cacat logika kaya gitu. Dan lagi, self publishing. Tanpa diedit oleh editor sekalipun."

"Oh ayolah, gue udah punya nama. Seorang selebgram yang bisa menulis. Tentunya gue mau 60% dari harga penjualan daripada 10%. Itu terasa tidak adil Shinta. Belum lagi, harus ada perpotongan pajak. Pajak apa yang sedang mereka bicarakan?" Zindy berdecak. Dia sangat tidak suka pajak itu. Perpotongan yang begitu besar. Sangat tidak terima.

"Imajinasi Lo terlalu tinggi dan begitu sampah Zin. Gue sih ogah baca karya Lo lagi." Shinta masih tetap menyeringai melihat wajah kesal Zindy. Benar-benar sedikit menaikkan mood.

"Kalo pembaca gue tau Lo ngelecehin karya dari seorang penulis yang tercinta, gue yakin Lo bakalan dibully habis-habisan Shin."

"Cepu."

Zindy memutar bola matanya. Dia masih ingin tetap bersikap ramah kepada Shinta. "Setidaknya cerita gue selalu berakhir bahagia Shin. Memberi pelajaran, sekuat apapun badai menerjang, kita akan tetap bersama, melewatinya bersama dan berakhir bahagia bersama."

Shinta tertawa. "Pelajaran itu terlalu pasar Zin. Oh lupa." Shinta mengoreksi. "Lo kan emang nyari tulisan yang pasaran, supaya laku keras. Kalo bukan karena paksaan Lo yang ngasih Novel itu ke gue, gue bakalan ogah baca cerita lo."

Shinta sebenarnya suka dengan cerita Zindy. Tapi dia tidak ingin mengakuinya saja. Gengsi. Dan lagi, sekarang setelah dipikir-pikir, Shinta tidak ingin menjadi penggemar dari cerita pasaran seperti itu.

Shinta berlalu, meninggalkan Zindy yang berseru, "novel gue yang satunya cacat logika cuman sedikit."

Shinta tidak menghiraukan ucapan dari Zindy, dia terus melangkah. Sampai... Matanya menangkap dua sosok yang membuatnya menangis tadi. Rama dan Luna.

Hati Shinta tercubit. Napasnya memburu. "Bersama." Dia menggumam kata yang diucapkan oleh Zindy tadi. "Dan gue, adalah badai itu." Napas Shinta semakin memburu. Dia memejamkan mata.

°°°°°°°°°°°°°°°°°

Senin, 19 Desember 2022

🙈🙈🙈🙈🙈

MUTUALWhere stories live. Discover now