43

265 16 0
                                    


"Kita ini apa?"


L

aki-laki itu tampak gelisah, ia tak tenang jika tidak mendapatkan kabar dari gadis itu.
Walaupun dia yakin, jika Acha sudah berada di rumahnya. Tapi entah kenapa dia merasa khawatir berlebihan seperti ini. Dia juga mengaku salah, sangat salah, dirinya egois tapi bagaimana dengan pengorbanannya saat ini.

"Cha, angkat dong," decaknya sembari mendekatkan ponselnya pada telinganya.

Nihil ponselnya tidak aktif sekarang. Laki-laki itu lupa jika ponsel gadis itu hilang beberapa jam lalu.

"Sial, gue lupa HP dia hilang." Febrian membantingkan ponselnya ke lantai. Ponsel miliknya pun naas hancur dengan sekali lemparan  begitu keras.

"Argh, kenapa jadi gini sih?!"  Febrian  mengacak-acak rambutnya.

Laki-laki itu frustasi, penyesalan memang selalu  diakhir bukan di awal. Dan mengapa darinya juga sangat egois dengan sosok masa lalu Acha walaupun itu bagian dari kisahnya sendiri.

_

Acha menangis tersedu-sedu. Ingatannya terlempar mengingat percakapan Febrian dengan Ayahnya. Walaupun, di dalam hatinya ada rasa hangat ketika sahabat berusaha mencarinya dulu. Tapi Acha juga benci mengapa dia tidak jujur dengannya?

"Kenapa lo bohongin gue, Bian? Saat gue mau buka hati lagi. Kenapa lo engga jujur sama gue. Gue benci sama lo!" Acha menyerka air mata di pipinya.

Gadis itu bangkit dari duduknya menuju kearah nakas. Mengambil gelang pemberiannya beberapa tahun silam. Gelang terakhir yang dia berikan saat itu. Gadis itu tersenyum miris kemudian tertawa nyaring. Tangannya mengepal erat gelang itu kemudian melemparkannya begitu saja.

"Argh!"

Gadis itu berteriak sekeras mungkin. Hatinya begitu sakit di bohongi oleh Febrian laki-laki yang begitu dia cintai setelah Ayahnya.

"Gue benci dia!"

Tubuh munggilnya  ambruk begitu saja. Tangannya mencengkam baju yang dia pakai pulang dari Bandung.  Matalah kembali memanas, kedua tangannya masih kuat memukul lantai dengan kuat.

Menjadi sok kuat itu menyakitkan. Acha membuka lagi nakas di belakangnya. Mengambil sesuatu di dalamnya berbentuk bulat lalu meminumnya.  Lebih baik gadis itu terlelap daripada terus-menerus menangis seperti ini. Meminum satu pil obat tidur adalah solusinya, kemudian terlelap begitu saja.

_

Putri memandang langit kota Bandung di taman belakang. Senyumnya mengembang begitu saja tak tau kenapa.  Ali tersenyum kearah gadis yang sedang duduk sendiri di sana. Dia menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

"Lagi apa?" tanya Ali, Putri pun menoleh lalu menggeleng.

Ali melepas jaket yang melekat di tubuhnya. Memasangkan jaket itu ke tubuh gadis di sampingnya.

"Pake di sini, dingin."

Putri tersenyum malu-malu, dia mengigit bibir bawahnya. Gugup itu yang mereka rasakan.

Ali bertanya, "Put, kalau gue suka sama lo gimana?"

Mata Putri membulat, apa dia salah mendengar sekarang. Ali suka sama dia? Oh tidak, jantung gadis itu berdetak begitu cepat.

"Hah?"

Ali terus-terusan menelan ludahnya sembari mengaruk bagian belakang kepalanya. "Kalau gue suka sama lo gimana?" Ali mengulang lagi pertanyaannya.

"Lo suka sama gue, Li?" tanya Putri terbata-bata.

Ali mengangguk lalu tersenyum kecut. Pastinya dia akan ditolak seperti Febrian waktu itu. Apalagi jika mereka sudah berurusan dengan laki-laki pasti mereka enggan.

"Beneran engga bohong, 'kan?" tanya Putri sekali lagi, dia takut jika telinganya bermasalah sekarang dan Ali hanya pura-pura saja.  Ali menatap gemas gadis dihadapannya. Mencubit pipi gembul milik  gadis di sampingnya, membuatnya dia meringis kesakitan.

"Aw, sakit."

"Hua, ini engga mimpi dia bilang suka gue!" Gadis itu bersorak di dalam hati. Ini bukan mimpi ataupun khayalan yang sering dia khayalankan  sebelum tidur. Ini nyata!

"Maaf." Ali mengelus pipi yang dia cubit  dengan lembut. "Jangan nangis dong."

"Lo mau 'kan jadi pacar gue?"

Putri menundukkan kepalanya, hatinya ingin sekali menerimanya. Tapi mengapa laki-laki itu mengucapkan perasaannya di waktu yang tidak tepat.

"Gue tau lo pasti nolak gue," lirih Ali, dia melihat jelas gadis dihadapannya menunduk artinya pasti  akan menolaknya mentah-mentah.

Putri menggelengkan kepalanya. "E-engga gitu," ucapnya terbata-bata.

"Terus lo terima perasaan gue?" tanya Ali lagi.

Putri kembali menunduk, dia menghela napas berat lalu terkekeh. "Kenapa lo ngungkapin perasaan di waktu yang salah, sih?"

"Hah?" Ali kebingungan dengan ucapan gadis dihadapannya.

"Maksud lo gimana?"

Putri merotasi bola matanya searah dengan arah jam. "Iya, lo kenapa ngungkapin perasaan ke gue di saat semuanya engga baik, Li. Kenapa engga dari dulu?"

Ali menundukkan kepalanya. "Karena, gue engga punya keberanian buat nembak lo, Put. Gue tau lo itu anti sama cowok pasti kalau gue nembak lo dulu engga bakal nerima gue, gue jamin seratus persen."

Putri menepuk jidatnya gemes. "Ih, harusnya dari dulu Li. Gue pasti terima tapi kalau sekarang kayaknya engga dulu, kita nunggu waktunya baik dulu."

Ali mengedip-ngedipkan matanya. "Jadi lo nolak gue?" Ali menunjuk dirinya sendiri.

Putri mengeleng dan mengangguk, dia bingung untuk menjelaskannya secara detail. Gadis itu takut laki-laki dihadapannya salah paham dengan ucapannya.

"Gue engga nolak lo tapi." Putri terdiam beberapa saat, dia mengigit kukunya kuat. "Ini bukan waktunya gue terima lo, kita nunggu semuanya aman dulu."

Ali mengangguk. "Oke, gue bakal nunggu lo dan janji nembak lo di waktu yang tepat. Kita berjuang buat hubungan ini sama-sama. Lo harus balas chat gue, engga boleh engga. Janji?" Ali mengangkat kelingking tangan kanannya keatas sembari tersenyum manis.

"Oke, gue nunggu detik, menit, jam, minggu lo tembak gue. Janji balas chat lo," ucap Putri sembari mengangkat kelingking tangannya kemudian menyatukannya dengan Ali.

"Gue terima  janji lo," ucap mereka bersama-sama.

"Gue pergi dulu, ya," pamit Ali selagi tangannya mengelus rambut yang Putri sengaja dia geraikan.

"Iya, jangan main game mulu."

Ali mengangguk, dia berjalan menjauh dari tempat tadi ia duduk. Putri tersenyum malu-malu, dia harus extra sabar menunggu waktu itu.

"Ah, gue engga nyangka di tembak dia."

"Hayo, lagi apa sendirian di sini. Senyam-senyum lagi kayak orang gila, tau engga?" Lamunan Putri buyar seketika. Dia  menoleh ke belakang sembari tersenyum kikuk.

"Ngapain lo di sini?" tanya Siska terus wajah penuh pertanyaan.

Putri mengigit bibir bawahnya. Siska mengerutkan keningnya bingung, menatap wajah Putri yang seolah ragu-ragu untuk membuka mulutnya.

"Lo nyembunyiin sesuatu dari gue, ya?"

Putri mengelengkan  kepalanya. "Engga."

"Bohong itu dosa  nanti kuburan sempit, baru tau rasa lo."

Putri menghela napas berat, masa dia harus menceritakan semuanya pada Siska?
"Tapi lo jangan ember tuh mulut," pinta Putri sembari menunjuk bibir gadis dihadapannya.

Siska mengangguk selagi menatapnya dengan penuh kegemasan. Tinggal ngomong apa susahnya sih, gue engga bakal ember kok, itu pun kalau ember kalau lagi hilap, pikirnya.

Putri menghela napasnya. Napasnya kembali memburu seperti sudah berlari jauh.  "Ayo ngomong, yet."

Putri mengaruk tekuk belakangnya selagi tersenyum kikuk. "Gue di tembak Ali."

Acha On viuen les histories. Descobreix ara