8

398 29 0
                                    

"Terpaksa adalah satu kata yang mengisyaratkan kita sekarang."



Acha mendengus kesal, helm yang tadi di pakainya dia simpan di atas motor begitu keras hingga menimbulkan suara. Febrian menghela napas gusar, membenarkan posisi helm miliknya dan juga milik gadis itu.

Dengan terpaksa Acha berjalan beriringan, kalau saja dia tidak telat dua menit mungkin saja dia tidak akan mendapatkan hukuman. Acha tampak risih saat semua mata tertuju padanya dan juga Febrian.

Laki-laki itu malah menarik tangan Acha, membuat orang lain bertanya-tanya tentangnya. Tangan Acha mengepal kuat, dia menepis tangan Febrian. "Ih, lepas gue bisa sendiri."

Febrian mengangguk, mulai lagi berjalan meninggalkan Acha yang berada di belakangnya sedang mengupat kesal.

Acha menghela napas, setelah sampai di kelasnya. "Satu, dua, tig-"

"Acha!"

Acha menutup ke-dua telingganya, saat teriakkan itu masuk semua ke dalam rongga telingganya.

"Omg, lo tadi bareng sama s Bian?" tanya Putri menggoyangkan badan Acha. Gadis terlihat sangat syok, saat tadi dia mendengar omongan orang-orang mengenai sahabatnya yang datang bersama Febrian.

Acha mengangguk sesekali menggelengkan kepalanya.

"His ... Kok gitu, plin-plan lo. Acha!" Putri melipatkan ke dua tangannya di dadanya. "Gue kesel tuh sama s cupu," ucap Acha dengan nada kesal. "Kesel?" Putri menarik tangan gadis dihadapannya untuk duduk di bangku yang kosong dan mulai bercerita dengan leluasa.

"Hm."

"Ayolah cerita sama gue, ya," pinta Putri akan tetapi Acha mengelengkan kepalanya.

"Ya, kok gitu sih lo?" tanya Putri.

"Nanti gue ceritanya kalau semua udah kumpul."

Putri menghela napas gusar. Memutar bola matanya malas, sudah biasa sahabat seperti itu di pinta bercerita malah nanti-nanti. Aneh!

________

Telinganya akhirnya di hadiahi suara bell berbunyi, tandanya mata pelajaran berakhir sudah. Gadis itu menghela napas, memasukkan semua buku miliknya ke dalam tas.

Acha duduk di bangku miliknya, selagi matanya melihat Putri yang sedang membereskan bukunya sembari bersenandung. "Put!"

"Nanananana." Putri menoleh. "Apa?"

"Kantin."

Putri mengangguk buru-buru merapihkan buku ke dalam tas. Setelah setelah, ia mengambil ponsel miliknya mengirimkan pesan kepada kedua sahabatnya untuk menunggu di depan kelasnya.

Amel merangkul pundak Putri, Siska menggandeng tangan Acha sembari mulutnta tidak berhenti mengoceh tentang kejadian tadi pagi.

Mata mereka berkeliling mencari bangsu kosong, ternyata semua sudah penuh tak tersisa. "Ah, kenapa penuh sih." Amel mendengus kesal, tangannya memegang perutnya yang sudah berbunyi minta di isi.

Mereka mengangguk, netra milik gadis berambut legam menatap bangku yang di duduki oleh ke empat laki-laki itu tampak kosong sebagian. Putri menepuk pundak Acha, dia pun menoleh. "Di sana kosong."

Acha menatap mereka semua, meminta bersetujuan. Akhirnya mereka mengangguk daripada tidak makan sama sekali. Mereka mendekat, tubuh Acha di dorong oleh ketiga sahabatnya yang tampak menyuruhnya untuk berbicara meminta ijin untuk duduk di sana bersama mereka.

Acha berdehem. "Boleh gue duduk di sini?"

Salah satu dari empat pemuda itu mengangguk mengiyakan. Acha duduk dihadapan Febrian namun laki-laki itu menyadari keberadaan Acha. Gadis itu mengambil ponsel dihadapannya dan menyimpannya di atas meja.

Putri bertanya. "Mau pesen apa, biar gue pesenin?"

"Samain ajalah."

Putri mengangkat tangannya, sebelum dia benar-benar menghilang di tengah kerumunan orang-orang yang sedang memesan makanan.

Ali menyenggol tangan Febrian, laki-laki itu mendongak menatap Ali di sebelahnya. Kemudian, ia menunjuk sesuatu dengan dagunya, netranya menangkap apa yang ditunjuk oleh sahabatnya. Matanya membulat kaget sejak kapan gadis itu di sini, fikirnya.

"Halo, sayang." Fadil membuka suara.
Amel mundur, meminta Putri untuk menganti posisinya sekarang tapi gadis itu menggeleng. Tatapan yang di lontarkan oleh Fadil, membuat Amel risih apalagi gombalan-gombalan yang membuat kepala pening itu lagi-lagi pasti akan muncul.


Kedua sahabatnya menggelengkan kepalanya, Acha tersenyum kecil saat melihat raut ketidak suka di wajahnya Amel. Sedangkan Fadil begitu senang menggoda Amel yang tampak acuh tak acuh dengannya sekarang.

"Lo tau engga apa perbedaannya lo sama mie goreng."

Ali berseru. "Apa tuh, Bang?"

"Kalau mie itu di goreng kalau kamu itu di cintai."

Amel memutarkan bola matanya malas, "Apa sih lo, Gaje."

Mereka tertawa terkikik, Fadil tidak pantang mundur. Dia kembali mendekat kearah Amel, lagi-lagi gadis itu mundur dan merengek kepada Putri.

Putri menggelengkan kepalanya. "Engga-engga, titik."

Amel mendengus kesal, tangannya di colek seseorang yang tak lain adalah Fadil. "Hey, cantik."

Amel menepis tangan Fadil. "Apasih lo."

Acha menepuk tangan Amel, meminta gadis itu pindah. Amel bersorak sedangkan Fadil tampak lesu, dia menyenderkan kepalanya di bahu Febrian yang tampak sibuk dengan makanan dihadapannya. "Sakit hati gue," ucap Fadil, Febrian menggelengkan kepalanya. Sahabatnya memang begini, sifatnya di bawah rata-rata jadi maklum saja selalu merepotkan.

"Kalau dia engga mau jangan di paksa."

Fadil mengganguk paham, dia menundukkan kepalanya tampak tidak bertenaga saat ini. Ali dan Aldi menggelengkan kepalanya, cinta di tolak memang engga enak itu yang sedang di rasakan oleh Fadil.

Acha mengambil ponselnya, mulai memainkan satu bermainan yang berharap bisa menghilangkan rasa bosannya. Febrian diam-diam memotret Acha tampak sepengetahuan semua orang, laki-laki itu tersenyum kembali lagi menyimpan ponselnya di atas nakas.

Fadil bangkit dari duduknya, berjalan menjauh meninggalkan sahabatnya. Febrian tertawa kecil, melihat sahabatnya tampak merajuk saat ini gara-gara Amel.

"Nah tuh, lo bikin anak orang pergi!"

Amel menggelengkan kepalanya. "Dianya aja yang baperan, amit-amit gue sama dia."

Putri tampak tertawa. "Sekarang amit-amit nanti Aamiin-Aamiin."

"Enggalah."

Febrian menggelengkan kepalanya, mulai bangkit di ikuti oleh kedua sahabatnya. "Duluan."

Febrian berjalan kecil diikuti oleh Ali dan Aldi di belakangnya. Matanya menatap Fadil yang tampak duduk di pojok, Febrian menepuk pundak Fadil.

"Hati gue remuk, gaes."

Ali menggelengkan kepalanya. "Yaelah lo, cinta-cinta yang lo urusin ulangan tadi aja lo masih dapat 50."

Fadil melempar Ali dengan buku yang ada di tangannya. "Sialan lo, itu aib gue!"

Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang