24

277 17 0
                                    

"Cemburu."

.


Acha tergesa-gesa berlari menuju gerbang yang hampir saja tertutup oleh Febrian. Laki-laki itu menatap Acha dengan tatapan belati, tidak ada sosok lima bulan ke belakang yang penuh dengan tatapan lembut dan penuh cinta. Hanya ada sosok angkuh, bahkan sekarang dia tidak memakai kacamatanya kecuali ketika jam pelajaran.

Perubahan Febrian, membuat kaum hawa terang-terangan mendekatinya. Bahkan, loker yang tadinya kosong sekarang penuh dengan surat-surat yang sedikit alay.

Febrian masih menatap Acha dengan tatapan tajam. Acha menatapnya dengan tatapan bingung, entah apa yang terjadi pada Febrian sekarang.

"Masuk!" Febrian menarik pergelangan tangan Acha cukup kuat membuat gadis itu meringis.

"Apa, lepasin. Gue bisa masuk sendiri tanpa lo tarik-tarik gue."

Febrian menatap sekelilingnya, siswa-siswi sedang memperhatikan gerak-gerik mereka. Bahkan, guru pun sama menatapnya dengan tajam. Febrian menarik tangan Acha, terpaksa gadis itu mengikuti langkah kaki di depannya.

Sesampainya di tempat yang sangat sunyi, hanya ada suara burung bertautan di sini. Tak ada siswa-siswi yang berhilir halang hanya ada bangunan tampak tak terurus di belakang bangunan sekolah.

"Sakit tau."  Ia berusaha menarik tangannya  dari cekalan laki-laki di depannya.

"Diam!"

Acha kembali berusaha menarik tangannya tanpa bersuara, akan tetapi laki-laki itu malah mengeratkan genggamannya. Febrian mendekat membuat gadis itu mundur perlahan.

"Jangan mendekat!" Acha berusaha mendorong dada Febrian dengan tangan kirinya akan tetapi tenaganya tak sekuat laki-laki di depannya.

"Diam 5 menit." Febrian masih menarik tangan gadis itu, ia menghela napas. Acha menunduk melihat sepatu yang membaluti kakinya.

"Lepas, gue mau masuk."  Tangannya kini berubah menjadi merah padam.

"Gue bilang diam, sebentar." Suara Febrian mengema di belakang gudang.

"Lo mau apa?" tanya Acha selagi tangannya menunjuk wajah Febrian yang begitu dekat dengannya.

"Gue mau lo," bisik Febrian di telinga Acha di bagian kanan.

"Awas, Lo macam-macam," ucap Acha menatap Febrian dengan tajam.

Febrian terus mendekat kearah Acha, deru nafasnya terasa hangat menyapu wajah gadis itu bahkan aroma mint begitu menyengat di hidungnya.

Cup

Febrian meletakkan bibirnya di atas bibir Acha lalu melumatnya kasar. Membuat gadis itu memejamkan matanya dan—

'Plak'

Acha menamparnya dengan keras. "Brengsek!"

Acha kemudian berlari meninggalkan Febrian, yang masih terdiam di belakang gedung sekolah dengan memegang tangan bekas tamparan di wajah kanannya.

                                __

"Maaf, Pak, saya telat."

Laki-laki parubaya bertumbuh tambun menoleh, matanya melihat gadis itu dari atas hingga bawah. "Duduk."

Gadis itu mengangguk, duduk di sebelah Putri yang tampak menghela napas lega. Laki-laki yang ada di depan itu terdengar killer dan pelit akan nilai apalagi pada irang yang telat masuk.

"Tolong siapkan buku selembar dan kertas."

Riga mengangkat tangannya. "Buat apa, Pak?"

Pak Fikram tersenyum horor. "Sekarang waktunya ulangan harian."

Semua siswa berseru kecuali Acha, mereka tidak terima karena ulangan ini sangat mendadak dan mereka tak sempat untuk menghapal rumus kalau menuliskan contekan.

"Yah, kok, kita semua belum ngapalin. Auto jelek, Pak, nilai  kita semua."

Laki-laki parubaya itu menggelengkan kepalanya. "Ya itu nasib kalian, dalam dua menit buku kalian sudah ada di meja Bapak."

Putri mendengus, menatap sahabatnya dengan tatapan kesal. Acha menggelengkan  kepalanya menyodorkan buku miliknya dan juga Putri pada Kila yang bertugas mengumpulkannya.

Putri berbisik. "Auto nilai gue jelek, Cha."

Acha tersenyum. "Jangan ngomong gitu, belum mulai juga. Aneh lo."

_

"Anjrit, tuhkan nilai gue kurang dari lima." Putri merengek di depan ketiga sahabatnya itu. Acha menggelengkan kepalanya, nilai yang dia dapat emang tidak terlalu tinggi hanya 80. Nilai tertinggi dari satu kelas, Putri mendengus menatap Acha dengan tatapan sebel. "Lo juga bukannya kasih gue contekan tadi."

"Tadi gurunya liatin lo mulu."

Amel mengangguk. "Emang Pak Fikram gitu, pelit nilai banget. Untung lo pada dapat nilai kita semua satu kelas nilainya nol besar gara-gara ketahuan nyebar contekan, gilakan tuh. Mana itu nilai terakhir kita, dapat nol memalukan."

Siska mendengus kesal. "Nah itu, gue aja belum nyalin masih ada di tangan s Gilan."

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Udah-udah jangan di bahas lagi."

Mereka mengangguk, mulai menyantap makanan yang beberapa menit lalu di antarkan.

"Lo telat tadi kenapa?"

Acha mendengus. "Lo tau s Bian buat ulah lagi, narik-narik tangan gue ke belakang sekolah."
                         
"Lo ngapain ke belakang sekolah, hayo?"

Acha memutarkan bola mata males. "Engga tau dia dari dulu sampai sekarang bikin orang kesel."

"Tapi itu yang pertama setelah kejadian itu loh."

Acha mengangguk. "Iya juga, sih."

"Tapi dia berubah loh semenjak lo tolak dia, makin hot aja dia engga pake kacamata."

Amel mengangguk setuju setelah meneguk gadis minuman di depannya. Acha mengangkat bahunya acuh, tidak ada yang hot dari mantan debatnya itu tetap sama seperti dulu menyebalkan di matanya.

Siska berseru. "Manlynya dapat gitu dia, menurut gue dia cakep banget melebihin  tipe gue yang hitam manis."

"Nah itu bener, gantengnya parah pokoknya."

Acha menggelengka kepalanya, berusaha tidak menanggapi semua ucapan yang terlontar dari mulut sahabatnya itu. Ia pokus pada makanan di depannya dari pada fokus membicarakan laki-laki itu.

"Eh, itu s Bian?" tanya Siska saat tidak sengaja menoleh dan melihat sosok seperti yang tadi di ceritakan olehnya  sedang berjalan bersama seorang gadis.

Mereka bertiga melihat apa yang tadi Siska liat, Putri dan Amel mengangguk masih tidak percaya dengan apa yang dia liat sekarang. Sedang gadis itu menghela napas, mengambil ponsel dan memainkannya.

"Siapa yang sama s Bian gue engga pernah liat, " tanya Putri, Amel menoleh lagi melihat lebih jelas gadis yang sedang duduk di depan laki-laki itu. Mereka tampak serius entah tentang apa dia tidak tau. "Gue pernah liat, dia anak Osis kalau engga salah namanya Tita."

Putri mengangguk kepalanya. "Gue baru tau, seumur-umur gue sekolah di sini yang gue tau cuma s Bian wakil sama s Ali itu ketua, ke sananya gue engga tau."

Satu jitakan mendarat mulus di kening Putri. "Makannya jadi orang itu jangan kudet jadi ginikan, gue di mekkah lo masih di sini."

Siska menoleh ke arah Acha yang tampak sibuk dengan ponsel miliknya. "Lo kenal sama cewek itu?"

Acha mengangkat bahunya acuh. "Engga kenal."

Mereka bertiga mengangguk paham, sebenarnya mereka ingin sekali memanas-manaskan sahabatnya tapi melihat respon gadis itu mereka urungkan walaupun mereka tau di dalam hati gadis itu menahan kesal karena sahabat debatnya berpaling arah bukan lagi kepadanya.

"Gue duluan."

Acha Where stories live. Discover now