17

298 20 0
                                    




Gadis berseragam putih abu tampak berjalan dengan mengenakan kacamata hitam miliknya. Orang-orang menatapnya dengan aneh, Acha menghela napas kalau saja matanya tidak bengkak mungkin  dia tidak akan mengenakan semua ini.

Dirinya memutuskan berjalan cepat, meninggalkan kerumunan yang membicarakan. Mengatakan dirinya  so cantik mengenakan itu, tapi nyatanya lain. Dia hanya ingin menutupi lukanya saja, dia benci rasa kasian, dia sangat demi dengan seseorang yang  meninggalkan dengan alasan apapun.

Sesampainya di kelas, ia duduk di bangku paling belakang. Menyandarkan tubuhnya pada kayu yang di susun  tersebut, matanya di biarkan terpejam.

Matanya terbuka saat sebuah tepukan mendarat di pundak kanannya, dia menoleh melihat Putri di sampingnya tengah menyodorkan suatu benda di tangannya.

Putri mengambil kacamata di wajah sahabatnya. "Nih, pake ini."

Gadis itu menerimanya dan memakainya. Sebuah kacamata baca milik sahabatnya, dia memeluk tubuh Putri, gadis itu tersenyum dan berkata. "Semua sudah ada yang ngatur, Cha. Orang-orang kuat kayak lo itu hebat, gue salut sama lo. Lo sahabat gue paling baik di dunia ini."

Putri menaikan kacamata gadis itu, menyimpannya di atas kepalanya. Tangannya mengusap air mata di pipinya, yang terjatuh begitu saja. Putri tau seberapa sakitnya sahabatnya tapi dia hanya bisa menyakinkan, menguatkan dan menghibur selainnya itu urusan gadis di depannya.

Putri memegang pundak Acha dengan kuat dan menepuknya. "Pundak ini yang akan lo bawa sampai kapanpun, kalau lo taruh dia sama beban yang ada diri lo kemungkinan dia akan merendah ke bawah dan sebaliknya. Gue paham saat ini pundak lo lagi berat tapi gue mohon cerita sama kita bertiga, kita memang engga bisa  buat ngilangin itu masalah tapi mungkin berat yang ada di pundak lo berkurang. Kita udah berteman lama, gue tau semua tentang lo."

Putri menunjuk dada Acha. "Tentang ini gue tau, seberapa sakit lo nahan kecewa. Tapi kebencian di pundak buat apa? Bikin penyakit hati lama-lama.  Gue tau ini susah buat lo tapi coba lo sedikit-sedikit hilangin semua itu, kuncinya cuma satu ikhlas itu kuncinya. Seberapapun kita ingin mengubah takdir itu engga akan bisa, mungkin kalau semua ini engga terjadi kemungkinan apa lagi yang bikin lebih sakit dari ini kalau semua ini engga ada."

Mata gadis kembali berkaca-kaca, akhirnya dia menyerah sudah air matanya menetes begitu saja. Untung saja tidak ada siswa lain di kelas ini, hanya mereka berdua. Gadis itu menangis sepuasnya di pelukan sahabatnya, Putri mengusap punggung yang bergetar itu. "Udah-udag jangan nangis,  sana ke wc cuci muka bentar lagi masuk."

Acha mengangguk, memakai kembali kacamata yang tadi. Ia memutuskan untuk berlari kecil, sesampai di sana. Gadis itu membasuhi wajahnya dengan air, tapi mata  tidak bisa di bohongi  matanya lebih bengkak dari pada tadi.

Acha menepuk pundaknya, merapihkan rambut yang sedikit berantakan sebelum keluar dari kamar mandi. Febrian yang baru saja keluar dari kelas, melihat gadis itu memakai kacamata  dari kejauhan dan matanya sedikit sipit.

"Kenapa dia?"

_

"Cha!"

Gadis itu menoleh, menatap ketiga sahabatnya  yang tengah duduk di samping dan depan dirinya duduk. "Lo engga makan?"

Acha menggeleng, selera makannya hilang begitu saja. Ia tidak merasa lapar  saat ini, mungkin sampai besok dia tidak makan.

"Mau gue suapin?"

"Engga, lo makan aja sana." Mereka mengangguk, mulai kembali  menyantap makanan yang ada di depannya.

Febrian berjalan  kecil, menghampiri gadis yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Tangan gadis itu di tarik, ia menoleh menatap tajam laki-laki yang menarik tangannya itu. "Gue pinjem temen lo." 

Mereka mengangguk setuju, Acha mendengus kesal. Menatap mereka bertempat dengan tatapan tajam, ketiga sahabatnya hanya menyengir polos sembari berucap. "Engga apa-apa, Cha. Sekali ini aja akur sama dia." Putri tertawa kecil, Acha kembali mendengus.

"Ayo!"

"Bentar."

Gadis itu bangkit dari duduknya, mengambil ponsel yang sempat dia taruh di atas meja. Langkah kakinya mengikuti langkah kaki besar di depannya, laki-laki itu mengajaknya  ke tempat hamparan luas di samping sekolah.

"Lo duduk."

Gadis itu mengangguk, duduk di tempat yang di tunjuk oleh Febrian tadi. Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu di saku celana miliknya dan menyerahkannya pada gadis di depannya.

"Nih."

Acha mengerutkan keningnya, bingung, menatap  benda yang ada di depannya depannya bingung. "Buat lo, katanya coklat bikin cewek bahagia."

Gadis itu menatap laki-laki horor, tangannya masih memegang coklat  itu. Laki-laki itu tampak tidak seperti biasa, tidak biasanya laki-laki itu memberikan coklat.

Febrian mendengus kesal. "Buat lo itu, dari gue."

"Hah, apa!"

Febrian mengaruk belakang kepalanya tidak gatal, matanya masih menatap gadis itu dengan kesal. "Buat lo."

Acha tertawa. "Rangka apa lo kasih coklat apa gue?"

Febrian menyengir polos. "Rangka gue kasih lo."

"Gaje tau engga lo."

"Cepet buka." Acha hanya terdiam, Febrian mendengus kesal merampas coklat yang ada yang di tangan gadis itu dan membukanya.

Febrian menyodorkan coklat itu ke arah gadis yang ada di sampingnya. "Makan gue suapin."

"Hah?"

"Gue suapin lo tinggal makan."

Gadis itu menggigit coklat yang di sodorkan oleh Febrian dengan ragu-ragu. Febrian tersenyum kemenangan. "Nah gitu dong, Bol, gimana mood lo nambah baik?"

Tangan laki-laki itu di pukul oleh Acha. "Mood gue tambah  kesel tau engga gara-gara lo."

"Asu, sakit pukulan lo, Bol."

Acha mendengus kesal. "Lo yang asu panggil gue Cebol."

Febrian menyengir, menatap gadis itu dan mengusap puncuk rambut. "Lo, kan, Cebolnya gue."

"Apa sih lo."

"Gue mau balik, lo bikin gue tambah kesel seubun-ubun tau engga."








Acha Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora