14

309 19 0
                                    


"Hidup itu berputar seperti jam."

Matahari pagi menyinari alam semesta dengan warna jingganya. Gadis itu masih meringkuk seraya memeluk lututnya, tubuhnya gemetaran menahan sakit yang ia rasakan selama ini. Gadis itu menyembunyikannya dengan senyuman kepada sahabatnya. Kelopak matanya terbuka dengan susah payah. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis semalam dan tubuhnya menggigil kedinginan.

Ia merasakan semua bajunya basah oleh air bahkan shower itu masih menyala menemani malam panjangnya. Bagaimana, ia bisa keluar?

Tiba-tiba terdengar ketukan dan suara dari luar. "Cha, lo di kamar mandi?" tanya seseorang di kamar sembari mengetuk pintu kamar mandi.

Acha menetralkan tubuhnya kemudian mematikan shower yang membuatnya mengigil. "Iya," jawab Acha dengan suara sengau.

"Kenapa suara lo?" tanya lagi seseorang di balik pintu kamar mandi.

Acha memutarkan bola matanya dengan malas, demi apapun ia kedinginan. "Gue kedinginan bego, gak ada baju ganti. Baju ini basah!" teriak Acha dengan serak.

"Nih, gue bawa baju ganti buat lo." Laki-laki   menyimpan baju itu di atas ranjang hitamnya lalu kakinya menuntunnya ke balkon, mengambil kandang milik Hany untuk di bersihkan.

"Handuk lo di mana?"

Febrian memutarkan matanya malas, dia mengoyangkan kandang kucing di tangannya. "Dekat pintu, Mata lo di mana, sih, Bol?"

Acha menepuk keningnya. "Iya, lo pergi, gue mau ganti baju."

Hanya suara pintu yang terdengar di telingga Acha. Gadis itu keluar dari kamar mandi mengganti pakaiannya dengan yang baru. Netranya memandang jam dinding waktu menunjukan pukul 05:00. Ia melangkahkan kakinya kembali ke kamar mandi untuk wudhu dan menunaikan kewajibannya seorang hamba yang taat beribadah.

Acha mengamati  refleksi dirinya dari cermin besar dihadapannya. Matanya merah juga sembab, hidungnya juga sama merah dan tak lupa tubuhnya mengigil kedinginan.

****

Febrian masuk ke dalam kamar yang di tempati oleh Acha dengan membawa set pakaian untuknya. Keningnya mengernyitkan ranjangnya tampak rapih seperti tidak di pakai tidur oleh gadis itu.

"Di tidur di mana, dia?" tanya kepada dirinya sendiri dengan pelan.

Tunggu, tunggu. Ia mendengar suara rincikkan air shower di kamar mandi. Ia mengetuk pintu kamar mandi dan sedikit mendekatkan telingga ke dekat daun pintu.

"Cha, lo di kamar mandi?"

"Iya," jawab Acha dengan suara sengau membuat kening Febrian kembali mengernyitkan kala mendengar suara Acha yang sedikit sengau.

"Kenapa suara lo?" tanya Febrian sedikit khwatir dengan Acha.

"Gue kedinginan bego, gak ada baju ganti. Baju ini basah!" teriak Acha dengan serak.

"Nih, gue bawa baju ganti buat lo," Febrian
menyimpan baju itu di atas ranjang hitamnya, kakinya melangkah menju balkon. Mengambil kandang Hany sudah seminggu ini, kandangnya tidak di bersihkan membuat kucingnya enggan untuk tidur di sana.

"Handuk lo di mana?"

Febrian memutarkan matanya malas. "Dekat pintu! Mata lo di mana sih."

Acha menepuk keningnya. "Iya, lo pergi, gue mau ganti baju."

"Lo kenapa sih, Cha. Kenapa lo engga tidur di kasur terus lo tidur di mana? gue khawatir sama lo," gumam Febrian lalu meninggal kamar yang ditempati oleh Acha.

****

Suara canda tawa mengisi ruangan tamu rumah Febrian, semuanya tertawa akibat kelucuan Febrian maupun sang Papah. Acha yang tadinya tersenyum kecut ini malah yang paling heboh tertawa. Hati Febrian hangat melihat gadis itu tertawa dengan lepas seperti kemarin di kelas.

Senyuman gadis itu masih terpajang jelas di lubuk hati terdalam seorang Febrian Alamsyah. Senyuman yang sangat dia rindukan saat Kecil hingga sekarang dan seterusnya.

Senyum indahnya. Lucu, itu yang bisa di definisikan seorang Acha sekarang. Hidung kempas-kempis, gigi tampak berjajar dengan rapih tak lupa wajah cerahnya.

"Cha, mau nginap lagi?" tanya Nada sembari menyodorkan segelas air dan juga makanan ringan.

Acha menggelengkan kepala. "Engga Tante, Acha langsung pulang. Kalau di sini takut ngerepotin Tante sama yang lain." Febrian yang mendengar penuturan gadis di depannya, mendengus kesal. Gadis di depannya keras kepala sudah dia katakan kemarin bahwa gadis itu tidak pernah merepotkannya.

Nada mendekati lalu duduk di sebelah gadis itu kemudian berkata. "Siapa yang repot sayang? Engga ada kok. Kalau bisa nginap lagi gak apa-apa sayang, jadi Tante gak sendirian di sini."  Gadis itu tersenyum haru, sudah lama rambutnya tidak di usap oleh sang Mamah.

Acha tersenyum seraya menyerka air mata di pipinya. "Lain kali Acha pasti datang lagi ke sini."

Nada mengangguk paham. "Mau pulang sekarang apa nanti?"

Acha tampak berpikir. "Sekarang aja nanti takut orang rumah nyariin," jawab Acha yang masih tersenyum manis.

"Nanti ke sini lagi, ya, Cha," kata Papah Febrian.

"InsyaAllah. Om, kalau ada waktu."

"Yaudah, ayo pulang!"  Febrian  beranjak dari tempat duduknya kemudian gadis itu berpamitan pada orang tuanya dan mengucapkan selamat tinggal tidak lupa mengusap lembut bulu Hany. "Nanti gue balik lagi."

"Meow."

******

"Eh ... Non Acha udah pulang!"  Mbok Imah nampak berlari kecil dari arah dapur, gadis itu mendekatinya lalu mengecup punggung tangan yang semakin hari semakin mengerut dan tampak kasar.

Acha tersenyum pada Mbok Imah seraya terkekeh. "Mbok Mamah kemana?"

Wajah Mbok Imah berubah seketika. "Emang Ibu gak pamitan sama non Acha?" tanya balik Mbok Imah.

Acha menggelengkan kepalanya, pasti ada yang tidak beres. Ke mana Mamahnya pergi? kapan? Haruskah dia meninggalkan gadis itu lagi dan membuat lukanya semakin dalam.

Mbok Imah menundukan kepalanya kemudian terkekeh. "Kemarin pagi Ibi liat Ibu bawa koper besar warna biru, terus Ibi nanya sama Ibu mau ke mana. Eh, Ibu gak jawab malah dia bilang titip salam sama non Acha katanya Ibu nyimpen surat untuk Non di kamar setelah itu Ibu Non pergi pake taksi," jelas mbok Imah dengan panjang lembar membuat Acha tersenyum kecut.

Acha menutupkan kelopak matanya secukup lama untuk menetralkan kekecewaannya pada sang Mamah. Air matanya kemudian membasahi pipi mulusnya rasa sesak di dadanya makin terasa.

"Yaudah Bi, Acha ke kamar dulu." Gadis itu berlari menuju kamar sekali-kali menyerka air matanya telah tumpah itu.

Tubuhnya lemas seakan-akan tak bisa menampung beban tubuhnya, gadis itu membiarkan tubuhnya luruh ke bawah memeluk lututnya kemudian menangis tersedu-sedu, air matanya seakan-akan lebih banyak dari biasanya.

Ini lebih sakit daripada di tinggal pacar pas sayang-sayangnya ataupun ditinggal nikah.
Ingin rasanya menangis berminggu-minggu dan ingin rasanya gadis bunuh diri namun selalu saja gagal.

Bodoh itu yang pantas untuk seorang Acha.

Gadis itu bangkit dari duduknya, melangkahkan kaki menuju nakas, netranya melihat selembar surat di kertas berwarna putih bersih tanpa cela apapun. Saat membukanya perlahan, air mata Acha kembali keluar dengan deras.

"Cha, engga butuh uang Mamah. Sekarang Acha pengen Mamah ada di sini, saat ini juga," lirih Acha setelah menyandarkan tubuhnya di nakas.

Mengapa harus meninggalkannya lagi?
Gadis itu tak butuh uang?
yang ia inginkan sekarang hanya satu yaitu kasih sayang lengkap dari orang tuanya.

Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang