36

221 16 0
                                    

"Apalagi ini Tuhan?"


Sesampainya di sana, Acha berlari kecil  menuju kamar milik orang tuanya dulu. Matanya mulai berair setelah melihat pemandangan yang sama sekali tidak ada perubahan dari dulu hingga sekarang.

Acha tersenyum miris, ranjang itu selalu menjadi tempat paling ternyamannya dulu. Dipeluk dan diusap kepalanya setiap hati sebelum tidur. Sungguh, Acha merindukan masa-masa indah itu lagi. Jika saja waktu bisa di putar, dia ingin mengulang lagi masa kecilnya dan berdoa supaya orang tuanya tidak berpisah seperti sekarang.

"Lo engga apa-apa 'kan, Cha?" tanya Siska sembari menuntun Acha untuk duduk di tepi ranjang.

Acha mengelus ranjangnya, rasa hangat mengalir di dadanya. Acha merindukan ini sangat merindukannya. Orang tuanya sangat menyayangi dulu sebelum sang ayah memutuskan untuk berpisah, entah karena alasan apa.

Hidupnya di sana hancur lebur. Kehilangan menjadi kunci, mengapa  sekarang dia menjadi tertutup.

"Bisa bantu gue cari surat itu engga." Badannya lemas tak ada tenaga, dia tak mampu mencarinya sendiri.

Dia harus memiliki stok hati yang sangat banyak untuk membaca surat itu. Memang dia tau jika sang ayah menikah lagi dengan mantan kekasihnya.  Wanita yang sangat dicintai sampai kapanpun dan Mamahnya hanya dijadikan seperti pajangan di rumah, dijadikan menjadi sosok istri dan ibu tapi tidak dijadikan menjadi wanita yang dia cintai.

"Boleh kok, sans aja."

Mereka mengangguk, mulai mencarinya di setiap penjuru kamar orangtuanya. Febrian sentiasa duduk di sampingnya tanpa membantu ke enam sahabatnya mencari surat itu. Laki-laki itu hanya berusaha menenangkan gadis di sampingnya saja.

"Butuh sandaran?" tanya Febrian sembari merentangkan tangannya, sigap mengangkup tubuh gadis itu ke dalam pelukannnya. Acha mengangguk,  memeluk pinggang Febrian dengan erat.

Pelukan ini juga yang Tita rasakan kemarin, Acha tau jika pelukan ini sangat hangat untuknya dan untuk gadis itu.

"Udah ketemu?"

Mereka pun menggeleng sembari terkekeh pelan. "Belum."

"Yaudah, cari lagi jangan ganggu yang lagi bucin," titah Ali dengan berkacak pinggang melihat keromantisan mereka berdua.

Di mata Ali bukan romantis tapi bucin keterlaluan. "dasar, penyakitnya kumat lagi."

Lima belas menit mereka mencari, tapi nihil tidak ada dan juga lima belas menit Acha memeluk Febrian seperti ini tanpa ingin melepaskannya. Ali memberi kode kepada Febrian bahkan dia tak menemukan sesuatu di kamar ini.

"Lepas dulu, ya," pinta Febrian lembut. Acha pun mengangguk mulai melepas pelukannya lalu terkekeh. "Udah ketemu?"

Mereka pun menggeleng membuat Acha menghembuskan napas gusar. "Coba lo inget-inget, dulu bokap lo suka nyimpen sesuatu di mana?"

Acha mulai mengingat kembali memorinya ke masa lampau. Ayahnya suka sekali menyimpan sesuatu di laci lemari dan juga di bawah ranjang yang di baluti oleh kotak kayu berwarna coklat.  Gadis itu  suka sekali bertanya tentang kotak itu, tapi sang ayah hanya tersenyum manis. Dan berkata 'kamu akan mengetahuinya jika sudah  besar' itu yang diingat Acha sampai sekarang. Wajah sang ayah pun sudah tidak ia kenali, hanya remang-remang yang dia ingat.

Acha beranjak dari duduknya, berjalan menuju lemari yang di dalamnya. Terdapat laci yang disembunyikan di balik tumpukan baju. Tangan bergerak membukanya, Acha tersenyum, laci ini tetap sama seperti tidak ada yang pernah membukanya sama sekali. Laci ini dikunci, dia harus memasukkan kata sandi untuk membukanya.

Acha Where stories live. Discover now