20

300 18 0
                                    






Acha mengusap matanya yang berembun saat melihat seseorang gadis seumuran dengannya sedang bersama dengan sang Ayah di atas mobil. Dadanya sakit, kenangan dulu yang dia harapkan ini dia coba untuk melupakannya bukan melupakannya semuanya tapi menghilangkan semua luka di dada.

Gadis itu menghela napas, masuk ke dalam mobil. Menstater mobil dengan kecepatan sedang, senja mulai meredup digantikan dengan awan hitam nan pekat di hiasi bintang-bintang bertaburan di malam hari. Gadis itu menghela napas gusar, seluruh badannya hingga tulang merasakan ada yang ia rasakannya itu menyeri punggung, asam urat.

Ia mendengus kesal saat melihat di sebelahnya tengah berboncengan dengan pacarnya. Saling berpelukan di atas motor, ia menggelengkan kepalanya. "Mumet kalau udah gitu."

Setelah tadi dia mengerjakan tugas, gadis itu memutuskan untuk ngajak makan  ketiga sahabatnya itu. Dia memutuskan menemui sahabatnya di cafe favoritnya 'cafe helzin' yang berada di pusat kota.

Mobilnya  berhenti mulus di parkiran belakang cafe khusus untuk kendaraan roda empat. Hampir satu jam,  dia terjebak  kemacetan. Gadis itu pun masuk ke dalam tak lupa mengganti sepatunya dan juga membawa tas kecil berwarna hitam hanya muat untuk ponsel dan dompet saja.

"Maaf, gue telat."  Mereka mengangguk mempersilahkan Acha duduk di depan Amel.

Amel menyodorkan segelas jus jambu padanya seraya terkekeh pelan. "Minum dulu, lo pasti cape." Acha menerimanya dengan senang hati dan langsung meminumnya hingga tandas. Dia tak menyentuh air sama sekali satu jam ini, mungkin saja gadis itu terkena dehidrasi.

“Gue mau nanya sama lo, tapi jawab jujur.”

Acha mengangguk sembari tersenyum kecut.

"Lo bener tolak s Bian sahabat debat lo itu."

Mulut Acha menganga lebar. Bagaimana Siska bisa tau? Perasaan di Koridor kemarin tampak sepi tak berpenghuni. Dia tak bisa berkata-kata lagi sekarang, netranya menatap lekat mata Siska yang membinar.

“Lo tolak s Bian?”

Acha mengangguk dengan malas. Pasti sahabatnya akan mengoceh panjang lebar dan menanyainya panjang lebar. Ketiga sahabatnya menganga tak percaya, dengan apa yang diucapkan oleh Acha yang tampak bodoamat tentang perasaannya sendiri.

Bodoh banget malahan!

Amel menepuk kepala Acha dengan browser cape cukup keras, membuat sang empu meringis kesakitan. Gadis itu menghadiahi sahabatnya tatapan tajam setajam belati dan seruncing pedang.

“Bodoh ... bodoh ... bodoh.” Putri menggelengkan kepalanya dan menatap sahabatnya dengan tatapan kesal. Bisa-bisanya dia menolak laki-laki yang sudah baik padanya, apalagi mereka sudah kenal baik dengan keluarga masing-masing.

Acha mendengus kesal. “Lebay banget sih lo pada.”

"Gue butuh alasan lo."  Amel  menarik kursi yang dia duduki lebih dekat dengan meja supaya suara Acha jelas.

Ke-dua sahabatnya mengangguk, sedangkan Acha memutarkan bola mata malas dengan ke-tiga sahabatnya. Gadis itu tampak berpikir sejenak, bingung harus berbicara dari mana.

"Gue bingung ngomong dari mana." Acha tersenyum lebar tanpa celah di setiap giginya membuat para sahabatnya menahan amarah.

"Langsung aja jangan banyak bacot, Cha," ucap Putri dengan sedikit tinggi dan penuh penekanan.

"Lo semua pada kepo." Acha mengambil ponselnya di tas kemudian memainkannya tanpa memperdulikan ke-tiga sahabatnya.

Putri langsung merampas ponsel dari tangan Acha membuat sang pemilik terpancing emosi.

"Apasih lo pada, balikin Hp gue." Acha berusaha merebutnya dari Putri. Tapi, gadis itu memberikannya pada Amel kemudian menyembunyikannya.

"Gak asik lo pada."

Putri mendengus kesal, netranya menatap Acha dengan lekat. "Jawab pertanyaan Siska." Acha hanya diam, pikirannya berputar seperti jam bayangan-bayangan itu muncul seketika di benaknya.

Acha menghela napas gusar. "Oke, gue cerita." Acha memejamkan mata sebentar kemudian berkata lagi.

"Sebenarnya engga ada alasan gue nolak dia, cuma gue takut. Lo tau apa yang gue omongin ini, engga semuanya bisa langsung   terbuka begitu saja apalagi hati gue, dia baik bahkan menurut gue sangat baik karena mau jadi sahabat debat gue. Tapi gue trauma sama laki-laki, gue gak mau di tinggalin kayak nyokap dan saat itu gue memutuskan untuk engga mencintai siapapun termasuk Bian."

Putri mengangguk. "Oke, gue tau semua itu tapi kalimat terakhir itu gue engga setuju, Cha. Lo itu manusia  wajar kalau ngerasain yang namanya cinta dan lo engga mungkin di dunia  ini kelak lo akan sendiri tanpa sosok laki-laki.  Lo sampai kapan gini terus, coba buka hati buat cowok.  Engga semua laki-laki kayak bokap lo, percaya. Emang lo gak cape apa, coba lo nerima cowok di hati lo. Sampe kapan lo gak punya pasangan, sampe nenek-nenek lo mau jomblo terus."

Gadis itu menghela napas, siapapun yang ingin begini. Semua orang tidak ingin, menikah mungkin menjadi keinginan untuk semua orang tapi untuk dirinya itu kemustahilan. Ia  memejamkan mata sekejap, hatinya sedang tak menentu. Serasa bertolak belakang dengan keadaan.

"Gue tau semua orang butuh cinta sama kayak gue tapi gua gak bisa, gue gak bisa buka hati sama siapapun.  Gue lebih mending milih kita sahabatan ketimbang gue pacaran sama dia.  Gue mau berkomitmen tapi emang bisa, semua laki-laki pasti mau pacaran engga mau perasaannya di gantung kayak jemuran. Jujur gue nyaman sama dia, tapi gue takut dia ninggalin gue ujungnya. Gue engga mau, hati gue emang butuh seseorang saat ini, tapi raga gue seolah engga terima itu semua. Gue bingung sama diri gue sendiri, sampai kapan gue gini terus. Gue juga mau kayak lo semua punya pacar tapi gue bodoh untuk yang namanya cinta." Ia menangis tersedu-sedu di pelukan Putri.

"Kita emang engga bisa bantu lebih, tapi gue harap lo bisa paham. Mencintai itu engga seburuk apa lo rasain, contohnya gue. Gue happy-happy aja dan menurut gue s Bian juga baik."

"Gue juga bingung sama diri gue sendiri, rasanya pundak gue berat banget.

"Coba lo buka pelan-pelan, kita engga maksa lo  harus berubah dan lo harus minta maaf sama s Bian."

_

Hari  kembali berganti, hawa segar membuat gadis itu tenang. Hamparan taman belakang sekolah membuat dirinya tidak ingin beranjak dari sini. Gadis itu memejamkan matanya membiarkan angin menyapu tubuhnya yang sedang bersandar pada kursi besi di belakangnya itu.

Mata gadis itu terbuka, melihat pemandangan yang membuat hatinya sedikit tertampar. Keluarga utuh itu yang dia lihat sedang berjalan seraya tertawa, anak itu berada  di gendongan sang Ayah. Acha tersenyum kecut, menghapus jejak air mata di sudut matanya. Ia mulai beranjak dari sana menghampiri ketiga sahabatnya di kantin.

"Libur semester kita ke mana, nih?"

"Gue mau ke Bandung." Acha menghela napas perlahan. Sungguh gadis itu  merindukan dia yang sudah lama tidak pernah dia kunjungi, selama beberapa tahun ke belakang karena sibuk mengurus semuanya.

"Gue pasti di rumah."

Amel dan Siska mengangguk, pasti mereka akan merasa bosan seharian di  kamar yang membuat mereka muak.

"Tiga minggu lagi woy, kita libur!" teriak Amel membuat para siswa-siswi memandangnya dengan tatapan aneh.

Bel pulang terdengar tak terasa empat jam berlalu dengan cepat itu tandanya seluruh siswa-siswi di perbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ia menarik tangan Putri membuat tubuh gadis itu terbawa oleh tarikkan dari sahabatnya.

"Acha  lo ngapain tarik-tarik tangan gue."  Putri  mendengus  kesal seraya berusaha melepaskan tangannya dari genggamannya.

"Anter ke gudang."

"Mau ngapain, sih?"  Putri cemberut. "Lo lupa besok ada tugas."

"Gue anter sampai toiletnya," ucap Putri.

Acha mengangguk seraya setia menarik tangan Putri dengan erat. Putri hanya bisa pasrah tangannya di tarik-tarik oleh Acha.

__

Acha Where stories live. Discover now