45

279 16 0
                                    

"Tersenyumlah, walaupun semua orang enggan melihat senyum pilumu."

.

"Cha!"

Sari berjalan seperti setrikaan, mundar-mandir di depan kamar anaknya. Ia memutuskan untuk mengambil kunci duplikat yang dia simpan di laci dekat pintu kamar putrinya.

Sari membuka pintunya perlahan. "Astaghfirullah, Cha. Kamu kenapa, Nak?!"

Sari masuk ke dalam terburu-buru, dia sangat kaget melihat tangan anaknya berdarah begitu banyak. Bahkan, serpihan kaca pun berserakan di lantai.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Sari khawatir.

Acha menggelengkan kepalanya. "Biar Mamah obatinnya atau kita ke rumah sakit aja?"

Acha kembali mengelengkan. "Engga Mah, Acha engga apa-apa. Engga terlalu sakit," dustanya, dia merasakan tangannya begitu sakit.

Sari mengusap rambut putrinya. "Nak, kalau ada masalah cerita sama Mamah. Jangan diam aja, engga baik buat kamu, sayang. Mamah ingetin lagi sama kamu, kalau kamu ada masalah jangan  nekat kayak gini. Berdoa sama Allah, cerita sama dia pasti Mamah yakin hati kamu akan tenang. Engga seperti ini tangan kamu sakitkan, siapa yang rugi?"

Acha menundukkan kepalanya. "Maaf, Acha salah."

Sari mengangguk, dia paham apa yang dirasakan  anaknya. Saat Kita tidak mempunyai  tempat untuk bercerita pasti  akan melampiaskan amarahnya kepada barang yang ada di dekatnya dia berada.

"Mamah obatinnya, kamu tunggu di sini Mamah bawa obat dulu."

Acha mengangguk pelan. Matanya lurus ke depan menatap kaca yang hancur karenanya,  kaca itu sudah tak utuh sama seperti hatinya sudah hancur lebur tak tersisa.

Gadis itu mengingat kembali kejadian itu.

Gadis itu terbangun dari tidurnya, nyatanya efek obat tidur tidak berfungsi di tubuhnya. Dia hanya tertidur dua jam saja, gadis itu menatap ke atas  lalu tersenyum miris, saat ingatan itu muncul kembali di otaknya.

Matanya kembali berkaca-kaca, tangannya mengepal kuat seprai di sampingnya.

"Argh!"

Gadis itu berdiri lalu meninju kaca dengan kuat seketika kaca itu pecah tak tersisa. Tidak ada bagian yang utuh semuanya hancur lebur karena tangan mungilnya. Acha tak memperdulikan tangannya berdarah. Dia malah duduk di atas lantai yang terdapat serpihan kaca.

"Aww!"

Gadis itu tidak  menyadari kehadiran Sari yang sudah ada dihadapannya. Lamunannya pun buyar saat  tangannya sedang diobati olehnya yang membuat kesadarannya mulai kembali lagi.

"Sakit?"  Acha mengangguk sembari menahan ringisan di bibirnya.

Sari meniup luka yang ada di tangan anaknya. "Sabarnya." Ia meneteskan beberapa tetes betadine lalu membungkusnya kasa.

"Selesai."  Tangannya menyentuh rambut anaknya. "Tidurnya jangan sedih mulu, ikhlasin aja."

__

Laki-laki berbaju biru sedang berbicara empat mata dengan laki-laki parubaya dihadapannya. Ada sedikit rasa canggung dan juga rasa bersalah di dalam hatinya.
Untung saja Andrean cepat kembali, dia hanya satu hari di sana. Katanya, acaranya batal dan laki-laki parubaya itu memutuskan untuk kembali ke bandung setelah melewati perjalanan  sangat panjang kemarin.

"Pertama-tama, saya mau minta maaf sama Om karena  banyak salah. Buat anak Om nangis dan juga kecewa sama saya, saya penyesal Om, harusnya saya terus terang sama dia pasti akhirnya engga bakal kayak gini. Om pasti bisa  sama Acha." Febrian menatap lekat laki-laki parubaya dihadapannya yang sedang tersenyum tipis.

Acha Where stories live. Discover now