13

318 22 0
                                    


"Rumah, entahlah mengapa kata itu begitu asing di telingaku."




Malam begitu gelap pekat sekarang, waktu sudah menunjukkan dini hari. Mereka berdua masih terdiam di mobil yang sama dengan keheningan. Febrian pokus dengan apa yang di depannya sedangkan Acha sibuk memikirkan yang tidak perlu di pikirkan.

Alunan lagu-lagu kembali terdengar di telinga masing-masing, mengobati keheningan di antara mereka berdua yang diam membisu tanpa obrolan hanya terdengar suara hembusan napas berat  saja yang terdengar. Gadis itu menghembuskan nafas pelan, netranya pokus pada jendela mobil yang menampilkan keindahan kota di malam hari yang tampak indah dengan lampu-lampu kecil yang menghiasi taman kota dan sekitarnya.

Sama seperti laki-laki di sampingnya yang sedang menikmati alunan musik yang syahdu nan indah, di Indra pendengaran sesekali bersenandung walaupun pelan. Tidak terdengar sama sekali oleh Acha.

Tak terasa mereka sudah sampai di perkarangan rumah Febrian. Acha langsung keluar dari mobil Febrian diikuti laki-laki itu. Acha tidak menyangka akan kembali tempat paling nyaman yang pernah dia rasakan. Kasih sayang di rumah ini sangatlah lengkap berbeda dengan rumahnya yang penuh keheningan tak ada canda tawa yang tercipta. Demi apa pun juga Acha muak tinggal di sana, ingin sekali memberi kehangatan tapi nyatanya tak bisa.

Rumah adalah tempat paling terindah setiap anak tapi berbeda dengan Acha. Gadis  yang menginginkan kehangatan, kasih sayang kedua orang tuanya. Tapi, apa yang dia rasakan hanya kesedihan dan juga penderitaan yang dia simpan sendiri di dalam hati. Kata bahagia sungguh mustahil adanya hanya sakit yang ia rasakan saat ini.

Febrian melirik kearah wanita di sebelahnya seraya mengernyitkan keningnya.

"Kenapa?"

Acha menoleh ke arah Febrian yang dari tadi memandangnya dengan tatapan sulit diartikan. Gadis itu langsung menggelengkan kepalanya. "Engga." Pertanda dia tak kenapa-kenapa.

Febrian mengangguk paham, dia langsung menarik tangan Acha. Masuk ke dalam rumah dan membawanya ke kamar miliknya.

Febrian tersenyum. "Lo tidur di sini, gue di kamar tamu. Soalnya di kamar kak Fika belum dibersihin."

Acha hanya mengangguk kemudian merebahkan tubuhnya di kasur milik Febrian.

"Nyaman."

"Lo tidur, Gue pergi," titah Febrian lagi seraya meninggalkan Acha di kamar sendirian.

Gadis itu kembali merenung, dia mulai kembali berandai-andai. Jika, rumah ini adalah miliknya dan orang tua Febrian adalah orang tua kandungnya. Pasti, dia akan bahagia dalam hidupnya tak seperti sekarang. Kasih sayang pun dia tak pernah dapatkan apalagi kenyamanan di rumah.

Keheningan yang gadis suka, keheningan membuat gadis itu damai. Di jatuhkan oleh keadaan keluarga dan di bangkitkan oleh waktu.

Melupakan masa lalunya yang sangat pait seperti obat bahkan lebih pait dari itu. Entahlah, gadis itu muak dengan keadaan saat ini. Di pakta kuat tapi nyatanya rapuh.

Ingin rasanya menangis dalam pilu, pil pait kehidupan telah dia rasakan.

Haruskah, iya mati?

Apa haruskah dia mengalah?

Apa dirinya,  tak bisa mendapatkan yang semua orang miliki?

Air mata kini telah membasahi pipi mulusnya. Gadis itu menangis tersedu-sedu, mengapa nasibnya seperti ini. Ingin rasanya bunuh diri, ingin rasanya pergi jauh meninggalkan luka di masa lalu yang kian menganga tanpa bisa di tutup kembali oleh apapun, dan termasuk oleh kebahagiaan dari orang lain.

Acha Where stories live. Discover now