37

222 15 0
                                    


"Apapun yang tidak di landasi oleh cinta pasti tidak akan utuh."






"Cha, bangun dong. Jangan buat gue khawatir liat lo kayak gini."  Febrian mengusap surai panjang milik Acha. Mereka sudah berada di rumahnya satu jam lalu tapi gadis itu masih enggan membuka matanya. Acha memulai tersadar dari tidurnya, matanya mengecil. Retina matanya berhasil menangkap seluruh cahaya yang masuk.

"Gue di mana?"

Febrian menoleh kearahnya, tersenyum lega. Rupanya gadis itu sudah sadar dari pingsannya.

"Di rumah gue."

"Alhamdulillah, Cha. Lo sadar juga!" teriak Siska sembari membawa nampan berisikan air minum dan juga bubur, tak lupa obat untuk gadis yang sedang menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.

Acha tersenyum. "Iya, makasih udah care sama gue."

"Sama-sama, kita khawatir banget sama lo tau engga. Tiba-tiba pingsan aja engga ngomong dulu kalau mau pingsan."  Siska tertawa  terkikiknya,  Febrian menoyor kepala Siska dengan tangannya. "Emangnya ada yang pingsan ngomong dulu?" 

Siska cengengesan tak jelas lalu menggeleng kepalanya. "Engga ada."

"Tadi lo simpan surat itu di mana?" tanya Acha, dia merasa bahwa surat itu terakhir di simpan oleh Siska kalau tidak salah.

"Di tas."

Acha mengangguk, membawa tasnya supaya berada di pangkuannya.

"Tolong tingalin gue sendiri, ya. Gue lagi engga mau diganggu," pinta Acha dengan halus.

Siska mengangguk akan tetapi Febrian menolak itu. "Tapi 'kan Ch—"

"Keluar dulu gue mohon, gue pengen sendiri dulu," pinta Acha. Febrian mengangguk pasrah, dia tak mungkin kekeh dengan  pendiriannya. Laki-laki itu  membebaskan Acha saat ini, supaya dia lebih tenang ketika membaca surat itu tanpa gangguan siapapun.

Febrian dan juga Siska keluar dari kamar yang di tempati oleh Acha dengan gontai.
Sebenarnya, mereka tidak ingin meninggalkan gadis itu sendirian. Tapi gimana lagi gadis itu ingin sendiri.

"Lah, kenapa kalian semua keluar. Terus siapa yang jagain Acha?"

"Acha pengen sendiri dulu kita engga boleh ganggu dia." Mereka mengangguk patuh, Acha tetap Acha yang tidak mau diganggu kalau dia ingin sendiri.

Di tempat yang lain, Acha tersenyum miris kembali mengusap kertas yang ada di pangkuannya saat ini. Surat yang akan membawanya pada kebenaran yang membuat begitu menyakitkan tapi juga membuat bebannya terangkat. Tapi, dia tak akan merasakan sakit berlebihan sekarang. Karena inti masalah dari kejadian masa lalu orang tuanya sudah dia tau. Acha membuka surat pertama dengan hati-hati. Dadanya seperti memberontak ingin keluar, tangannya lemas untuk membuka lebih lanjut kertas itu.

Sayang anak Ayah yang sangat Ayah cintai. Kamu anak yang selalu Ayah sayangi di dunia ini walaupun tempat kita berbeda sekarang. Ayah sangat sayang banget sama kamu, Nak, ingatlah  jauh bukan berarti tidak merindukan atau tidak menyayangi. Sebenarnya sulit sekali menahan rindu kepadamu, Nak.

Tapi, apalah daya Ayah sekarang, kamu sudah jauh dan kamu jarang berkunjung ke sini. Nak, Ayah sudah menikah lagi dengan sosok yang Ayah cintai sebelum Ibumu datang. Dia sosok yang tangguh, cantik dan juga mandiri. Dulu Ayah mengecewakannya, sudah berjanji untuk menikahinya tapi apa? Ayah malah menikah dengan orang lain yang tidak Ayah cintai sampai kapanpun.

Tapi, Ayah sudah membayarnya dengan lunas sayang. Ayah sudah menebus rasa bersalah Ayah kepadanya, Ayah sudah menikah dengannya. Dia Ibu tirimu, Nak. Dia selalu saja menanyakanmu, apa dia tumbuh menjadi anak gadis yang cantik? itu yang beliau suka katakan kepada Ayah. Nama kalian hampir sama, Salsa Azzahra. Itu nama Ibu tirimu, Nak. Dan sekarang kamu memiliki dua adik; satu perempuan dan satu laki-laki.

Acha Where stories live. Discover now