9

352 26 2
                                    

"Memperjuangkan apa yang seharusnya patut untuk di perjuangankan."



Acha menghela napas saat Amel dan Siska berdebat entah soal apa. Dirinya hanya menopang dagunya dengan tangan, matanya masih menatap mereka berdua yang sedang berdebat panas.

"Udah, udah, masalah sepele aja di ributin."

Mereka mengangguk paham. Kursi yang tadi di duduki oleh Febrian dan teman-temannya kini di duduki oleh seseorang yang bahkan mereka tidak tau siapa mereka.

"Hey, cantik." 

Acha bergeser mendekat kearah Putri dan juga Amel. "Lo pada cantik di liat langsung." 

Tangan laki-laki itu kembali ingin menyentuh tangan Acha. "Ngapain lo pegang-pegang."

Mereka tertawa pelan, menarik tangan Acha dan berkata. "Baru kali ini gue di tolak, Bro."

Acha melepaskan cekalan tangannya. "Lepasin engga, kalau lo kakak kelas tolong buat contoh yang baik bukan kayak gini."

"Aduh, rupanya kalian marah."

Amel menarik tangan Acha, menyuruhnya untuk pergi dari sini. Acha mengangguk, muali beranjak dari duduknya lalu berlari menjauh di ikuti oleh ketiga sahabatnya.

Laki-laki itu juga bangkit, berusaha mengejar mereka dengan jalan yang lain. Putri berseru memanggil nama Acha, gadis itu menoleh dan menghentikan langkahnya.

"Aman?" Mereka mengangguk.

Acha tampak gelisah, Amel mengerutkan keningnya. "Kenapa lo?"

Acha menyengir polos. "Lo balik duluan gue mau ke toilet sebentar ke belet nih."

"Lo engga apa-apa sendiri?" Acha menggeleng. "Amanlah."

Mereka mengangguk, Acha memutuskan untul berlari. Membuang hajatnya, dia menghela napas lega. Menepuk roknya dan memutuskan untuk keluar, tapi tangannya di cekal seseorang.

"Ketemu lagi cantik." Mereka tertawa, Acha berusaha menepis tangan  laki-laki yang bernama Bima itu.

"Lepas!"

"Engga."

Febrian yang sedang membawa buku tidak sengaja melihat Acha. Laki-laki itu mendekat, menyimpan buku itu terlebih dahulu di tempat duduk.

Tangannya melepaskan cekalan yang berada di tangan Acha. "Kalau sama cewek jangan gini, mentang-mentang lo semua kakak kelas."

Mereka berempat tertawa, mengejek Febrian. Mengatakan dirinya cupu karena memakai kaca mata, Bima tersenyum smirk. "Jangan sok pahlawan, gue tau siapa lo tapi gue engga takut."

Febrian melepaskan tangan Bima, menepuk bekasnya. "Bicara baik-baik kalau mau kenalan sama orang."

"Siapa yang mau kenalan sama dia?" Bima menunjuk  gadis di depannya. "Enggalah, engga ada guna gue kenalan sama dia. Cantik sih tapi sayang bukan tipe gue." Mereka berempat pergi.

Acha menghela napas gusar. "Kalau ada yang gitu jangan diem aja, lari lo punya kaki kalaupun tubuh lo kecil."

Acha terdiam, tidak berniat membalas candaan yang di keluarkan oleh Febrian tadi. Dia memutuskan untuk pergi, meninggalkan Febrian sendiri di sana.

"Dasar cebol, engga sopan!"

Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi, Putri menoleh. "Lama banget!"

Acha mengangguk. "Di gangguin gue sama yang tadi di kantin."

Putri memegang tangan Acha. "Tapi lo engga apa-apa, kan?"

Acha menggelengkan kepalanya. "Engga untung aja s Bian datang."

Putri menghela napas lega. "Alhamdulilah."

di tempat lain, Febrian mengeluarkan ponselnya dari saku celana abu miliknya,  mengirim pesan untuk seseorang.  Pesan kemarin yang dia kirimkan hanya di lihat oleh gadis itu.  Tentu saja tidak ada balasan untuknya. Febrian tersenyum kecut  sembari memandang ponsel di genggamnya.

Ali menepuk pundak Febrian, dia mengangguk-anggukan kepalanya. "Nungguin dia?"

Febrian menggeleng. "Engga."

Ali menarik tangan Febrian, menyuruhnya untuk masuk ke dalam kelas. Di tempat lain,  Acha baru saja keluar dari kelas sembari menenteng tas miliknya.

Dia mengambil ponselnya, menggaktifkan datanya benar saja satu pesan dari Febrian. Laki-laki itu menyuruhnya untuk menunggu sebentar dan mengajaknya pulang bersama.

Gadis itu mendecak, menyimpan lagi ponselnya di rok miliknya. Ia memutuskan untuk pulang sendiri tanpa menungu Febrian.

Laki-laki itu mencekal tangan Acha, membuat gadis itu menoleh. "Mau ke mana lo?"

Acha menghela napas. "Pulanglah, lo pikir gue bakal nginep di sini."

"Ya kirain, kan."

Acha mendengus kesal. "Pulang sama gue."

"Engga, gue bisa sendiri."

Febrian menggeleng. "Engga sama gue!"

Acha menghela napas berat, mengangguk. "Iya deh terserah lo."

Febrian mengangkat jempol tangannya, lalu  laki-laki itu mendekat mengusap rambut yang sengaja gadis urai. "Gitu dong, sering-sering gini cebol!"

Acha menepis tangan Febrian. "Sialan."

Febrian  menertawakan wajah gadis di depannya yang tampak begitu menggemaskan. "Yaudah, ayo."

_

"Lo bawa gue ke mana sih? dari tadi lo cuma ngajak gue keliling daerah sini?"

Febrian menghentikan motornya, dia melihat ke belakang nampak Acha sedang menatapnya dengan tajam.

"Turun!"

Acha membuka mulutnya, turun dari motor sembari berkacak pinggang. Febrian siap-siap menutup telingga, sudah pasti gadis dihadapannya akan mengomel.

Acha memukul tangan Febrian. "Sialan lo, gue mau pulang."

Febrian menghela napas. "Main dulu napa, pulang-pulang aja. Mending main dulu sama gue, itung-itung lo liat yang ganteng."

Dia tiba-tiba mual mendengar ucapan yang di lontarkan oleh Febrian. Ganteng? menurut Acha laki-laki itu tidak begitu tampan.

"Lo ganteng?"

Febrian mengangguk, Acha memutar bola matanya malas. "Di rumah lo engga punya kaca apa? Ganteng juga kagak lo."

Febrian menjitak kening gadis dihadapannya. "Asem,  gue produk paling unggul bapak gue."

"Apa?"

"Gue ganteng!"

Acha menggeleng. "Engga."

Pundak Acha di pegang, mata gadis itu menatap Laki-laki itu dengan seksama. "Liat dengan baik gue ganteng kok."

Acha membuang pandangannya kelain arah, ia mendengus kesal. "Terserah lo, lah."

"Anterin gue pulang, woy. Gue pengen rebahan."

Febrian menggelengkan kepalanya. "Engga."

"Plis."

"Oke, tapi nanti malam lo jalan sama gue."

Acha membulatkan bola matanya, dia menghela napas gusar. Menatap Laki-laki itu tidak suka, sedangkan Febrian terus tersenyum jahil. "Oke, anterin gue pulang."

"Heem."

Acha bersorak, tangannya di tarik oleh Febrian. "Naik cebol!"

"Iya, sabar napa jadi orang!"

Acha Where stories live. Discover now