35

243 19 0
                                    

"Yang hilang akan terganti oleh yang baru."




"Ke mana aja, sih, lo, gue cariin lo dari tadi?" tanya Siska kesal sembari berkacak pinggang.

Acha tersenyum, mengangkat kedua tangannya membentuk V.  "Maaf, tadi gue ke suatu tempat dulu jadi lama sampenya."

"Kenapa engga izin, gue sama yang lain cari lo tau, sampe muter-muter taman," decak Putri menatapnya dengan tatapan sinis.

Febrian hanya menggelengkan kepalanya, mereka hanya pergi beberapa jam sama di kota Bandung.

"Lo semua jangan khwatir dia bareng gue kok tadi," timpal Febrian setelah mendudukan tubuhnya di samping Acha yang berusaha memejamkan kedua matanya.

"Dari mana tadi, Bro?" tanya Ali sembari menepuk bahu Febrian.

"Rumah pohon," jawabnya membuat ketiga sahabat Acha berteriak dengan kencang.

"Kenapa engga ngajak kita?" tanya mereka bersama-sama dengan berteriak dan menganggu tidur Acha.

"Engga sempat bilang sama kalian. Tadi, kita buru-buru ke sananya itu pun Acha yang narik gue ke sana," ujar Febrian sembari mengusap pucuk rambut milik Acha supaya gadis itu kembali tertidur.

"Jangan berisiknya sahabat lo lagi tidur," pinta Febrian dan diangguki oleh semuanya.

"Bawa ke kamar aja di sini engga yakin deh bakal engga berisik."

Amel mengangguk. "Betul tuh, kalau ada yang berisik kita engga tanggungjawab kalau Acha bangun."

"Oke, gue pindahin dia." Febrian mengangkat tubuh Acha  dengan hati-hati, berjalan menuju kamar. Dengan berat hati, laki-laki itu mengangkat gadis yang bobotnya di luar perkiraanya. Di luar dia tampak kurus tapi ketika di dalam gendongan gadis itu memiliki bobot sangat berat.

"Berat banget lo," gumam Febrian setelah menidurkan gadis itu di kasur dengan hati-hati.

"Good night, Cebol gue," ucap Febrian seraya mengecup kening Acha singkat dan mengusap kepalanya sebelum pergi.


---

Keesokan harinya, tempat ini berubah menjadi pasar. Ramai oleh teriakkan Acha yang tampak kehilangan sesuatu yang sangat berharga menurutnya. Ya, itu ponsel pintarnya yang mendadak hilang entah ke mana. Mungkin gadis itu lupa menyimpan atau dicuri oleh orang.

"Ponsel gue di mana?" tanya Acha dengan sedikit berteriak kepada ke-tiga sahabatnya.
Mereka mengangkat bahu acuh, mereka tak melihat Acha bermain ponsel sejak kemarin,  selepas pulang dari rumah pohon.

"Udah lo masukin ke tas kali," timpal Siska berusaha tak membuat suasana menjadi panik.

Gadis di depannya memang sedikit pelupa. Contohnya dulu, dia mencari kunci mobilnya sampai mengacak-ngacak seisi rumah. Dan sekarang kejadian itu terluang lagi. Gadis itu tak membiarkan Acha mengacak-ngacak seisi rumah lagi karena mereka akan menjadi babu untuk membersihkannya tanpa upah tentunya.

"Engga ada."  Acha panik sembari mencari ponselnya di dalam tas.

"Kenapa engga ada, coba cek lagi," pinta Putri sembari menarik tas milik Acha untuk dia cek sendiri.

"Coba tanya Febrian dia, kan, kemarin sama lo, siapa tau dia inget lo simpen di mana," ujar Amel dan diangguki oleh Acha. Gadis itu mulai mendekat ke arah Febrian dengan wajah paniknya.

"Rian liat ponsel gue engga?"  Febrian mengangkat kedua halisnya, laki-laki itu tidak pokus dengan Acha yang ada dipikirannya adalah panggilan terbaru untuknya yaitu Rian.

Febrian menggeleng lalu terkekeh. "Bukannya kemarin lo udah masukin ke dalam tas, 'kan?" 

Acha mengangguk. "Tapi, engga ada."

"Cek yang bener," titah Febrian. Acha mengangguk. "Kalau engga ada gimana?"

"Bukan rezeki lo, Cha. Ikhlasin aja." Febrian mengelus rambut Acha berusaha menenangkannya.

"Tapi kontak gue gimana? gue ngabarin nyokap gue gimana?" tanya Acha, panik jika benar-benar ponselnya menghilang seperti di telan bumi.

"Lo bisa pake ponsel gue." Acha mengangguk mengiyakannya. Dia tak punya pilihan yang lain kecuali menerima bantuan dari laki-laki di sampingnya.

"Cha, ini apa kok kayak surat!" teriak Putri sembari mengangkat kertas itu tinggi-tinggi supaya Acha melihatnya.

"Apa?"

Putri mengulurkan surat itu kepada Acha. Ketika Acha tersenyum, dia mengingatnya sekarang. Surat yang dia baca sebelum ke sini tentunya dari Ayah-nya.

"Surat dari siapa, Cha?" tanya Amel membuat Febrian was-was, dia tak mau kecolongan jangan-jangan itu dari pacar atau gebetan Acha. No berfikir negatif, pikirnya.

"Bokap." 

"Udah lo baca?" tanya Febrian.

Acha mengangguk. "Udah dulu sebelum ke sini."

"Dari bokap lo langsung apa gimana, Cha. Gue masih bingung?" tanya Amel sambil mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Acha.

"Nyokap ngasih ke gue. Tapi, katanya itu surat dah lama, liat aja kertas udah sedikit rusak," jelas Acha sembari tersenyum.

"Boleh gue baca?" tanya Ali yang dari tadi hanya mendengarkan saja. Tapi, laki-laki itu sedikit penasaran apa isi di dalam surat itu.

Acha mengangguk,  memberikan surat kepada Ali dengan senang hati tentunya. Dia tak mungkin menyembunyikan semua itu sendirian.

"Kok ada yang aneh di dalam surat ini," ucap Ali setelah membaca surat itu.

"Aneh gimana?" tanya Aldi. "Liat di sini di tulis Acha harus buka laci di kamar ayahnya dan mencari sambungan surat ini," jelas Ali.

Aldi merebut surat itu dari Ali dan membacanya. "Bener tuh."

"Ada apa sih?"

"Liat ini," titah Aldi. Amel mengerutkan keningnya.

"Cha, lo udah bener bacanya dulu?" tanya Amel, gadis itu  mengangguk lalu menggelengkan kepalanya. Acha emang  membaca  sekilas saja dan tidak lengkap, dia tak sanggup jika membacanya semuanya membuat luka di dalam hatinya bertambah.

Tapi dia ingat tujuannya ke sini adalah surat tersebut.  "Coba lo baca lagi, nih liat di sini tertulis lo harus buka laci kamar bokap lo dulu."

Acha menelan saliva susah payah, ada rasa menyesal kenapa dari dulu dia tak membacanya. Dia sempat membacanya tapi dia lupa lagi dengan isi surat itu yang dia pikirkan hanya pergi ke Bandung mencari keberadaan ayahnya itu saja dan juga kebenaran yang menyakitkan.

"Kita langsung ke sana, gue tau lo penasaran sama isi surat itu."

Mereka mengangguk. "Bener tuh ayo, tapi kalau lo engga kuat bacanya. Mending lo cari dulu itu surat bacanya besok-besok. Oke."

"Iya."

Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang