Amaranthine 6

1.1K 176 4
                                    

Mata Luna terpejam, menghalau sinar matahari yang menyelusup dedaunan menatap wajahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mata Luna terpejam, menghalau sinar matahari yang menyelusup dedaunan menatap wajahnya. Berulang kali dia menarik napas dalam-dalam—mengisi paru-parunya sampai penuh—lalu mengembuskannya melembut mungkin melalui mulut. Sudut bibir gadis itu terangkat. Tersenyum bahagia hanya karena masih bisa membuka mata pagi ini.

Semuanya berjalan dengan lancar, sampai tiba-tiba Luna dikagetkan dengan sensasi dingin yang menjalar di pipi kanannya. Secepat kilat gadis itu membuka mata, memutar lehernya untuk melihat apa yang baru saja dialaminya.

"Kak Sakti?"

Si tersangka tersenyum lebar, memamerkan gigi putihnya. Kemudian, dia duduk di samping Luna. "Mau?" tawar Sakti, sembari mengangkat es krim rasa vanila. "Sakit lo enggak akan kambuh kalau cuma makan es krim, 'kan?"

Luna tersenyum tipis, dia menggelengkan kepala. "Asal jangan terlalu banyak aja." Lalu, dia mengambil es krim itu dari tangan Sakti. "Makasih."

Jujur saja, Sakti kaget bisa bertemu dengan Luna di sini, di taman perumahan daerah Bangka. Memang, perumahan ini tidak jauh dari tempat tinggal Sakti. Namun, dari sekian banyak manusia yang bisa dia temui, Tuhan mempertemukannya dengan Luna. Hanya kebetulan, Sakti tidak mau menganggapnya sebagai takdir.

"Lo tinggal di sini?" Sakti menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi memenuhi otaknya, sebelum ia memutuskan untuk membeli 2 buah es krim.

Kepala Luna mengangguk. "Iya, rumah aku dekat taman ini." Kemudian, dia memperhatikan penampilan Sakti. Celana jins panjang dipadupadankan dengan kemeja flanel navy, topi hitam yang menutupi kepala, dan—tentu saja—kamera yang menggantung di leher Sakti. "Kak Sakti tinggal di dekat sini juga? Atau emang sengaja ke sini buat foto-foto."

Satu sudut Sakti naik. Bukan senyum miring yang membuatnya terlihat sini, justru, Sakti terlihat manis karena ada langsung pipi di wajahnya. "Ketahuan banget, ya?" Ia melirik Luna sekilas. "Iya, gue ke sini buat cari momen yang pas aja buat dipotret. Lo sendiri ngapain? Enggak takut kaki lo sakit lagi?"

"Aku mau cari angin segar aja, sih. Soalnya, besok udah mulai homeschooling. Kalau ada apa-apa, aku tinggal telepon papa."

Untuk beberapa saat, Sakti hanya terdiam memperhatikan wajah Luna. Entah hanya perasaannya atau memang begitu adanya, Sakti merasa pipi Luna lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu. Mata buatnya tidak lagi memancarkan cahaya keceriaan, justru terlihat kelam. Dan suara Luna terdengar lebih melengking.

Gila, gue bisa tahu dia se-spesifik itu? Sakti membatin. "Lo lagi santai, 'kan?" Luna menoleh, mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Kalau gue ajak lo keliling kompleks buat cari momen buat difoto, mau?"

***

Setiap orang punya pandangan masing-asing terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Dan pandangan itu menggambarkan karakter asli dari si pengamat. Dan Sakti tidak mau menyamaratakan pandangan seorang fotografer pada satu momen. Itu semua bergantung dari karakter.

Hanya saja, Sakti akan dengan sangat bangga menyebutkan bahwa dia adalah pengamat yang baik. Daun yang gugur, bukan hanya menggambarkan tentang kematian. Namun, juga tentang memberi manfaat untuk tumbuhan yang lain dengan kematiannya. Matahari yang bersinar dengan terik bukan hanya melambangkan keluhan karena keringat yang membasahi tubuh. Namun, juga tentang rasa syukur untuk mereka yang menantinya. Setiap momen memiliki plus dan minus. Mana yang lebih besar, tergantung dari apa yang kita cari.

"Makasih banyak, ya, Kak. Ini pertama kalinya aku belajar fotografi, apalagi kalau kamera antik kayak gitu," ucap Luna saat mereka sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Luna melirik Nikon FM2 yang ada di tangan Sakti. Dia tidak menyangka akan kuat berjalan selama 3 jam keliling kompleks tanpa keluhan apa pun. Yang ada, dia merasa bahagia. "Kayaknya, aku harus beli kamera, deh. Soalnya, udah mulai tertarik."

Sakti terkekeh mendengarnya. Entah mengapa, dia senang melihat gadis di hadapannya itu senyum selama mereka jalan-jalan. Walaupun hanya berjalan kaki, tetapi Luna tidak sekali pun mengeluh. "Boleh. Nanti, biar gue yang jadi guru lo." Senyum di bibir Sakti perlahan luntur, matanya tidak sedikit pun terlepas dari wajah ayu Luna. "Gue senang lihat lo yang sekarang daripada sebelumnya."

"Hah?" Luna mengernyitkan keningnya. "Maksudnya gimana?"

"Lo kelihatan lebih ceria aja. Terus, senyum lo juga enggak terkesan dipaksakan, kayak kemarin. Cara lo bicara lebih lantang bandingkan waktu lo di UKS." Sakti menjeda. Entah nanti dia akan menyesal atau tidak, biar itu jadi urusannya. Sekarang, Sakti hanya ingin bicara jujur pada Luna. "Jangan takut, Luna. Lo pasti sembuh, kok. Lo pasti bisa sekolah formal lagi, bisa kumpul sama teman-teman lo lagi."

"Aku harap begitu," sahut Luna dengan cepat. Aku harap, aku bisa sembuh. Itu keinginan terbesarku sekarang. "Makasih banyak, Kak."

Kepala Sakti mengangguk. Tangannya masih menggenggam erat Nikon FM2 peninggalan mendiang sang bunda. "Gue enggak akan bolos lagi." Tiba-tiba, bibirnya berucap seperti itu. Entah untuk apa juga Sakti berkata demikian. "Gue akan mengikuti pelajaran sebaik mungkin. Dan gue akan having fun sama kamera gue kalau udah bubar sekolah atau weekend kayak sekarang."

"Bagus, deh. Supaya aku enggak geregetan lagi sama Kak Sakti." Luna tersenyum lebar. Luna jika tidak tahu mengapa dia bisa merasa lega mendengar ucapan Sakti. Mungkin, karena laki-laki itu akhirnya bisa bersikap 'normal', tidak lagi semaunya. "Kalau Kak Sakti butuh teman buat cari bahan potret, Kak Sakti boleh ajak aku. Asal diajari gimana dapat foto yang bagus, aku mau-mau aja."

"Okay, minggu depan gue hubungi lo." Sakti melirik ke rumah Luna. Susah saatnya gadis itu istirahat. "Lo istirahat, gih. Jangan sampai lo kenapa-napa karena gue."

Luna tertawa ringan. Dia meremas ujung kausnya dan menganggukkan kepala. "Ya udah, aku masuk dulu. Minggu depan, Kak Sakti harus mampir ke rumah aku."

Laki-laki itu hanya tersenyum simpul sebagai respons.

"Hati-hati di jalan, Kak."

Hari itu akan selalu diingat Luna. Bagaimana dia terus berjalan keliling kompleks dengan penuh semangat, bagaimana Sakti menjelaskan satu demi satu tombol yang terdapat di karena analog hitam kesayangannya, juga bagaimana laki-laki itu menceritakan momen dari setiap foto dengan cara pandang yang berbeda. Bahkan, Luna harus termenung beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum, merasa takjub sendiri.

Semua momen itu akan disimpan dengan apik di memori Luna, ia berjanji. Juga momen ketika laki-laki itu memanggil namanya, melangkah mendekatinya, kemudian tersenyum bodoh sembari berkata ; "Boleh minta nomor HP lo? Gue enggak mungkin pakai telepati buat menghubungi lo, 'kan?"

*
*
*
Selamat siang, Legiuns.

Mau nanya, kalian udah mulai sayang sama Luna dan Sakti kan?

Mau nanya, kalian udah mulai sayang sama Luna dan Sakti kan?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Salah satu hasil jepretan Luna.

Bini Ceye,
10.42, 17 April 2021.

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now