Amaranthine 50

1.4K 117 11
                                    

Pak Hilman menatap satu per satu foto yang terpajang di salah satu galeri Jalan Suryo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pak Hilman menatap satu per satu foto yang terpajang di salah satu galeri Jalan Suryo. Berulang kali beliau berdecak kagum, tidak menyangka jika putra sulungnya memiliki bakat yang sangat menakjubkan di bidang fotografi, bahkan dari sejak remaja. Tolong, jangan salahkan Pak Hilman jika dulu beliau kurang mendukung hobi Sakti yang satu ini. Salah anak itu sendiri yang tidak bisa mengimbangi hobi dengan kewajiban.

“Ayah datang?” Suara Sakti membuat Pak Hilman menoleh. Beliau mengangguk, lalu menepuk bahu Sakti. “Makasih udah meluangkan waktu Ayah.”

“Ayah bangga sama kamu, Sak,” ucap Pak Hilman tanpa ragu sedikit pun. “Semoga dengan pameran Amaranthine ini, kamu bisa semakin mencintai fotografi. Tapi, tentu aja dengan tanpa mengenyampingkan perusahaan.”

Sakti terkekeh. “Iya, Yah. Ayah tenang aja.”

Sakti juga melakukan yang sama, mengedarkan pandangan ke seluruh sudut galeri. Dia tidak menyangka akan ada banyak sekali yang datang. Bahkan, beberapa teman SMA dan kuliahnya juga datang untuk memberi ucapan selamat.

“Ayah lihat-lihat lagi aja, ya? Kalau butuh apa-apa, Ayah bilang sama Bunga aja. Sakti mau ketemu ama Rio dulu.” Sakti menunjuk seorang laki-laki dengan setelan paling rapi di sana, lalu melangkah mendekati orang itu.

Mata Rio tertuju pada foto Luna yang sedang memasang wajah polos pada kamera. Di belakang gadis itu ada bunga amaranth yang begitu cantik. Seragam SMA yang ada di foto hitam putih itu membuat Rio merindukan masa putih abu. Di antara banyaknya foto gadis itu di pameran itu, Rio berpendapat bahwa foto inilah yang terbaik.

That's my masterpiece,” ucap Sakti sambil berdiri tepat di samping Rio. “She was so beautiful, right?

Tanpa ragu, Rio menganggukkan kepalanya. “Yeah. She was so beautiful, as always.” Rio terus memandangi foto itu, seakan tidak merasa bosan sama sekali. “Kalau gue beli foto ini, lo keberatan, gak?”

“Gue adakan pameran ini sebagai hadiah buat Luna, bukan buat jualan.” Sakti mendelik tak suka. Namun, kemudian dia memasang wajah datar lagi, kembali menatap foto menakjubkan itu. Foto pertama yang dia ambil dengan Luna sebagai obyeknya. “Gue kira, lo gak datang. Kirain masih di Medan, urus pemilu.”

“Semalam gue ke Jakarta, emang sengaja mau datang ke sini,” jawab Rio.

Memang, dia sedang sibuk-sibuknya dengan pemilihan daerah. Rio maju sebagai wakil walikota Medan tahun ini. Meskipun bukan asli dari Sumatera, tetapi Rio memiliki banyak pendukung. Dia optimis akan menang.

“Lo gak mau memperkenalkan gue sama orang spesial lo di sini? Mungkin, pacar, tunangan, atau calon istri? Jangan bilang lo masih sendiri, Sak.”

“Ngaca! Lo sendiri masih sibuk sama politik!” dengkus Sakti. Mereka memang bersahabat, tetapi selalu saling mengejek saat bertemu. “Gue masih suka kesendirian ini, Yo. Gue bebas kerja, foto-foto, main ke rumah Luna. Buat sekarang, gue belum mau jalin hubungan. Gue nikmati aja hidup gue yang sekarang.”

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang