Amaranthine 36

455 89 2
                                    

Inginnya Luna, dia berumur panjang, menikmati masa SMA sambil mencetak banyak prestasi, mendapatkan nilai UN yang memuaskan, masuk perguruan tinggi negeri Jakarta, jadi guru yang teladan, hingga akhirnya memiliki keluarga bahagia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Inginnya Luna, dia berumur panjang, menikmati masa SMA sambil mencetak banyak prestasi, mendapatkan nilai UN yang memuaskan, masuk perguruan tinggi negeri Jakarta, jadi guru yang teladan, hingga akhirnya memiliki keluarga bahagia. Iya, inginnya Luna seperti itu. Namun, inilah yang ia miliki. Dislokasi pinggul, katarak, dan kanker tiroid. Yang Luna miliki hanya beberapa bulan sisa waktunya di dunia ini.

Terkadang, hidup bukan tentang mendapatkan apa yang kita mau, bukan? Hidup juga tentang bagaimana kita menikmati apa yang kita punya. Dan itu yang hendak Luna lakukan. Menikmati sisa hidupnya, dengan penuh damai, tanpa berharap lebih akan masa depan atau impiannya.

“Sayang,” panggil Bu Zihan, membuat Luna mengalihkan perhatiannya dari jendela kamar. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut. “Ada Nak Sakti.”

Untuk beberapa saat, Luna hanya terdiam. Dia tidak menyangka Sakti masih bersedia datang ke rumahnya setelah pertengkaran mereka kemarin. “Masuk aja, Ma,” singkat Luna. Kemudian, dia kembali memperhatikan bunga-bunga di taman samping dari balik jendela kamarnya.

Biasanya, Sakti akan menyapa Luna hangat tiap kali ia masuk ke kamar itu. Kali ini, kecanggungan menyelimuti keduanya. Sakti ikut berdiri di samping Luna, mengedarkan pandangan ke taman. “Aku minta maaf sama sikap aku kemarin,” ucap Sakti, memulai pembicaraan di antara mereka. “Mungkin, aku emang terkesan memaksa kamu, tapi aku gak bermaksud untuk jadi pacar yang otoriter. Aku cuma mau kamu sembuh.”

Luna masih bergeming, membiarkan Sakti mengatakan apa yang dia ingin sampaikan.

“Kanker itu menyakitkan, Luna. Biarpun aku gak pernah merasakannya, tapi aku yakin, kanker sangat menyakitkan. Dan aku gak mau kamu sampai mengalami hal itu.” Sakti menarik napas dalam-dalam. Maksud kedatangannya ke sini untuk mendapatkan maaf dari Luna, bukan untuk memperpanjang masalah kemarin. “Tapi, kalau kamu bersikukuh sama keputusan kamu, aku akan dukung. Gak apa-apa kalau kamu gak mau terapi. Kita habiskan waktu bersama sebanyak mungkin aja.”

Mata Luna turun, lalu melirik Sakti. “Aku juga minta maaf udah bilang kalau Kak Sakti pacar yang otoriter. Aku gak bermaksud buat bilang kayak gitu. Cuma ... waktu itu aku emang lagi emosi.”

“Iya, gak apa-apa. Salah aku juga yang terlalu memaksa kamu.” Sakti mengulurkan tangannya, kemudian berkata, “kita baikan?”

“Baikan,” jawab Luna sembari menjabat tangan Sakti. Dia tersipu saat laki-laki tu mengecup singkat punggung tangannya. “Yang kemarin pertengkaran pertama kita, lho, Kak. Habisnya, Kak Sakti nyebelin banget, sih.”

“Lho? Kamu pikir, kamu enggak nyebelin? Kamu harus lihat gimana wajah kamu kemarin, bikin kesel banget,” timpal Sakti. Keduanya lantas menertawakan kejadian kemarin siang. Jika sudah baik-baik saja, mereka menganggap perdebatan mereka itu adalah hal lucu. “Oh, iya, aku bawa sesuatu buat kamu. Ikut ke ruang makan, yuk?”

Meski bingung, Luna tetap mengikuti langkah Sakti untuk keluar dari kamarnya. Melewati ruang keluarga hingga akhirnya sampai di ruang makan, Luna terperangah melihat serba-serbi makanan yang ada di atas meja. Ada semangkuk es krim, cincau, bahkan es serut warna-warni. Di saat hubungan mereka tidak baik-baik saja, Sakti masih isa mengingat apa saja yang Luna inginkan.

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now