Amaranthine 47

652 99 4
                                    

Keputusasaan menyelimuti sebuah ruang rawat di Rumah Sakit JMC

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Keputusasaan menyelimuti sebuah ruang rawat di Rumah Sakit JMC. Semua orang masih bimbang, berdiri di antara mengikhlaskan atau mempertahankan. Tidak ada yang peduli tentang makan atau minum, fokus semuanya hanya tertuju pada tubuh yang terbujur kaku di atas brankar. Hari yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan, justru berakhir dengan penuh rasa panik dan ketakutan. Harapan yang seharusnya dijunjung tinggi untuk orang yang hari ini bertambah usianya, justru berlabuh pada seseorang yang sudah tersentuh malaikat maut.

Sakti setia duduk di samping tubuh Luna yang tak berdaya. Pak Yusuf juga tidak beranjak sedikit pun dari kursi plastik di sisi kiri brankar. Bu Zihan berulang kali bulak-balik kamar mandi untuk meluapkan kesedihannya. Bunga, Miqdad, Rio, setia memanjatkan doa sambil duduk di sofa. Sementara Pak Hilman sedang berkonsultasi dengan Dokter Adi mengenai tindakan lebih lanjut untuk menolong Luna.

“Mama.”

Semua pasang mata langsung tertuju pada Luna. Gadis itu mengerjap berulang kali, menyesuaikan matanya dengan pencahayaan yang ada di sana.

“Ma, Pa.” Sekali lagi, Luna bersuara.

“Sayang, ini mama.” Bu Zihan mengusap kepala Luna dengan penuh sayang, berusaha menahan air mata yang sudah siap kembali turun. “Apa yang sakit, Sayang? Kasih tahu mama. Nanti, mama kasih tahu Dokter Adi untuk kasih obat pereda sakit.”

Dengan wajah pucat, Luna tetap berusaha untuk tersenyum. Dia menggeleng lemah, lalu menggenggam tangan sang mama. “Gak ada yang sakit di tubuh Luna. Semuanya baik-baik aja, Ma.” ucap Luna dengan suara yang begitu lemah. “Maaf, Luna bikin Mama khawatir lagi, bikin Mama sedih lagi. Jangan nangis, ya, Ma? Luna gak suka lihat air mata Mama.”

Berbanding terbalik dengan apa yang Luna minta, air mata Bu Zihan justru jatuh tak tertahan. “Iya, Sayang, mama gak akan nangis lagi.” Bu Zihan menatap lekukan wajah Luna. Mulai dari mata bulatnya, hidung kecilnya, bibir tipisnya, semua tidak absen dari pandangan Bu Zihan. “Mama gak akan sedih lagi, asal Luna gak sakit lagi.” Meskipun berat, Bu Zihan tetap harus melakukannya. Hanya ini yang bisa beliau lakukan untuk mempermudah kepergian Luna. “Mama ikhlas, Nak. Mama rela jika kamu mau pergi.”

“Makasih, Ma. Makasih banyak untuk semua kasih sayang Mama selama Luna hidup. Makasih untuk semua pengorbanan Mama. Luna sayang sama Mama, Luna bersyukur terlahir sebagai anak Mama.” Dengan pergerakan yang sangat lemah, Luna berusaha menghapus air mata sang mama. “Jangan lepas kepergian Luna dengan air mata, ya, Ma. Biar Luna bahagia.”

Saat Luna menatapnya, Pak Yusuf langsung bergerak mendekati putri kesayangannya. Untuk kali ini, Pak Yusuf gagal berusaha menyembunyikan kesedihannya. Beliau juga menangis, berusaha mengikhlaskan apa yang akan menjadi kehendak Tuhan. Pak Yusuf memandangi wajah pucat Luna. Gadis kecil kesayangannya, harus pergi secepat ini.

“Papa di sini, Nak. Papa di samping kamu.”

“Pa, makasih udah menjaga Luna selama ini. Makasih udah mencintai Luna dengan cara yang begitu menakjubkan, meski Luna bukan anak kandung Papa dan Mama. Maaf, selama ini Luna cuma bisa jadi beban buat kalian. Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan dan kasih sayang kalian.”

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now