Amaranthine 35

462 93 2
                                    

“Ikat rambutnya mana?” Sakti segera mengambil tali kecil yang diberikan Luna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ikat rambutnya mana?” Sakti segera mengambil tali kecil yang diberikan Luna. Dengan penuh hati-hati, ia mengikat jung rambut Luna yang sudah dikepang sebelumnya. Lalu, ia tersenyum puas. “Cantik!”

Luna mengangkat tinggi-tinggi cermin yang sedari tadi ia pegang. Sedikit ke belakang, ia bisa melihat hasil karya Sakti yang tidak terlalu buruk. Rambut memutih Luna menyatu dengan rambut hitamnya dan membentuk kepangan panjang. Untuk kali ini, Luna setuju bahwa rambut putihnya terlihat cantik. Seperti rambut Ana dalam serial kartun Frozen.

“Terus, sekarang kita mau ngapain?” Luna membalikkan posisi kursi rodanya. Menatap Sakti penuh binar, berharap ide menyenangkan muncul di kepala laki-laki itu. “Gimana kalau kita belajar matematika? Kak Sakti pasti punya buku persiapan UN, 'kan?”

Saat itu juga, Sakti langsung gelagapan. Otak Luna selalu aja berpacu pada belajar, belajar, dan belajar. Sakti tersenyum, kemudian mengambil nampan yang ada di atas meja. “Sekarang, kamu makan siang dulu. Kalau perutnya udah diisi, baru nanti kita main lagi.” Sakti mulai mengambil sendok dan bersiap menyuapi Luna.

Mereka melakukan beberapa hal menyenangkan hari ini. Melakukan truth or dare dari aplikasi sosial media, menyusun lego, sampai mengisi TTS di majalah yang ada di ruang rawat Luna. Terakhir, saat Luna mengeluh rambutnya membuat tidak nyaman, Sakti berinisiatif mengepangnya meski harus melihat tutorial dari Youtube. Kedua orang tua Luna sedang di perjalanan kemari. Pak Hilman dan Bunga baru bisa datang nanti malam.

“Kalau aku udah keluar dari sini, aku mau piknik, deh, Kak,” ucap Luna sebelum ia membuka mulutnya, mulai makan. “Ke puncak, sama keluarga kita, senang-senang di villa. Pasti seru.”

“Tapi, kamu harus jalani kemo—”

“Aku juga mau es krim! Atau cincau yang gula merahnya banyak. Masih ada yang jualan es serut, gak, sih?” potong Luna dengan cepat, sekarang ia tidak mau mendengar ucapan Sakti tentang apa yang harus ia lakukan setelah hasil tes biopsi keluar. “Kak Sakti juga pernah janji mau bawa aku ke Swadarma. Awas lupa.”

Terdengar helaan napas panjang dari Sakti. Ia kembali menyuapi Luna, kemudian menatap gadis itu dengan serius. “Kamu harus kemoterapi, Lun. Dokter Adi bilang, harapan untuk kamu sembuh itu besar.”

“Belum tentu aku positif, 'kan? Kenapa harus kemo?” tanya Luna dengan wajah polos, persis anak kecil yang mencari tahu jawaban akan sesuatu yang baru untuknya. “Mungkin, aku bisa sembuh dari kanker. Tapi, untuk Werner, enggak akan pernah bisa, Kak. Sewaktu aku menjalani kemo, bisa aja nanti penyakit lain terdeteksi. Dan aku enggak mau, aku gak siap. Kemo cuma bikin sisa waktu yang aku punya jadi terbuang sia-sia.”

“Apanya yang sia-sia, sih? Jelas-jelas itu bisa memperkecil penyebaran kanker, Luna. Bahkan ada harapan kamu sembuh. Dan itu bisa membuat umur kamu lebih panjang.” Nada bicara Sakti meninggi tanpa ia sadari. Sakti benar-benar frustasi, dia tidak mau kehilangan Luna. “Pokoknya, kamu harus kemo. Aku temani, kok. Aku enggak akan pergi ke mana-mana, aku bakal terus ada di samping kamu.”

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang