Amaranthine 34

479 97 4
                                    

Sakti memasuki kamar rawat Luna dengan penuh semangat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sakti memasuki kamar rawat Luna dengan penuh semangat. Ia masih menggunakan seragam, ransel menempel di punggungnya, juga sebuah map berwarna navy ia pegang erat-erat. Pak Yusuf masih di kantor kejaksaan, Bu Zihan pulang dulu, maka Sakti bisa langsung masuk setelah mengetuk pintunya. Di atas brankar, Luna sedang duduk sembari membaca novel. Gadis itu langsung memberikan senyum tipisnya menyambut kedatangan Sakti.

“Gimana nilai rapornya?” tanya Luna, sembari menutup novel merah muda yang ia baca sejak sejam yang lalu.

Senyum lebar Sakti langsung terbit. Dia menarik kursi dan duduk di samping Luna. “Tebak aku ranking berapa?” Kening Luna mengernyit. Gadis itu mencoba berpikir, tetapi kemudian menggeleng, pertanda menyerah. “Pertama kalinya dalam hidup, aku ranking 19!”

Air muka Luna berubah seketika. Hah? 19? Dia terus memperhatikan Sakti yang sekarang sudah mulai membuka rapornya. “Biasanya ranking berapa?”

“Ranking 28, terakhir,” jawab Sakti dengan senyum yang semakin mengembang. “Kamu enggak menyangka aku bisa ranking 19, 'kan? Sama, aku juga!” Sakti masih tidak ngeh dengan wajah bingung Luna. Dia menunjukkan nilai rapor semester 5. “Lihat, kimia aku 80, bahasa inggris 79. Matematika yang biasanya pas KKM, sekarang naik 2 poin.”

Luna langsung menarik sudut bibirnya saat Sakti meliriknya. Kemudian, dia bertepuk tangan heboh. “Yeee! Selamat, ya, Kak. Aku bangga banget sama Kak Sakti.” Luna memamerkan kedua jempol tangannya. “Kak Sakti mau hadiah apa?”

“Kalau kamu udah pulang lagi ke rumah, aku mau nasi goreng buatan kamu, ya?”

“Iya, nanti aku buat nasi gorengnya,” jawab Luna dengan cepat. Kemudian, dia melihat deretan angka yang ada di rapor Sakti. “Kak Sakti mengalami banyak kemajuan, lho, Kak. Semester ini udah banyak nilai yang melampaui KKM,” komentar Luna sembari terus memperhatikan perbandingan nilai Sakti semester ini dengan semester sebelumnya. “Nanti, lebih rajin lagi belajarnya, ya?”

Tanpa disangka, Sakti langsung menggelengkan kepalanya. “Kayaknya enggak perlu belajar keras-keras juga, deh, Lun. Aku mau masuk perguruan tinggi seni, ambil Jurusan Fotografi. Di sana pasti enggak bakal belajar kimia, fisika, atau biologi, 'kan?”

“Tapi, Kak Sakti tetap harus belajar buat Ujian Nasional, 'kan?” Seketika, Sakti terdiam karena ucapan Luna. “Nanti belajar sama aku, deh. Bu Rina pasti bisa bimbing persiapan UN Kak Sakti.”

“Iya, iya, nanti aku rajin belajar buat UN.” Selayaknya anak kecil, Sakti menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia menyimpan map rapornya ke dalam tas. “Mau main ke taman, gak? Aku udah izin sama perawat, kok. Katanya boleh, asal kamu pakai kursi roda.”

Tanpa memerlukan waktu untuk berpikir, Luna langsung menganggukkan kepalanya. Menghabiskan waktu hampir 36 jam di ruang rawat membuatnya benar-benar bosan. Sakti bergerak mengambil kursi roda di sisi brankar yang yang lain. Dengan sigap pula Sakti membantu Luna untuk duduk di atas kursi roda itu.

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang