Amaranthine 26

556 115 5
                                    

Sakti mengernyit heran saat melihat seorang bapak keluar dari rumah Luna lengkap dengan jas putih serta briefcase yang dijinjing

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sakti mengernyit heran saat melihat seorang bapak keluar dari rumah Luna lengkap dengan jas putih serta briefcase yang dijinjing. Seorang dokter, jelas Sakti tahu hanya dengan penampilannya. Karena itu pula sekarang Sakti dilanda khawatir. Dia hanya tersenyum sopan pada bapak itu saat berpapasan, kemudian berdiri tepat di samping Bu Zihan.

“Siapa yang sakit, Tan?” tanya Sakti dengan tidak sabar. Harapan bahwa bukan Luna yang sakit harus hancur saat menerima tatapan penuh arti wanita paruh baya di hadapannya. “Luna kenapa?”

“Dari bangun tidur tadi, Luna enggak bisa lihat dengan jelas. Saat diperiksa dokter, katanya, itu gejala katarak,” jawab Bu Zihan dengan suara lemah.

Hati Sakti mencelos seketika. Baru kemarin mereka bisa bersenang-senang di halaman samping rumah. Menyiram bunga, bermain air, juga memejamkan mata menghadap mentari sore. Dan hari ini, Sakti harus menerima kenyataan bahwa penglihatan Luna sudah mulai terganggu. Dia ingin protes, tetapi tidak tahu harus protes pada siapa.

“Sekarang, bagaimana kondisinya?” Suara Sakti tidak terdengar seperti sebelumnya. Sama dengan Bu Zihan, suaranya melemah. Hatinya semakin sakit saat Bu Zihan menggelengkan kepala. “Saya boleh lihat Luna, Tan? Siapa tahu, saya bisa bantu menenangkan dia.”

“Silakan, Nak Sakti. Luna ada di kamarnya, langsung masuk saja.”

Setelah mendapatkan izin, Sakti segera melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Melewati ruang tamu dan keluarga, Sakti sampai juga di depan kamar kekasihnya. “Luna? Ini aku, Sakti. Kemarin, kamu bilang mau pulpen warna-warni, 'kan? Aku bawa buat kamu, lho.” Tidak ada jawaban dari dalam sana, membuat Sakti semakin ketar-ketir. “Aku buka pintu kamu, ya? Enggak apa-apa, 'kan?”

Meskipun tidak mendapatkan jawaban, Sakti tetap membuka pintu kamar Luna. Kakinya melangkah masuk, ia mencoba tersenyum meski hatinya sangat terluka. Di sana, di kepala ranjang, Luna sedang terdiam sembari memeluk kedua kakinya.

“Kak Sakti,” panggil Luna dengan suara serak. Dia menengadah, mengenali Sakti hanya dari siluetnya. Karena mata Luna seperti penuh dengan kabut, semuanya kabur. “Aku enggak bisa lihat wajah Kak Sakti. Semuanya buram, semuanya terlihat enggak jelas.”

Sakti mempercepat langkahnya. Dia duduk di samping Luna, menggenggam erat tangan gadis itu. “Enggak apa-apa, aku di sini. Semuanya akan baik-baik aja, kok.”

Isakan-isakan lembut mulai terdengar. Pandangan kabur Luna semakin tidak jelas karena pelupuk matanya penuh dengan cairan kristal. “Tapi, aku enggak bisa melihat dengan jelas, Kak. Aku ... katarak.”

“Hey, kamu bisa lihat lagi, kok. Nanti, semuanya bakal jelas lagi kalau kamu pakai kacamata.” Sakti mengusap punggung tangan Luna penuh kelembutan. “Jangan takut, ya? Semuanya akan baik-baik aja.”

“Tapi, aku jelek kalau pakai kacamata, Kak. Nanti, aku kelihatan jauh lebih tua lagi kalau pakai kacamata. Aku malu.” Dan sekarang, isakan lembut itu udah berubah menjadi tangisan. Pelukan Luna terhadap kedua kakinya kian mengerat. Gadis itu menggeleng kuat. “Aku enggak mau pakai kacamata! Enggak mau!”

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now