Amaranthine 30

524 97 7
                                    

Ada pesan di bawah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada pesan di bawah. Tolong dibaca, ya.

***

"Mas, tolong minta es batu sama handuk kecil," ucap Luna pada pegawai kedai yang baru saja kembali dari urusannya di gudang belakang. "Kak Sakti tunggu di sini dulu, ya? Aku mau bicara sama Kak Rio." Luna melangkah setelah melihat Sakti menganggukkan kepalanya. Dia berhenti sejenak saat berhadapan dengan Rio. "Kita bicara di luar."

Dengan perasaan yang masih berkecamuk, Rio bangkit dari duduknya dan segera mengekori Luna. Dia mengusap wajahnya kasar, lalu memberanikan diri untuk bertukar pandang dengan Luna. "Kenapa kamu enggak kasih tahu saya, Lun? Apa begitu sulit untuk kamu memberi tahu saya tentang sakitnya kamu ini?"

"Kak, enggak ada yang tahu. Aku sama mama papa sepakat untuk menjadikan semua ini rahasia. Cuma Dokter Rian yang tahu, itupun dia yang mendiagnosis sendiri." Luna menarik napas dalam-dalam. Dia melirik ke dalam, dan Sakti sedang memperhatikan mereka dengan seksama. "Kak Sakti juga tahu belum lama ini, kok. Karena memang semuanya sudah direncanakan untuk menjadi rahasia."

"Saya tahu, saya tidak punya hak untuk marah ama kamu karena hal ini. Tapi, Luna, saya sayang sama kamu. Dan kamu juga tahu itu. Kalaupun tidak ada kesempatan untuk aya menjadi pacar kamu, setidaknya anggap saya sebagai teman kamu."

Luna menatap Rio penuh frustasi. Dia tidak mau masalah ini semakin panjang. Dia hanya ingin menjalani sisa hidupnya dengan tenang. "Baik, aku minta maaf kalau keputusan aku untuk gak kasih tahu Kak Rio itu mengecewakan. Dan terima kasih untuk kasih sayang dan segala bentuk perhatian Kak Rio selama ini. Sekarang, Kak Rio udah tahu kenyataannya, 'kan? Tolong, jangan diperpanjang lagi."

Napas memburu Rio perlahan menjadi tenang. Kepalanya tertunduk, kemudian terangkat dengan tatapan yang lebih lembut untuk Luna. "Lalu, apa yang terjadi sama kamu ke depannya?"

"Aku harus siap dengan semua konsekuensinya. Mungkin, beberapa penyakit serius hanya tinggal menunggu waktu." Luna berusaha tersenyum saat Rio menatapnya khawatir. "Gak perlu terlalu khawatir, Kak. Aku enggak sendiri, kok. Aku udah ikhlas dengan apa yang terjadi sama hidup aku."

"Tapi, kenapa harus kamu, Luna?" Akhirnya, Rio menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi bercokol di kepalanya.

"Ini yang terbaik. Ini skenario paling baik yang Tuhan ciptakan untuk aku."

Butuh perjalanan yang panjang dan banyak kejadian supaya Luna bisa berkata seperti itu. Fisiknya yang berubah, pandangannya yang tidak sempurna lagi, serta beberapa bagian sendi yang semakin hari semakin terasa menyakitkan, Luna akan semakin merasa hidup ini tidak adil jika terus melawan. Yang bisa dia lakukan saat ini adalah menerima semuanya dan menjalani sisa hidupnya dengan penuh kebahagiaan.

Setelah pembicaraan keduanya di luar kedai, Rio meminta maaf kepada Sakti. Dia mengaku, tidak terima saja jika Sakti sampai mengkhianati Luna. Dan laki-laki itu paham, memaafkan Rio dengan begitu mudahnya. Dan setelah mengantarkan Luna pulang, akhirnya Sakti menginjakkan kakinya di teras rumahnya.

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now