Amaranthine 18

690 132 3
                                    

Selama 2 minggu ini, Sakti rutin termenung di teras kamarnya selepas maghrib

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selama 2 minggu ini, Sakti rutin termenung di teras kamarnya selepas maghrib. Matanya menatap lurus bangunan gudang yang berhasil ia ubah menjadi tempat foto-foto kebersamaannya dengan Luna. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya, tetapi pikiran Sakti berimajinasi dengan liarnya. Terutama, pada kejadian itu.

Jangan tanya seberapa besar rasa bersalah yang mencambuk Sakti setiap harinya. Itu kali pertama dia melihat Luna sangat kesakitan, dan ia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia ingin menolong Luna, tetapi itu justru semakin menyakitinya. Bahkan, Sakti juga tidak tahu apa yang terjadi pada Luna saat dia memindahkan tubuh ringkih gadis itu ke atas kursi roda.

“Sakti,” pamggil Pak Hilman. “Mau sampai kapan kamu terus melamun kayak gitu, Sak? Ayah khawatir kamu sakit.” Pak Hilman berdiri di samping putranya. “Masih masalah Luna?”

Tidak mengelak, Sakti langsung menganggukkan kepalanya dengan lesu. “Sakti enggak bisa berhenti mikirin dia, Yah. Sampai hari ini, enggak ada kabar sama sekali. Sakti takut kondisi Luna sangat buruk.”

Jelas Pak Hilman mengerti perasaan tak berdaya yang dirasakan putranya. Beliau pernah ada di posisi itu. Terus menunggu perkembangan istri tercinta yang dulu empat koma. “Percaya sama Tuhan, Sak, Luna enggak akan kenapa-napa. Ayah yakin, dia perempuan yang sangat kuat.”

Ya, Sakti juga meyakini itu. Dan dia sangat berharap Luna menjadi lebih kuat dari biasanya. Karena saat ini, Sakti tidak bisa ada di sampingnya. Dia tidak bisa menghibur Luna saat gadis itu merasa sedih, tidak bisa melemparkan candaan saat suasana hatinya kurang baik, atau mengabadikan senyum manisnya saat dia merasa bahagia.

“Kamu ... menyimpan perasaan pada dia, Sak?” tanya Pak Hilman penuh kehatia-hatian. Pasalnya, ini kali pertama beliau melihat putra sulungnya sampai sekacau ini karena seorang gadis.

Sakti menggigit bibir bawahnya. Perlahan tapi pasti, dia menganggukkan kepala. “Bohong kalau Sakti bilang enggak da perasaan apa-apa sama Luna, Yah. Dia terlalu istimewa untuk cuma dianggap teman.” Lalu, pemuda itu melirik ang yah yang sedia mendengarkan ucapannya. “Tapi, Sakti takut, Yah.”

“Apa yang kamu takutkan?”

“Sakti juga enggak terlalu paham ketakutan apa yang selama ini ada di pikiran Sakti. Mungkin, Sakti takut enggak bisa bikin ia bahagia dengan perasaan ini? Atau, Sakti takut enggak akan puas hanya dengan memiliki dia sementara? Atau, Sakti takut Luna enggak punya perasaan yang sama?” Sakti terus menjawab dengan penuh keraguan. Bahkan, dia terkesan bertanya. “Tapi, Yah, yang jelas, Sakti takut enggak bisa menerima kehilangan lagi. Kehilangan bunda udah cukup buat Sakti.”

Kehilangan orang yang sangat dicintai memang ketakutan terbesar untuk para pecinta. Dan sekali lagi, Pak Hilman mengerti perasaan Sakti.

Terdengar helaan napas panjang dari bibir pria paruh baya itu. Pak Hilman menatap langit malam Jakarta yang tidak berbintang. “Kehilangan adalah sesuatu yang pasti, Sakti. Jangankan kehilangan orang-orang yang sangat penting dalam hidup kita, kehilangan barang yang jarang kita pakai pun, tetap kehilangan namanya. Begitu pula dengan kematian, itu adalah sesuatu yang mutlak untuk semua makhluk hidup. Tapi, bagaimana kamu mengisi sisa waktu itu ada di tangan kamu.”

Ucapan Pak Hilman berhasil membuat Sakti termenung. Ayahnya itu benar, kehilangan dalah hal yang pasti, kematian adalah hal yang mutlak untuk semua orang.

“Kita tidak pernah tahu kapan Tuhan memanggil kita. Ya, Luna sedang sakit sekarang. Tapi, bisa saja kamu yang lebih dulu berpulang.” Lagi, Pak Hilman menepuk bahu Sakti, meminta putranya untuk tidak lagi meragu. “Jangan sia-siakan waktu yang tidak kita ketahui berapa lagi sisanya itu hanya dengan keraguan dan memelihara rasa takut, Sakti. Nyatakan perasaan kamu. Jika memang ditolak, setidaknya kamu sudah memenuhi hasrat untuk mengungkapkannya. A real man wouldn't be a coward just because something that is not sure yet.”

Kali ini, ucapan sang ayah bukan hanya menampar, melainkan sukses menusuk ulu hati Sakti. Laki-laki tu sadar, dia sudah menghabiskan terlalu banyak waktu hanya ketakutan yang belum tentu terjadi. Jika Sakti tidak mengutarakan perasaannya, dia sendiri yang akan menyesal.

Dering ponsel yang ada di saku celana training Sakti mengalihkan anak dan ayah itu. Dengan cepat, Sakti segera merogoh sakunya. Mata sayu yang selama ini kurang enak dipandang kini berbinar. “Dari Luna, Yah,” ucap Sakti dengan suara yang begitu pelan.

Pak Hilman tersenyum melihat pemandangan itu. Gadis bernama Luna memang berhasil membuat dunia Sakti jungkir balik. “Angkat, jangan biarkan dia menunggu terlalu lama. Ingat, jangan sia-siakan waktu lagi.” Setelah mengatakan itu, Pak Hilman beranjak dari kamar Sakti, memberi putranya ruang leluasa untuk bicara dengan Luna.

“Halo?” sapa Sakti ketika panggilan itu terhubung. Untuk beberapa saat, hanya ada kesunyian di seberang sana, dan itu membuat Sakti ketar-ketir. “Luna? Lo dengar suara gue, 'kan?”

Kesunyian itu berangsur berubah sedikit bersuara. Bukan suara Luna, kalian deru napas teratur yang begitu dalam. Lalu, terdengar suara seorang perempuan. “Kak Sakti, apa kabar?”

Sakti tidak bisa menahan diri untuk membuang napas lega. Akhirnya, selama 2 minggu dia selalu bertanya-tanya mengenai kabar Luna, akhirnya suara gadis itu terdengar lagi. Namun, tidak bisa dipungkiri, suara Luna terdengar berbeda dari biasanya.

“Harusnya, gue yang nanya kayak gitu. Lo apa kabar? Gimana keadaan lo sekarang? Udah enggak sakit lagi, 'kan?” cerca Sakti dengan tidak sabar.

Terdengar kekehan kecil di seberang sana. Sakti yakin, Luna pasti terlibat sangat cantik saat ini. “Aku ... baik,” jawab Luna, terdengar ragu. “Untuk sekarang, udah enggak sakit lagi. Tapi, gak tahu kalau besok.” Lagi, Luna diam. Kali ini, Sakti melakukan hal yang sama. Dia menunggu gadis tu melanjutkan ucapannya. “Maaf enggak bisa kasih kabar sama Kak Sakti. 2 minggu ini aku sibuk sama proses pemulihan.”

“Harusnya, gue juga yang bilang kayak gitu, Lun.” Sakti menengadah, menatap lagi malam yang berwarna biru. “Gue minta maaf karena enggak isa berbuat apa-apa waktu itu. Maaf, karena gue enggak bisa jaga lo dengan baik.”

“Enggak, jangan ngomong kayak gitu. Ini semua bukan salah Kak Sakti. Ini semua murni karena penyakit aku. Selama ini, Kak Sakti udah menjaga aku dengan baik, kok. Cuma, hari itu semuanya emang serba di luar kendali.”

Tepat saat Luna memejamkan matanya, Sakti merasa ada batu yang menghantam dadanya dengan begitu keras. Berulang kali dia meminta gadis itu untuk membuka mata, tetapi Luna justru semakin terlelap. Sakti terus memanjatkan doa dalam hati, meminta Tuhan untuk terus melindungi Luna, mencabut asa sakitnya, dan memastikan Luna baik-baik saja.

“Kak Sakti bisa datang ke rumah aku besok? Aku udah enggak bisa menutupi semuanya lagi. Dan kalau nanti Kak Sakti memilih pergi, aku juga akan mencoba memahaminya.”

Lidah Sakti kelu. Perasaan khawatir yang empat reda kini kembali menyelimuti hatinya. Namun, yang pasti, Sakti tidak bisa menolak permintaan Luna. “Besok gue ke rumah lo sepulang sekolah. Apa pun itu, gue enggak akan pergi, Luna.”

*
*
*
Kalian siap dengan informasi yang akan diterima besok? Semoga aja nggak pada jantungan, yaaa.

Sayang banget ya, Sak?

Bini Ceye,
22.05, 23 April 2021.

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now