Amaranthine 28

501 97 4
                                    

Tidak langsung percaya, Rio terus saja memperhatikan gadis yang di samping Sakti

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tidak langsung percaya, Rio terus saja memperhatikan gadis yang di samping Sakti. Sampai akhirnya, matanya turun membaca name tag yang menuliskan nama 'Luna Kinandita', barulah Rio percaya. “Oh, iya, dia emang murid di sini. Saya kenal dia, kok. Kasih izin mereka untuk masuk,” ucap Rio pada anak buahnya.

“Tapi, Kak. Maskernya ....” Siswi itu masih saja ragu.

“Dia lagi flu, emang lebih baik maskernya enggak dibuka.”

Rio memganggukkan kepala pada Sakti, memberi izin untuk mereka berdua memasuki area sekolah. Meskipun Rio tahu, dia bisa mendapatkan sanksi berat jika ketahuan memasukkan seseorang yang bukan warga Widyadharma, dia tetap memberi izin Luna untuk masuk.

Kayaknya, kamu kangen sama suasana sekolah, ya, Lun?

Berulang kali Luna menengok ke belakang, ke arah Rio. Dia sangat berterima kasih karena Rio bersedia memberi izin padanya. Padahal, acara porak ini adalah proyek terakhir Rio sebagai ketua OSIS, tanggung jawabnya lebih besar dibandingkan proyek-proyek sebelumnya. Jika ketahuan Rio memasukkan orang luar, dia bisa dipandang sebagai ketua OSIS yang gagal.

“Aduh!”

Dengan cepat, Sakti menahan tangan Luna saat gadis itu tersandung. “Kamu enggak apa-apa?” Terdengar embusan napas lega saat Luna menggelengkan kepala. “Hati-hati jalannya. Teras sekolah kita keras, lho, sakit kalau sampai jatuh.”

Luna terkekeh geli. Lagipula, mana ada teras yang empuk? Sakti ini ada-ada saja. Kemudian, keduanya melangkah membelah keramaian. Di lapangan depan, sedang diadakan pertandingan basket kelas 12. Terdengar sorak ramai dari sisi lapangan yang berbeda. Ada yang memukul-mukul galon, ada yang sambil memetik senar gitar, ada juga yang hanya bermodal jeritan menggelegar. Luna sangat merindukan suasana seperti ini.

“Yah! Si Miqdad gimana, sih?!” dengkus Sakti seketika, membuat Luna menengadah padanya. “Yang pakai baju biru itu sahabat aku, namanya Miqdad. Kalau nanti ada waktu, aku kenalkan kamu ke dia, ya?”

“Gak mau, ah. Aku malu.” Luna menggelengkan kepalanya. “Nanti, pasti sahabat Kak Sakti heran sama penampilan aku.”

Perlahan, Sakti melepaskan tautan tangan mereka. Dia memegang puncak kepala Luna yang dibalut dengan topi. “Dia sendiri bilang pernah suka sama kamu, lho. Dan aku yakin, dia enggak akan peduli sama penampilan kamu. Tapi, kalau kamu enggak mau, aku enggak maksa, kok. Nanti aja, kalau kamu udah siap.”

“Kak Sakti enggak marah, 'kan?”

“Emang kapan aku pernah marah sama kamu?” Sakti menggandeng bahu Luna. “Cuma, kalau kamu udah enggak percaya diri kayak barusan, aku jadi sedih. Aku pengin kamu tahu aja, kalau beberapa orang di dunia ini enggak peduli dengan penampilan. Cukup hanya karena kamu Luna, mereka senang bisa ketemu kamu. Banyak orang di dunia ini memiliki hati yang tulus, Lun.”

Seketika, Luna terdiam. Benar, ada banyak orang yang memiliki hati tulus di dunia ini. Memberi tanpa pamrih, mencintai tanpa memandang fisik, juga mengingat karena itu adalah kamu. Mengingat kamu yang apa adanya.

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now