Amaranthine 45

545 84 3
                                    

Sebenarnya, Luna tinggal memakai gaun putih yang sudah dipersiapkan sejak semalam

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Sebenarnya, Luna tinggal memakai gaun putih yang sudah dipersiapkan sejak semalam. Namun, ia harus bolak-balik kamar mandi karena rasa mual yang tak tertahan. Ia sudah diperiksa oleh Dokter Adi. Dan seharusnya, Luna mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Memang pada dasarnya gadis itu keras kepala, Luna terus saja menolak dirawat. Dia lebih memilih pulang dan mempersiapkan kado ulang tahun untuk Sakti.

Luna membasuh mukanya dengan kasar. Sudah tidak ada lagi tenaga dalam tubuhnya, tetapi dia harus segera bersiap-siap. Acara ulang tahun Sakti akan dimulai kurang dari setengah jam lagi. “Ma, udah.” Luna menggelengkan kepalanya, menjauhkan tangan sang mama dari tengkuknya. “Luna udah gak apa-apa.”

“Mau sampai kapan kamu terus bicara seperti itu, Lun? Terus aja kamu bilang kamu gak apa-apa. Semua orang juga tahu, kamu lagi sakit!” Bu Zihan sudah muak dengan kebohongan yang diucapkan putrinya. Beliau bergerak mundur, bersandar ke dinding kamar mandi. “Dokter Adi juga sudah bilang, sebaiknya kamu dirawat. Kenapa keras kepala banget, sih? Kalau sudah begini, siapa yang repot? Kamu juga yang harus tahan sakitnya!”

Tidak ada yang bisa dikatakan oleh Luna. Dia mengakui, dia terlalu keras kepala sehingga kondisinya semakin memburuk. Namun, Luna merasa keputusannya sudah yang terbaik. Dia bahagia dirawat oleh orang tuanya, di kamar kesayangannya. Dibandingkan di rumah sakit, meski peralatannya lengkap, tetap tidak akan senyaman rumah.

“Luna minta maaf, Ma. Luna cuma bisa bikin Mama sama papa khawatir. Luna selalu bikin kalian kecewa dengan keputusan-keputusan Luna.” Kemudian, Luna mengangkat kepalanya. Dia menatap mamanya dengan penuh permohonan. “Tapi, memang ini yang Luna mau, Ma. Diurus oleh Mama saat keadaan Luna semakin memburuk, bukan ama suster atau dokter.”

Bu Zihan membuang napas panjang. Tidak peduli sekesal apa pun beliau pada Luna, rasa kesal itu akan kalah dengan rasa sayangnya sebagai seorang ibu. Meskipun Luna bukan anak kandungnya. “Pokoknya, mama gak mau tahu. Sepulang dari acara ulang tahun Nak Sakti, kamu harus dirawat di rumah sakit! Gak ada lagi penolakan! Mama gak akan kalah sama kemauan kamu itu.”

“Ma.” Belum sempat Luna menyuarakan protesnya, Bu Zihan sudah pergi lebih dulu dari kamar mandi. Berganti dengan wajah bingung Pak Yusuf yang baru saja kembali setelah membawa air minum untuk Luna. “Mama jahat, Pa,” adu Luna dengan suara mirip anak kecil.

“Kamu yang jahat sama mama! Kamu gak pernah mau dengar perkataan Mama. Apa yang Mama katakan juga demi kebaikan kamu, Luna, bukan untuk orang lain!” sahut Bu Zihan dari dalam kamar. Beliau tidak peduli jika nantinya Pak Yusuf akan marah. “Terserah kamu mau bilang Mama jahat, kejam, atau apa pun itu. Yang jelas, keputusan Mama sudah bulat. Kamu akan dirawat di rumah sakit!”

Air mata Luna tidak bisa tertahan lagi. Dia merasa putus asa. Sisa waktunya hanya sedikit lagi, semua akan terbuang secara sia-sia jika Luna dirawat di rumah sakit. Meskipun nanti kedua orang tuanya dan Sakti akan terus menemani, Luna hanya tidak mau melawan takdir yang sudah ditetapkan untuknya. Luna ingin meninggal dengan tenang, tanpa perlawanan pada ketetapan Tuhan. Karena rasanya akan sangat melelahkan. Lebih baik, Luna menyimpan energinya untuk mengucapkan selamat tinggal dengan pantas.

Amaranthine [Tamat]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu