Amaranthine 38

508 94 0
                                    

“Ayok, Yah, jangan mau kalah sama Om Yusuf! Ayah pasti menang!” teriak Bunga dengan penuh semangat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ayok, Yah, jangan mau kalah sama Om Yusuf! Ayah pasti menang!” teriak Bunga dengan penuh semangat. Berulang kali juga dia menepuk-nepuk botol plastik kosong ke lantai, membuat kegaduhan semakin memeriahkan kegiatan yang sedang mereka lakukan. “Ke kiri, Yah! Eh ... kanan, kanan!”

Bu Zihan juga jelas tidak mau kalah. Beliau bertepuk tangan dengan heboh. “Ayo, Pa! Papa pasti bisa! Pokoknya, kalau Papa menang, nanti Mama kasih hadiah!”

“Nanti Bunga belikan dasi baru buat Ayah!”

“Mama masak donat kentang kesukaan Papa pokoknya!”

Melihat semua itu, Luna hanya bisa geleng-geleng kepala sembari terkekeh di sofa. Tangannya memeluk sebuah polos berisi keripik singkong, matanya melirik sang mama dan juga Bunga secara bergantian. Sesekali, dia juga mendesis, berharap papanya berhasil memasukkan kayu kecil yang diikat di pinggang Pak Yusuf ke dalam botol. Sejauh ini, poinnya 2-1, dengan Pak Hilman yang memimpin. Namun, Luna yakin, papanya yang akan jadi juara.

“Ayah aku pasti menang, Lun,” ucap Sakti sembari mendaratkan bokongnya di samping Luna. “Papa kamu enggak akan bisa mengalahkan ambisinya ayah. Ayah enggak pernah terima dengan yang namanya kekalahan. Jadi, pasti mengusahakan untuk jadi pemenang.”

Luna mencebikkan bibirnya. “Jangan salah, papa aku juga enggak akan suka kalau egonya sebagai kepala keluarga tercoreng.” Luna mengangkat dagunya, merasa yakin bahwa sang papa akan menang melawan ayah Sakti. “Om Hilman pasti kalah!”

“Dua bapak-bapak dengan ego tinggi sedang terlibat perlombaan. Kita bisa enggak tidur sampai pagi kalau begini ceritanya.” Sakti membanting punggung ke sandaran sofa, ikut memperhatikan permainan yang sedang berlangsung. Sesekali dia melirik Luna yang sedang menikmati keripik singkongnya. “Kamu senang?”

“Hmm,” jawab Luna dengan gumaman kecil.

Kemudian, Sakti terdiam. Dia masih mengingat kejadian tadi siang, pembicaraan antara Luna dan Bi Minem. Dia ingin protes, tetapi tidak tahu bagian mana yang pantas Sakti proteskan. Sakti hanya tidak suka dengan kalimat Luna yang meminta Bi Minem memastikan nanti dia akan bahagia dengan perempuan baik. Selama masih ada Luna di muka bumi, Sakti tidak butuh perempuan baik yang lain.

“Yeee!” Luna tiba-tiba bertepuk tangan. “Tuh, 'kan! Apa aku bilang, papa aku pasti menang!”

Senyum di wajah Sakti secara otomatis terbit. Matanya tidak sedetik pun lepas dari wajah penuh kebahagiaan milik Luna. Sakti ingin merekam pemandangan indah itu sedetail mungkin. Dia ingin mengingat kebersamaan ini merinci mungkin. Luna, perempuan itu menggunakan sweater merah muda yang dia berikan, rambut tergerai indah, mata yang membentuk bulan sabit, bibir merah yang merekah, pipi merona yang mengembang, semuanya. Semua tentang Luna kan Sakti simpan dalam ingatan istimewanya.

“Kak Luna, ayok ikut main, Kak!” seru Bunga. “Lawan Kak Sakti aja sini! Jangan cuma nonton!”

Dengan semangat '45, Luna menyimpan toples keripik singkongnya ke tas meja. Dia langsung menarik tangan Sakti yang masih memperhatikannya. “Ayok, lawan aku.”

Amaranthine [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang