Amaranthine 41

449 81 2
                                    

Merasa tak sanggup lagi untuk menggiring bola basket ke ring, Sakti lebih memilih untuk menyingkir

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Merasa tak sanggup lagi untuk menggiring bola basket ke ring, Sakti lebih memilih untuk menyingkir. Napasnya sudah ngos-ngosan. Keringat membasahi kening Sakti sampai ke dagu. Belum dengan rambutnya yang sudah lepek dan bau. Sakti hanya duduk di kursi pinggir lapangan sambil memperhatikan Miqdad yang masih bergerak dengan lincah di tengah lapang. Saat ini, mereka sedang berada di lapangan kompleks tempat tinggal mereka.

“Berhenti, Sak?” tanya Miqdad sembari memainkan bola basket di tangannya. Dia terkekeh saat melihat sahabatnya itu hanya mengangguk lesu. “Makin ke sini, stamina lo makin turun aja. Urusannya udah beda, sih. Sekarang sibuk ngurusin hati cewek, bukan bola lagi.”

Tidak ada jawaban apa-apa dari Sakti. Karena dia memang membenarkan ucapan Miqdad. Dia lebih memilih untuk menenggak air mineral sebanyak mungkin untuk menuntaskan dahaga di tenggorokannya. “Gue bakal adakan birthday party. Lo datang, ya.”

Rahang Miqdad jatuh seketika, dia menatap Sakti tak percaya. “Serius? Lo yang udah berumur mau mengadakan birthday party?” tanya Miqdad, dengan sungguh-sungguh. “Ya ampun, Sak, gue udah enggak pantas nyanyi selamat ulang tahun sambil tepuk tangan sama pakai topi warna-warni. Lo juga bukan anak TK yang bakal nangis kalau enggak dikasih kado di hari ulang tahun lo.”

“Gue juga tahu, emang bukan masanya ulang tahun gue dirayakan kayak gitu.” Sakti mengusap wajahnya kasar. “Ini bukan kemauan gue, tapi bokap. Katanya, buat menebus kesalahan selama bunda masih ada aja. Selama ini, cuma ulang tahun adik gue yang dirayakan. Tahun ini, bagian gue. Sekali seumur hidup, biar gue enggak merasa jadi anak tiri.”

Miqdad menganggukkan kepalanya, paham alasan jelas Sakti mau merayakan ulang tahun di usianya yang sudah tidak muda lagi. Kemudian, dia teringat akan hal lain. “Gimana kabar Luna?”

“Dia baik,” singkat Sakti sembari menutup kembali botol air mineral miliknya. “Cuma ... sekarang kulitnya udah mulai keriput. Rambutnya juga udah makin banyak yang beruban.”

“Kalau kayak gitu, jelas dia enggak baik-baik aja, lah, Sak,” sahut Miqdad dengan malas. Dia menatap bola basket yang dipegangnya. “Kadang, gue enggak percaya Luna harus mendapatkan cobaan seberat ini. Kayak ... apa, ya? Dia terlalu baik aja buat menanggung semuanya. Harusnya, siswa berprestasi kayak dia itu punya masa depan yang cerah. Kuliah di PTN negeri, berhasil gapai cita-citanya, terus ketemu sama cowok yang bikin cowok lain iri. Dapat pekerjaan yang bagus, terus nikah sama punya anak yang mewarisi kepintaran dia. Harusnya gitu, sih.”

Sakti hanya mengangguk setuju. Dia juga berpikiran sama, bahwa kisah Luna seharusnya tidak setragis ini. Gadis sebaik dia seharusnya memiliki masa depan yang cerah. Jadi putri kampus, jadi guru yang sangat dicintai murid-muridnya, lalu bertemu dengan Sakti versi lebih baik dari sekarang. Sakti yang sudah jadi fotografer profesional.

Hanya saja, selalu begitu, bukan? Manusia hanya bisa berangan-angan, tetap Tuhan yang menentukan skenario hidup untuk hamba-hambanya. Mungkin, dunia akan semakin hancur nanti, jadi Tuhan meminta Luna untuk berpulang lebih dulu.

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now