Amaranthine 22

656 115 8
                                    

To : LunaKalau udah di rumah, kasih tahu aku, ya

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

To : Luna
Kalau udah di rumah, kasih tahu aku, ya.

Setelah mengirim pesan itu, Sakti memejamkan segera menyimpan kembali ponselnya ke saku jeans. Dia kembali memegang kamera analog yang menggantung di lehernya dan segera mengambil gambar anak-anak yang bermain di kompleks perumahannya. Luna harus check up ke rumah sakit setiap Sabtu, dan dia menolak Sakti temani. Setelah nanti gadis itu pulang, barulah Sakti akan main ke rumahnya.

“Kayaknya, udah lama banget enggak lihat lo pakai kamera itu lagi, Sak.”

Sakti memutar kepala, mendapati Miqdad sedang berjalan ke arahnya. Setelan sporty sahabatnya itu cukup membuat Sakti tahu Miqdad baru pulang futsal.

“Iya, ya?” Sakti malah balik bertanya, seakan yakin tak yakin dengan jawabannya. “Lagi enggak ada kerjaan aja di rumah, jadi gue keliling kompleks.”

“Gimana masalah kemarin? Jadi nembak Luna?” Miqdad mendaratkan bokongnya di bangku yang ada di sana. Mengibaskan bajunya supaya mendapatkan kesejukan. “Diterima atau ditolak?”

Tanpa alasan yang jelas, Sakti tersenyum tipis. Dia lebih memilih untuk berdiri bersandar ke badan pohon. “Kayaknya, dia mau tolak gue. Tapi, gue langsung menegaskan kalau kita pacaran.” Senyum Sakti semakin melebar kala melihat Miqdad mengernyitkan keningnya. “Gak paham juga gue bisa memaksa kayak gitu. Cuma, mau gimana? Gue sayang sama dia. Dan gue juga tahu, dia sayang sama gue. Tapi, dia enggak mau membebani gue dengan sakitnya.”

“Terus?” Miqdad masih terus bertanya.

“Sekarang, dia pacar gue,” jawab Sakti. Singkat, padat, jelas.

Jujur saja, Miqdad percaya tidak percaya dengan kebenaran yang keluar dari bibir sahabatnya itu. Tidak percaya karena Luna akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Sakti, juga pada kenyataan Sakti akhirnya memiliki pacar. Namun, tidak bisa dipungkiri juga, dia merasa lega dengan fakta itu. Mereka saling cinta, Miqdad percaya. Sakti juga tidak tahu untuk mengakui bahwa dia menyayangi Luna. Meskipun nanti Luna ada di situasi terburuk, Sakti pasti akan terus mendampinginya.

“Sakitnya Luna ... parah, ya?” Miqdad kembali bersuara. Dia sudah mencoba untuk bertanya sehati-hati mungkin. Namun, tetap saja, raut wajah kasmaran Sakti langsung muram karena pertanyaannya itu. “Gue gak jadi nanya, deh. Serem banget lihat wajah lo kayak gitu.”

Pertanyaan ini juga yang selama ini dicari jawabannya oleh sebagian besar warga Widyadharma. Namun, mereka tidak mendapatkan jawaban pasti. Dan Sakti paham, Miqdad juga sama. Bukan sekedar ingin tahu, tetapi karena peduli. Bagaimana pun juga, Miqdad pernah menaruh hati pada Luna.

“Lumayan. Tapi, tugas gue adalah bikin dia bahagia. Kalau hatinya senang, dia juga pasti sehat, 'kan?”

Miqdad menatap sahabatnya takjub. Jangankan memikirkan perasaan orang lain, memikirkan pendidikannya saja Sakti tidak pernah. Namun, karena Luna, dia bisa berubah dengan begitu banyak. “Gue sama sekali enggak menyangka lo bisa se-lebay ini kalau udah jatuh cinta, Sak. Lo mau melakukan apa aja buat Luna. The way you caring her is better than I've done.”

“Ya, karena kita emang beda. Lo pacaran cuma buat senang-senang. Sementara gue, gue menyadari ada tanggung jawab besar yang harus gue pegang kalau gue mau sama Luna.” Sakti geleng-geleng kepala. Kemudian, dia kembali duduk tegap. “Pulang, sana. Badan lo bau!” usir Sakti sembari kembali memegang si Koni.

“Sialan lo!” Meskipun memaki, Miqdad tetap bangkit dari duduknya dan segera meninggalkan taman, meninggalkan Sakti yang kembali sibuk dengan dunianya.

Namun, baru saja Sakti mau kembali mengabadikan momen anak-anak yang ada di sana, kameranya kembali turun saat matanya menangkap kehadiran Rio. Laki-laki itu berdiri tepat di hadapan Sakti, tangannya sibuk dengan sejumlah karton dan juga dus kecil yang berisi berbagai dekorasi untuk porak nanti. Setelah diam beberapa saat, Rio melangkahkan kakinya. Sekarang, mereka sudah duduk berhadap-hadapan.

“Jadi, lo udah ketemu Luna?” tanya Rio, dengan wajah tenangnya. “Gimana kabar dia?”

Sakti membuang napas panjang. Dari kemarin, dia terlalu larut dengan pemikiran tentang Luna, sehingga Sakti lupa bahwa dia punya janji pada Rio. “Dia baik,” singkat Sakti. Pandangannya lurus membalas tatapan tegas Rio. “Dan kayaknya, lo enggak perlu khawatir lagi tentang dia.”

“Karena sekarang lo adalah pacarnya?” Mungkin, Rio terlihat sangat tenang sekarang. Namun, jujur, dia patah hati. Perasaannya untuk Luna belum pergi, dia juga tidak berniat untuk menghapus perasaan itu. Tidak bisa dipungkiri juga, dia ikut bahagia karena Luna sudah memiliki pasangan. “Terus, Luna sakit apa? Gue yakin lo tahu tentang hal ini.”

“Gue enggak bisa kasih tahu lo masalah sakitnya Luna, itu privasinya. Dan gue harap, lo menghargai itu.”

Rio memganggukkan kepala. Dia paham, itu memang privasi Luna. Dia hanya ... khawatir. Khawatir yang sangat. Dan Rio juga menyadari, dia tidak punya hak apa-apa atas Luna. Hubungan mereka saja tidak jelas disebut apa. Teman bukan, mantan juga bukan. “Oke. Kalau gitu, gue titip salam aja sama dia. Gue harap, lo bisa jaga dia dengan baik. Selamat untuk hubungan kalian.”

Tidak mau pembicaraan itu merembet ke mana-mana, Sakti segera melangkah. Dia tidak bisa lagi berada di taman, dia harus pulang. Sebentar lagi, Luna juga pasti selesai check up. Dan ketika dia berjalan menuju rumah, ponsel di saku celana jeans-nya berdering. Bibir Sakti langsung tersenyum saat melihat nama Luna yang tertera di layar.

“Udah pulang?” tanya Sakti, to the point.

“Udah, baru banget sampai,” jawab Luna di seberang sana. Sekarang, suaranya tidak selembut dulu, ada serak-serak basah yang terdengar. “Kak Sakti lagi di luar?”

“Iya, abis cari angin aja. Tapi, sekarang lagi jalan pulang, kok.” Kemudian, Sakti menjeda. Dia memiliki rencana untuk menghabiskan hari ini untuk bersenang-senang dengan Luna. “Mau jalan-jalan, gak?”

Untuk beberapa saat, Luna hanya diam, seperti sedang berpikir. “Jalan-jalan ke mana?”

“Ada, deh. Nanti ikut aku aja dulu. Aku bawa mobil, kok. Terus, nanti ada aturan tersendiri kalau kamu mau ikut.” Lagi, Luna tidak menyahut ucapan Sakti. “Tenang aja, bukan aturan aneh-aneh, kok. Aku cuma mau kasih sesuatu yang kamu harapkan aja.”

“Hah?”

“Udah, siap-siap aja, ya. Aku langsung jalan sekarang. Sampai ketemu!” Tanpa menunggu jawaban dari Luna, Sakti sudah terlebih dahulu mengakhiri panggilan itu.

Mulai sekarang, Sakti akan membuat gadis itu bahagia setiap harinya.

*
*
*
Romantisme Sakti sama Luna bakalan dimulai niihh. Yang jelas, beda dari yang lain! Jangan lupa vote sama komennya, yaaa ....

 Yang jelas, beda dari yang lain! Jangan lupa vote sama komennya, yaaa

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Keknya, cowok yang kek Sakti ngga ada di dunia nyata deh. Dia masih mau sama Luna setelah tahu penyakitnya. Emang, Wattpad itu dunia halu berat!

Bini Ceye,
19.54, 26 April 2021.

Amaranthine [Tamat]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora