Amaranthine 43

435 90 1
                                    

Wajah Luna pucat, langkah kakinya terkesan terseok-seok belum lagi dengan deru napasnya yang memburu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Wajah Luna pucat, langkah kakinya terkesan terseok-seok belum lagi dengan deru napasnya yang memburu. Gadis itu tetap memaksakan diri untuk berjalan menuju ranjang tanpa bantuan kedua orang tuanya. Untuk ke sekian kali, Luna mengeluarkan isi perutnya. Badannya sudah sangat lemas, tetapi dia tetap harus berlari menuju kamar mandi begitu mual sudah mulai terasa. Dan sekarang, gadis itu hanya duduk memandangi bayangannya di cermin. Selain wajahnya yang terlihat buruk, Luna juga meringis melihat rambutnya yang semakin menipis.

“Ini, mama buat teh jahe buat kamu,” ucap Bu Zihan begitu masuk ke kamar putrinya. Beliau berusaha untuk tidak menangis, padahal sudah lemas karena khawatir. “Kamu gak mau ke rumah sakit aja, Lun? Udah dari semalam kamu kayak gini, mama takut ada apa-apa.”

Kepala Luna menggeleng, menolak saran dari sang mama. “Gak usah, Ma. Lagian, papa juga belum pulang, 'kan? Aku di sini aja, gak akan terjadi apa-apa, kok.” Luna menggenggam gelas teh jahe buatan mamanya. Rasa hangat di permukaan tangannya sudah berhasil membuatnya merasa nyaman. “Mama juga jangan bilang apa-apa dulu sama papa. Biar papa tenang menangani kasusnya. Kasihan kalau fokusnya sampai terbagi.”

“Gak usah dipedulikan papa. Kamu fokus aja dulu sama kesehatan kamu,” peringat Bu Zihan. Lalu, beliau bergerak merapikan tempat tidur Luna. “Kamu tidur lagi aja, ya? Nanti mama bangunkan jam makan siang.”

Luna mengangguk. Tidak peduli separah apa keadaannya, dia tetap akan tersenyum untuk membuat mamanya tidak khawatir. Meskipun tahu itu akan sia-sia, Luna tetap mencoba. Sekarang, dia hanya duduk termangu di ujung ranjang sembari membaca ulang puisi buatan Sakti kemarin sore.

Setiap percik hujan meriwayatkan asmara kita
Tentang aku yang luruh tanpa kuasa tergalang
Tentang kamu yang menyambut tanpa hirau huluku
Yang kamu pahami, aku hanya uap yang sedia jatuh
Yang aku peduli, kamu adalah tempatku beradu
Meski hanya fana, kita mengarifi cinta
Kendati rampung dengan perpisahan, kita memafhumi bahagia
Mari berjumpa di samudra kekekalan
Tunggu aku di gerbang Tuhan
'Kan kuanugerahkan kisah afeksi tanpa bintalak
Tentang kita, makhluk temporer yang pirsa arti lestari

Jujur, Luna kaget mengetahui Sakti memiliki bakat dalam sastra. Setiap kata yang ditulis laki-laki itu berhasil sampai ke hatinya. Juga tentang apa yang diharapkan Sakti tentang kisah mereka. Jika tidak bisa berakhir bahagia di dunia yang fana ini, Sakti mau kisah mereka berlanjut di keabadian.

“Ya Tuhan,” pekik Luna saat setetes darah membuat kertas puisinya jadi kotor. Ia segera berlari menuju kamar mandi dan berjongkok untuk memberi jalan darah. Berulang kali Luna mengatur napasnya, untuk mengurangi rasa pusing yang tiba-tiba menyerang. Ya Tuhan, jangan dulu panggil hamba. Hamba harus menghadiri ulang tahun Kak Sakti terlebih dahulu.

“Sayang, ada Nak Sak—Luna!” Bu Zihan langsung masuk kamar mandi dan mengusap punggung Luna penuh kelembutan. “Kenapa, Sayang? Muntah lagi, ya?”

Kepala Luna menggeleng. “Cuma mimisan, kok, Ma.”

Kali ini, Bu Zihan tidak bisa lagi untuk tidak menangis. Mau berusaha untuk tetap tenang sekeras apa pun, ujung-ujungnya beliau tetap panik. “Lun, sekarang kita ke rumah sakit aja, ya? Ada Nak Sakti, kita naik mobil dia aja.” Bu Zihan membuang napas kasar saat putrinya itu menggeleng. “Jangan keras kepala, dong, Luna. Ini pasti ada apa-apa. Dari semalam kamu muntah sama mimisan mulu, mama khawatir.”

“Sekarang udah berhenti, kok. Gak perlu ke rumah sakit.” Luna mengangkat kepalanya. Dia segera membasuh jejak-jejak darah yang ada di hidungnya. Berulang kali ia melirik ambang pintu, berharap Sakti tidak melihat apa yang sedang dia alami. “Ma, jangan bilang siapa-siapa, ya? Luna gak kenapa-napa, kok.”

Bu Zihan mendengkus. “Kamu lebih peduli sama papa, sama Nak Sakti. Gak memikirkan perasaan mama sama sekali. Mama ini khawatir sama keadaan kamu, Lun.”

“Kalau Kak Sakti udah pulang, Luna mau dibawa ke rumah sakit. Tapi nanti aja, jangan sampai dia tahu. Ya, Ma?”

“Janji, lho, kalau Nak Sakti udah pulang kita langsung ke rumah sakit. Mama pegang kata-kata kamu.” Bu Zihan langsung menghapus sisa air matanya saat melihat Luna menganggukkan kepala. “Gak pusing? Atau perut kamu sakit?” Kali ini, Luna menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, mama tunggu di luar, ya? Nak Sakti gak datang sendiri, dia bawa teman.”

Kening Luna mengernyit, heran Sakti membawa orang lain untuk datang ke rumahnya. Setelah membersihkan diri, Luna segera beranjak dari kamarnya. Dia semakin terkejut saat mendapati ada 3 orang laki-laki yang duduk di sofa ruang tamu. Sakti, Miqdad, dan Rio. Ketiganya tersenyum tipis menyambut kedatangan Luna. Meskipun kikuk, Luna tetap bergabung dengan mereka bertiga.

“Hai,” sapa Luna pada ketiganya.

“Apa kabar, Lun?” Rio yang pertama kali bersuara, menanyakan kabar Luna. Dia tidak mempedulikan tatapan kurang bersahabat dari Sakti.

Luna menganggukkan kepalanya. “Aku baik, seperti yang Kak Rio lihat.” Luna tahu, dusta jika ia mengatakan baik-baik saja. Namun, sampai kapan pun, Luna memang tidak akan benar-benar baik-baik saja. Setidaknya, saat ini, dia tidak harus berbaring di atas kasur. “Kok, kalian bisa datang bareng? Emang sengaja janjian?”

“Gue sama Sakti emang niat datang ke sini berdua. Cuma ... di tengah jalan ada tamu gak diundang yang keukeuh minta ikut,” celetuk Miqdad dengan nada bicara tak senang. Bahkan, dia juga sengaja melirik Rio dari sudut matanya. Dengan cepat, dia mengubah ekspresi wajahnya, jadi tersenyum lebar pada Luna. “Sorry, gue baru bisa jenguk lo sekarang, Lun. Habisnya, gak enak kalau gue jenguk lo sendiri. Nanti ada yang ngamuk.”

“Enak aja. Gue gak se-posesif itu, ya. Asal lo tahu aturan aja jenguknya.” Sakti bersuara. Matanya masih melirik Rio yang terus memandangi Luna. “Jaga mata juga. Harus ingat kalau Luna sekarang pacar gue.”

Rio tersadar, segera menurunkan pandangannya dari Luna.

Saat Sakti menjemput Miqdad, Rio tidak sengaja lewat. Dia baru kembali dari rumah temannya yang tinggal 1 kompleks dengan Sakti dan Miqdad. Mendengar mereka berdua akan pergi ke rumah Luna untuk menjenguk, Rio bersikeras ikut. Dia rela naik motor, bermain waktu dengan air hujan yang siap turun kapan saja, hanya untuk bisa berjumpa dengan Luna.

Dan jujur, Rio kaget bukan main melihat penampilan Luna yang sekarang. Tidak ada lagi Luna yang memiliki rambut indah, wajah cerah, juga tawa renyah. Sekarang, rambut Luna sudah memutih sebagian, wajahnya berkeriput, suaranya terdengar serak. Dan Rio prihatin atas keadaan Luna. Ada sebuah keinginan untuk terus berada di samping gadis itu. Seandainya Rio bisa, dia tidak akan melepaskan kesempatan itu begitu saja.

*
*
*
Dan yaaaaa ... keadaan Luna makin parah. Cerita ini makin mendekati ending!

Iya Rio, menyembunyikan perasaan yang jelas-jelas bertepuk sebelah tangan adalah yang terbaik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Iya Rio, menyembunyikan perasaan yang jelas-jelas bertepuk sebelah tangan adalah yang terbaik.

Bini Ceye,
08.11, 12 Mei 2021.

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now