Amaranthine 1

2.1K 268 5
                                    

Sama halnya dengan siswa yang lain, seorang remaja laki-laki langsung berlari menuju kantin ketika mendengar bel tanda jam istirahat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sama halnya dengan siswa yang lain, seorang remaja laki-laki langsung berlari menuju kantin ketika mendengar bel tanda jam istirahat. Dengan gaya pertentengnya, dia melewati meja demi meja kantin. Tidak ada dasi atau sabuk dengan logo sekolah, seragamnya pun tidak di masukkan ke dalam celana. Jika siswa lain baru keluar dari kelas masing-masing, ia justru baru kembali dari taman belakang sekolah.

“Mang, biasa!” teriak siswa itu begitu sampai di warung bakso. Untung saja belum ada banyak orang di sana, sehingga dia tidak perlu menunggu lama.

“Sak, woy!” sapa seseorang sembari menghampiri siswa itu. Ditepuknya bahu sang teman. “Lo dari mana, sih? Tadi kita ulangan fisika. Pak Imam sampai geleng-geleng kepala waktu absen, dan lo enggak ada di kelas.” Siswa itu menaikkan frame kacamatanya yang sedikit menurun. Jika bukan karena mereka adalah teman sedari kecil, dia juga malas untuk bertanya seperti ini.

Sebelum menjawab, siswa berantakan itu memasukkan terlebih dahulu kamera analog kesayangannya ke dalam tas kecil. Setelah selesai, baru dia kembali menatap teman sebangkunya itu. “Dari taman belakang. Di sana ada bougainvillea, tahu.”

“Serius? Lo bolos ulangan fisika cuma buat lihat bougainvillea? Otak lo di mana, sih, Sak?”

Laki-laki yang ditanya demikian hanya tersenyum. Dia menerima bakso pesanannya dan segera memburu meja yang masih kosong. Lagipula, apa salahnya laki-laki membicarakan bunga? Warna-warna bunga jauh lebih menarik dibandingkan menyelesaikan soal medan magnet.

Bukan perkara yang aneh untuk seorang Sakti Gentala menerima pertanyaan seperti itu ; Otak lo di mana? Bukan hanya Miqdad—teman sebangku Sakti—yang selalu menanyakan hal yang sama. Mang Uus, penjual bakso langganan Sakti juga pasti akan menanyakan hal yang sama saat ia mengembalikan mangkuk nanti.

Ulangan harian, tugas, sampai ceramah di hari Jumat selalu Sakti lewatkan untuk melakukan apa yang dia mau. Dia seperti punya dunia sendiri saat dengan kamera analognya. Dia tidak peduli dengan ancaman para guru, teguran anggota OSIS, atau cemoohan sesama siswa biasa yang menilainya 'sok idealis'. Sakti hanya mengikuti kemauan hatinya, dia tidak mau 1 hari pun dilewati tanpa penyesalan.

Niatnya, hari ini juga begitu, tetapi jus jambu harus mengotori seragam Sakti saat ia sedang menikmati baksonya.

“Anjir!” Sakti terkejut saat sensasi dingin merembes secara perlahan. Mulai dari bahu, leher, dada, sampai ke perut. Dia berdiri dengan cepat. “Lo apa-apaan, sih?! Punya mata, enggak?!” hardik Sakti pada seorang siswi yang kini sudah berdiri bertumpu pada ujung meja. “Heh! Tanggung jawab lo!”

“Maaf, maaf. Aku enggak sengaja,” sesal perempuan itu sembari mengambil beberapa lembar tisu dari tas meja. Dia berusaha membersihkan baju Sakti. “Aku ... aku ....”

Kening Sakti mengernyit. Jelas sekali gadis di hadapannya ini tidak sedang baik-baik saja. Selain pergerakan tangannya yang tidak terkendali, ada keringat sebesar biji jagung di keningnya. Belum lagi, gadis itu tampak menggigit bibir, seperti sedang menahan sakit.

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now