Amaranthine 11

878 149 2
                                    

Sakti menatap jengkel buku tugas matematikanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sakti menatap jengkel buku tugas matematikanya. Baru 4 dari 10 soal yang bisa dia kerjakan. Itupun berulang kali buka buku paket, Google, sampai mengirim pesan pada Miqdad, meminta pertolongan. Sayang, sahabatnya itu tidak membalas. Sepertinya sudah tidur, mengingat sekarang sudah pukul 11 malam.

Tidak mau kepala meledak, Sakti lebih memilih untuk menyingkir dari meja belajar dan berjalan menuju teras kamarnya. Angin malam langsung membuat bulu judulnya berdiri. Laki-laki itu menyisir rambut setengah basahnya menggunakan jari. Lalu, Sakti mengeluarkan ponselnya dari saku celana training. Membuka fitur galeri, tersenyum saat melihat foto terakhir yang dia ambil. Foto Luna yang memasang wajah takut saat akan naik wahana flying fox.

Pertemuan ke-4 bersama Luna ini jauh lebih menyenangkan dibandingkan pertemuan yang lain. Di Tanah Tingal, Sakti bisa melihat sisi Luna yang seperti remaja lainnya. Yang ceria, takut ketinggian, suka makan, dan suka berfoto di tempat yang bagus. Bukan Luna yang memaksakan diri terlihat baik-baik saja padahal dia tidak.

"Oh, jadi itu yang bikin lo enggak mau ikut ke Puncak?" Sebuah suara membuat Sakti terperanjat. Dengan mata yang membuat setengah, dia menoleh ke belakang. Di sana ada Bunga yang sudah menatapnya penuh arti. "Selama bertahun-tahun lo selalu debat tentang tempat piknik kita, tapi kemarin lo menolak ikut supaya bisa nge-date sama Kak Luna? Kakak gue udah pubertas, nih?"

Tangan Sakti langsung bersembunyi di balik saku celananya, menyembunyikan layar ponsel yang masih memperlihatkan wajah Luna. "Lo pasti bisa ketuk pintu dulu kalau mau masuk kamar orang lain, terkhususnya kamar gue. Jangan main nyelonong aja!" ketus Sakti sembari kembali masuk ke kamarnya.

Bunga mencebikkan bibirnya. Dia mengekori sang kakak. Duduk di ujung ranjang sembari memperhatikan bahu tegap Sakti yang kembali duduk di meja belajar. "Sejak kapan, Kak? Kok, gue enggak pernah tahu Kak Luna dekat sama lo, ya?"

"Emang, lo perlu tahu banget Luna dekat sama gue? Lo siapanya dia?" dengkus Sakti. Dia berusaha mencari rumus untuk soal ke-5. Dalam 1 jam, tugas dari Pak Imam harus selesai. Sakti sangat membutuhkan istirahat.

"Gue bukan siapa-siapanya, sih. Tapi, kayaknya, setiap ada cowok yang lagi dekat sama Kak Luna, seisi sekolah juga langsung tahu."

Baiklah, fokus Sakti bicara sudah karena perkataan Bunga barusan. Pergerakan tangannya—yang hendak membuka halaman selanjutnya buku paket—langsung berhenti.

Mengapa rasanya tidak rela? Mengapa Sakti mendadak keberatan untuk sekedar membayangkan Luna dekat dengan orang lain? Apalagi, membayangkan gadis itu banyak tertawa, banyak bercerita, dan menunjukkan ekspresi lucu seperti yang ada di ponsel Sakti pada orang lain. Mendadak, Sakti ingin protes. Namun, tidak tahu harus protes pada siapa.

"Emang, banyak yang cowok yang udah dekat sama Luna?" tanya Sakti dengan suara yang begitu pelan. Pergerakan tangannya dilanjutkan. Namun, dia tidak membaca isi buku paket, melainkan menajamkan pendengarannya, menunggu jawaban Bunga.

Amaranthine [Tamat]Where stories live. Discover now