29. Dering Telepon

67 4 1
                                    

"Eh eh eh ... aku gak bisa napas, nih!" protes Eci melepas kasar jas Kukuh yang menutupi kepalanya. Eci menatap tajam pria di sampingnya yang wajahnya sangat memerah. Mungkin pria itu sangat marah, pikir Eci.

"Kamu kenapa kayak anak kecil gini sih?" tambah Eci lagi.

"Anak kecil katamu?" tanya Kukuh berteriak. Eci hanya mencebikkan bibirnya kesal.

"Aku ini cemburu, Eci. Cemburu!" tekan Kukuh dengan tajam.

"Ya kali cemburu sama adek sendiri."

"Walau dia adikku, dia adalah sainganku saat ini. Aku ini pacarmu, kamu lihat dari tadi bajuku acak-acakan tapi kamu malah benerin baju Adi. Dasar kutukupret!" maki Kukuh.

"Sudah-sudah, sini aku benerin bajunya," ucap Eci mengalah. Eci memaksa tubuh Kukuh untuk menghadap ke arahnya. Dengan wajah yang tertekuk sebal, Kukuh pun membiarkan Eci menata letak kancingnya. Eci juga menata krah kemejanya yang sangat amburadul.

"Jadi orang jangan sering marah! Pembuluh darah pecah bis ko'it," ujar Eci.

"Kamu doain aku cepet ko'it?" tanya Kukuh yang sudah ngegas lagi.

"Nah nah itu ... ngapain ngegas lagi? Baru saja dibilangin udah dilakuin," dumel Eci. Kukuh mengacak rambutnya kesal, Pacar mana yang tidak cemburu saat ceweknya lebih perhatian ke cowok lain? Kukuh rasa tidak ada cowok yang iklas kalau pacarnya dekat dengan cowok lain.

"Sudah, jalanin mobilnya sana!" titah Eci.

Kukuh mengangguk, dia memakaikan sabuk pengaman untuk Eci sebelum dia menarik sabuk pengamannya sendiri. Kukuh menjalankan mobilnya dengan cepat, sepanjang perjalanan laki-laki itu hanya diam. Sesekali Kukuh akan melirik Eci yang memainkan hpnya.

Dering telfon dari hp Eci membuat Eci membulatkn matanya. Untuk apa nyonya besarnya telfon? Eci mematikan sepihak panggilan itu. Biarlah dia dikata durhaka, ibunya tidak pernah menginginkannya. Mungkin ibunya tengah membutuhkan sesuatu, makanya menelfon.

"Dari siapa?" tanya Kukuh.

"Dari Ibu," jawab Eci mematikan hpnya agar ibunya tidak bisa menelfon lagi.

"Kenapa dimatikan?" tanya

"Gak penting," jawab Eci memalingka wajahnya.

"Biar aku yang angkat," ujar Kukuh.

"Iye setelah itu aku akan dimaki-maki jadi simpanan Om-om," sinis Eci.

Kukuh menimang-nimang, ibunya dan ibu Eci sama persis. Sama keras kepala dan sama-sama seenaknya sendiri. Kini gantian dering hp Kukuh yang berbunyi. Kukuh mengambil earphone bluetooth di saku mobilnya dan memasangkan di telinganya. Baru saja diomongin dalam hati, kini ibunya sudah menelfon.

"Hallo, Bu!" sapa Kukuh.

"Kamu di mana?" tanya Nainawati di sebrang sana.

"Aku ada di jalan, Bu," jawab Kukuh.

"Ini ibu sudah di kantor kamu. Kamu kembali ke sini atau ibu susul ke sana?" tanya Naina dengan tegas. Kukuh lantas menghentikan menepikan mobilnya.

"Ibu kenapa ke kantor?" tanya Kukuh setengah berteriak.

"Kenapa? Kamu tidak mau ketahuan kalau kamu punya pacar?"

"Bukan begitu, Bu. Memang aku mau mengenalkannya pada ibu, tapi tidak sekarang."

"Kalau enggak sekarang, lalu kapan? Ibu mau lihat calon mantu ibu, dia dari keluarga mana? Bibit, bebet dan bobotnya jelas apa enggak?"

"Berhentilah bersikap kolot, Bu!" jawab kukuh mematikan sambungan telfonnya sepihak.

Kukuh menolehkan kepalanya, dia melihat Eci yang tengah menatap jendela. Perasaan Kukuh jadi tidak enak, dia takut kalau Eci marah. Eci jelas tau kalau yang menelfon Kukuh adalah ibu pria itu, seketika rasa kurang percaya diri hinggap pada Eci. Eci ingat betul terakhir kali pertemuannya dengan keluarga Kukuh sangat tidak baik.

Tangan Kukuh terulur untuk mencekal tangan Eci yang ada di paha gadis itu, "Kamu kenapa diam?" tanya Kukuh. Eci menepis tangan Kukuh pelan.

"Gak apa-apa," jawab Eci. Tampak jelas raut wajah Eci yang muram.

"Kita lanjut jalan, ya!" ajak Kukuh yang diangguki Eci.

Mood Eci sungguh anjlog setelah mendapat telfon dari ibunya, terlebih saat Kukuh juga mendapat telfon dari ibu pria itu. Sudah bisa Eci tebak, pastilah Nainawati menanyakan seluk beluk, bibit dan bobot. Tidak salah bila orangtua menanyakan seluk beluk calon menantunya, tapi apakah pantas bila orangtua seratus persen ikut campur dengan urusan anaknya?

Kukuh menghentikan mobilnya saat sampai di pusat perbelanjaan. Kukuh mengajak Eci untuk segera turun. Tangan Kukuh dengan lembut menggandeng tangan Eci untuk dia ajak masuk.

"Sekarang kamu belanja sepuasnya, aku yang bayar!" titah Kukuh. Eci membulatkan matanya.

"Kamu ngajak aku ke sini untuk menyuruhku belanja?" tanya Eci tidak percaya.

"Iya. Mau habis berapapun tetap aku bayar!" jawab Kukuh dengan nada sedikit sombong.

"Jangan ngada-ngada. Aku kalau sudah belanja, bisa menghabiskan tiga perempat kekayaan kamu," ujar Eci mendelik.

"Jangankan tiga perempat kekayaan, kalau aku harus menjual saham pun akan aku jual demi kamu!" jawab Kukuh dengan bangga. Dalam hati dia yakin kalau Eci akan memilihnya daripada Adi.

"Kurang apa coba aku, sudah ganteng, kaya, gak pelit, memberikan seluruh cinta sama kamu, huh sungguh pacar yang idaman bukan?" Kukuh berucap seraya menepuk dadanya dengan bangga.

"Jangan bangga dulu kalau belum berani minta restu pada ayah dan ibuku," jawab Eci mendorong Kukuh agar sedikit menjauh.

Eci mengambil troli, Eci mendorongnya menuju rak kebutuhan pokok. Mumpung ada yang membelanjakan secara gratis, Eci akan memanfaatkan.

"Sini biar trolinya aku yang dorong. Kamu pilih belanjaan saja," ucap Kukuh mengambil alih troli Eci.

Eci memasukkan segala macam sayur ke troli, tidak lupa buah-buahan yang bisa menjaga kesehatan tubuhnya. Kukuh melihat Eci yang tampak cepat memasukkan barang belanjaan. Belum ada sepuluh menit, troli sudah hampir penuh.

"Sudah sudah, ini aku kasihkan ke kasir dulu biar aku ambil troli lagi," ucap ukuh mendorong trolinya menuju kasir. Eci tertawa melihat tingkah Kukuh.

"Gak apa-apa, dia kaya gak akan bangkrut karena belanjaan yang gak seberapa ini," ucap Eci terkikiki geli.

Kukuh datang lagi membawa troli kosong yang langsung diisi Eci dengan macam-macam camilan dan kerupuk mentah.

"Yang krupuk udang itu jangan lupa beli sekalian!" titah Kukuh menunjuk kerupuk udang.

"Kan aku yang makan, kenapa kamu yang milih?" tanya Eci menggoda.

"Siapa tau saat aku menginap di rumahmu, aku kelaparan," jawab Kukuh.

"Emang kamu ngapain aja main ke rumah sampai kelaparan?"

"Karena kita kan habis gulat di tempat yang empuk tapi sangat panas!" bisik Kukuh tepat di telinga Eci.

"Jangan sok-sokkan kalau aslinya sebesar sosis seribuan!" ujar Eci tak kalah berbisik.

"Aku sudah membeli banyak kacang kenari untuk menambah stamina pria agar tahan lama," ucap Kukuh menunjukkan kacang kenari ke depan wajah Eci.

Eci terbahak-bahak melihat kelakuan Kukuh. Tidak pernah dia pikirkan kalau Kukuh memang seniat itu dalam menikah sampai harus membeli kacang kenari. Melihat tawa Eci yang pecah nan lebar membuat Kukuh ikut tersenyum. Kukuh bahagia melihat tawa Eci yang seperti ini. Setidaknya Eci melupakan pembicaraannya dengan ibunya tadi yang membuat gadis itu kehilangan mood.

Kukuh mencubit pipi Eci yang seperti squisi. Ingin rasanya Kukuh memakan pipi Eci sampai copot karena saking gemasnya.

"Cantik-cantik gini untungnya pacar aku," ujar Kukuh masih mencubiti pipi Eci.

"Situ aja yang baru sadar kalau aku cantik. Dulu-dulunya kemana aja?" cibir Eci menata rambutnya yang acak-acakan. Eci merogoh saku celannya, dia mengambil karet kucir untuk menguncir rambutnya yang tergerai.

"Kenapa sih cewek suka banget kunciran di depan cowok, biar apa coba?" tanya Kukuh mendumel.

"Kenapa sih? Cuma kunciran ini kok," jawab Eci.

"Kamu tau gak saat-saat cewek tampak menggairahkan? Yaitu saat menguncir rambutnya. Leher jenjangnya ... uhh ... menarik perhatian minta dihisap," bisik Kukuh dengan sensual.

Pelan-pelan, Mas!Where stories live. Discover now